tirto.id - Setelah berkuasa selama puluhan tahun sebagai Presiden RI ke-2, pada 28 April 1996 Soeharto harus kehilangan orang yang dicintainya. Pada titimangsa itu istrinya, Raden Ayu Siti Hartinah atau Tien Soeharto, mengembuskan napas terakhir.
Siti Hartinah yang mendampingi Soeharto sejak zaman perang kemerdekaan, dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Pada Jumat 7 Juni 1996, Soeharto berada di Dalem Kalitan, Solo. Meski masih dalam kondisi berduka, tetapi ia berada di tengah-tengah para putra, menantu, dan cucu. Para ajudan dan Paspampres beserta komandannya juga tentunya turut serta. Pada kesempatan itu, Mayor Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo selaku Pangdam Diponegoro juga hadir. Saat ia masih berpangkat kolonel, Subagyo pernah menjadi ajudan Soeharto.
Hari itu, seperti dicatat Media Indonesia (07/06/1996) yang terdapat dalam Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XVIII 1996 (2008), Soeharto dan rombongan melaksanakan salat Jumat bersama para penjaga Dalem Kalitan. Malamnya sekitar pukul 20.00, mengadakan tahlilan di makam Astana Giribangun.
“Tahlilan ini berlangsung sangat khidmat dan khusyuk,” kata Subagyo HS kepada Media Indonesia.
Ia menambahkan bahwa suasananya sangat hening dan tidak banyak tamu selain keluarga besar daripada Soeharto. Soeharto baru tiba di Astana Giribangun pada pukul 21.30 dan tinggal di sana hingga dini hari.
Ketika waktu menunjukkan pukul 00.00 WIB, artinya memasuki tanggal 8 Juni, Soeharto mendapat banyak ucapan selamat. Tanggal 8 Juni 1996 merupakan hari ulang tahunnya yang ke-75. Tanggal ulang tahun Soeharto berdekatan dengan tanggal ulang tahun Sukarno, yakni 6 Juni.
Pada hari itu, orang penting di Dalem Kalitan, Srijanto, melihat Soeharto dan Subagyo HS berbicara cukup lama. Tak sampai dua tahun setelah pembicaraan itu, pada Mei 1998 Subagyo HS menjadi orang penting di Angkatan Darat. Sementara menantu Soeharto, Prabowo Subianto, jadi orang nomor dua terkuat di matra tersebut.
Perayaan ulang tahun Soeharto yang ke-75 pada tahun 1996 sudah sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh, dalam buku Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 – 11 Maret 1993 (2003:548) disebutkan bahwa ulang tahun Soeharto ke-71 pada 1992, diisi oleh sambutan dan pembacaan doa dari sang istri. Tak lupa nyanyian bersama dan pemotongan nasi tumpeng. Bersamaan dengan ulang tahunnya itu, buku Jejak Langkah Pak Harto jilid ke-5 dan Surat dari Anak-anak jilid ke-2 diterbitkan.
TVRI, Aceh, dan New York
Warsa 1987, ulang tahun Soeharto ditayangkan TVRI. Ia bersama keluarganya tampil mengenakan batik. Selain dinyanyikan lagu hari ulang tahun, doa dipanjatkan dan memotong tumpeng.
Batik dan tumpeng tidak bisa jauh dari kehidupan Soeharto dan keluarganya, sebab budaya Jawa begitu kuat dalam kehidupan mereka. Soeharto sejak muda memang tidak begitu akrab dengan gaya hidup ala barat, karena ia tidak belajar di sekolah yang diikuti anak-anak Belanda. Itulah kenapa gaya hidupnya tampak lebih sederhana daripada Sukarno.
Dalam buku Jejak Langkah Pak Harto 29 Maret 1978 – 11 Maret 1983 (2003) disebutkan bahwa Soeharto juga pernah merayakan ulang tahun di kantor Gubernur Aceh. Pada 8 Juni 1981, perayaan ulang tahun itu dihadiri para menteri dan pejabat Aceh. Setelah perayaan ulang tahun, Soeharto kemudian meresmikan sejumlah proyek pembangunan di Aceh.
Tak hanya di dalam negeri, pada tahun 1989 Soeharto merayakan ulang tahunnya di New York, Amerika Serikat. Harian Angkatan Bersenjata (10/06/1989) seperti dimuat dalam Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (2008:694-695), melaporkan bahwa Soeharto merayakan ulangtahunnya di sebuah kamar di Hotel Plaza.
Harian itu menyebutkan bahwa perayaannya diisi dengan--seperti biasa--pemotongan tumpeng. Acara itu hanya dihadiri Tien Soeharto, tiga orang putra-putri, dan dua cucu serta para pejabat. Mereka antara lain Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Dubes RI untuk PBB Nana Sutresna, dan Dubes RI untuk Amerika AR. Ramly.
Demikianlah, Tien Soeharto selalu berasa di sisi suaminya setiap kali Soeharto merayakan ulang tahun. Ia memberi sambutan, merapal doa, dan memotong tumpeng. Ketika ia pergi untuk selamanya pada 28 April 1996, perayaan ulang tahun Soeharto tak pernah sama lagi. Maka tak heran jika penguasa Orde Baru lebih dari tiga dekade itu merasa kehilangan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi