Menuju konten utama

Societeit Concordia: Tempat Gaul Kaum Elite Eropa di Malang

Di tempat ini, kalangan elite Eropa di Malang era kolonial berdansa, main biliar, dan kongko.

Gedung Societeit Concordia di Malang, Jawa Timur; 1935. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Di Kota Malang, nama Sarinah Plaza dikenal sebagai pusat perbelanjaan ikonik. Selain karena sebagai salah satu pusat perbelanjaan tertua yang eksis sejak sekitar 1960-an, letaknya juga strategis. Ia berada di sudut jalan utara alun-alun Merdeka Kota Malang sisi pojok barat, tepatnya di Jalan Basuki Rachmat dan Jalan Merdeka Utara.

Pada era kolonial Hindia Belanda, kawasan alun-alun Merdeka adalah pusat kota di mana sekelilingnya berdiri gedung-gedung penunjang kehidupan kolonial seperti kantor asisten residen, kantor bupati, penjara, tempat ibadah, sampai tempat hiburan.

Sebelum Sarinah eksis, di tempat yang sama lebih dahulu berdiri gedung Societeit Concordia, pusat hiburan para elite Eropa di Malang. Perkumpulan seperti Societeit Concordia hampir selalu ada di setiap kota besar lain di Hindia Belanda, entah di Batavia, Surabaya, juga Bandung.

Menurut Dwi Cahyono, sejarawan sekaligus pengajar ilmu sejarah di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, ada dua fungsi utama yang melekat pada Societeit Concordia: fungsi sosial dan rekreasi. Fungsi sosial mencakup bertemunya dan saling bercakap-cakap antar-orang Eropa di Kota Malang sebagai sesama perantau dari negeri jauh. Societeit juga punya fungsi rekreasi, yakni tempat untuk mencari hiburan: permainan, kuliner, tempat berdans, dan lainnya.

"Societeit sering dilengkapi dengan meja biliar. Oleh karena itu, dulu sering kali disebut dengan kamar bolah, merujuk ke bola biliard. Muncul sebutan kamar bolah karena lidah jawa jadi ada "h" nya. Ada hall yang memang untuk dansa-dansi, ada tempat pemutaran film walau tidak besar. Kemudian ada perpustakaan dan tentu ada restoran. Jadi, sebenarnya itu tempat kongko atau untuk meeting," kata Dwi.

Societeit Concordia di Malang diperkirakan dibangun sebelum 1900. Handinoto & Paulus H. Soehargo dalam Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang (1996) menyebut bangunan gedung tersebut mulanya bergaya Indische Empire dengan barisan kolom teras depan yang menjulang lengkap dengan gevel penutup atap yang menonjol.

Pada 1914, Malang, yang sebelumnya merupakan bagian Karesidenan Pasuruan, menjadi kotapraja (gemeente). Gedung Concordia yang bergaya Indische Empire itu diganti dengan model bangunan kolonial yang baru. Seperti diceritakan Dwi, di dalamnya ada meja biliar, meja tempat main kartu, perpustakaan kecil, ruang pertemuan, menonton pertunjukan dan lain sebagainya. Pada waktu-waktu tertentu, di atap gedung yang datar itu diberi es untuk sehingga orang-orang bisa bermain ski.

Concordia berdiri ketika tempat perkumpulan dan rekreasi di Malang bagi para kalangan elite masih langka. Sampai 1914, baru ada perkumpulan elite bernama Kunst en Wetenschapen (Seni dan Ilmu Pengetahuan) yang bertempat di Societeit De Harmonie.

Padahal, saat itu orang Eropa sudah mulai banyak berdatangan ke Malang karena statusnya sebagai kotapraja dan dibukanya jalur kereta api menuju Surabaya. Di tempat lain, meski sudah berdiri beberapa hotel, tempat makan sekelas restoran dan fasilitas penunjang Societeit belum ada.

Menurut Dwi Cahyono, yang datang di Concordia bukan elite Eropa saja, tapi juga golongan atas etnis lain. "Orang Timur asing, Cina, atau Pribumi meski tidak sebanyak orang-orang Belanda. Mereka hadir karena butuh ketemu, misal dengan mitra dan lain sebagainya," tutur Dwi.

Di sisi lain, ada pula elite Belanda yang tidak begitu berminat pergi ke Societeit Concordia. Salah satunya adalah penasihat tata kota Thomas Karsten. Karsten dikenal sebagai arsitek pembela bumiputera. Di Malang, ia merancang alun-alun Tugu di depan Balai Kota sebagai simbol pengembalian makna alun-alun dalam kosmologi Jawa yang selalu berdekatan dengan pendopo. Ia juga terlibat dalam aktivitas pergerakan anti-kolonial dan berbicara tentang hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat bumiputera.

Sebelum menjadi gedung Concordia, di tempat tersebut semula berdiri rumah bupati Malang. Blasius Suprapta, dalam penelitiannya “Model Pemanfaatan Cagar Budaya untuk Kesejahteraan Masyarakat Studi Kasus Event Malang Kembali” (2016), mencatat di tanah tersebut berdiri pendopo Kabupaten Malang yang dihuni oleh Raden Panji Wielasmorokoesoemo setelah ia diangkat menjadi Bupati Malang dan Ngantang.

Di luar gedung Concordia, banyak gedung Societeit lainnya yang tersebar di sudut-sudut kota. Jujun Kurniawan dalam penelitiannya "Perkembangan Kota Malang 1914 - 1942: Kajian Atas Intervensi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda" (2006) menyebutkan bahwa sampai 1939, terdapat sekitar empat Societeit di Kota Malang selain Concordia.

Dua societeit berada di area tangsi militer KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger) di Rampal, yakni seperti Militaire Societeit van Manschappen (Jalan Untung Suropati Utara) dan Military Societeit van Onderofficieren (Jalan Panglima Sudirman). Juga ada Societeit de Club (Jalan Juanda) dan Societeit Taman Persaudaraan (Jalan Arif Rahman Hakim).

Infografik Societeit Concordia

Infografik Societeit Concordia

Concordia Merdeka

Pada era revolusi nasional Indonesia, gedung Societeit Concordia menjadi saksi bisu euforia warga Malang merayakan kebebasan. Purnawan Basundoro, dalam Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan (2009), menjelaskan ketika itu kawasan Alun-alun Malang yang banyak berdiri bangunan simbol kolonial Belanda menjadi bulan-bulanan warga untuk mengekspresikan kegirangan kemerdekaan.

Slogan-slogan macam "Freedom is The Glory of Any Nations" atau "Indonesia for Indonesians!" tercoret di tembok-tembok hotel dan bank. Beberapa nama bangunan juga diubah menjadi berbahasa Indonesia. Hotel Palace menjadi Hotel Merdeka, Bioscoop Rex menjadi Bioskop Ria, alun-alun Malang ditaklukkan menjadi Alun-Alun Merdeka.

Tidak terkecuali Societeit Concordia yang ganti nama jadi Gedung Rakyat. Makna Gedung Rakyat semakin kuat ketika ia dijadikan tempat bersidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 25 Februari sampai 5 Maret 1947, dengan tokoh-tokoh republik seperti Sukarno, Moh Hatta, Sutan Sjahrir, Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, serta banyak yang lainnya.

Mereka berkumpul di Gedung Rakyat untuk membahas perkara Persetujuan Linggarjati yang berlangsung alot. Ketika itu, setidaknya ada 1.500 orang dari berbagai penjuru hadir, termasuk juru warta asing. Banyaknya tamu membikin hotel-hotel di Malang penuh sesak.

Warisan bangunan Societeit Concordia mulai hancur ketika taktik bumi hangus diterapkan demi menghalau serangan Belanda dalam Agresi Militer 1947. Gedung Concordia ikut hangus bersama dengan gedung-gedung kolonial lainnya. Sejak dekade 1960-an, sisa-sisa bangunan asli Concordia yang bernilai sejarah mulai bersalin rupa dengan gedung pusat perbelanjaan Sarinah.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani