Menuju konten utama

Thomas Karsten, Arsitek Belanda Pembela Bumiputera

Herman Thomas Karsten seorang arsitek dan perencana kota di Hindia Belanda yang simpatik terhadap masyarakat terjajah.

Thomas Karsten, Arsitek Belanda Pembela Bumiputera
Bangunan Pasar Djohar yang didesain oleh Herman Thomas Karsten. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Megahnya bangunan peninggalan era kolonial di beberapa kota Indonesia tak lepas dari peran para arsitek dan perencana kota berkebangsaan Belanda. Salah satunya Herman Thomas Karsten, yang punya peran dan pengaruh melampaui kedudukannya sebagai perancang tata kota.

Saat Malang ditetapkan sebagai Kotamadya pada 1914, Herman Thomas Karsten ditunjuk pemerintah Hindia Belanda sebagai penasihat tata kota. Dialah yang merestui pembentukan alun-alun baru bernama J.P Coen Plein pada 1922 sebagai penanda konsep kota baru yang meninggalkan gaya tata kota pemerintahan lama.

Kantor pemerintah kota yang dibikin menghadap ke utara dan membelakangi arah selatan dengan pelataran berupa J.P Coen Plein adalah konsep alun-alun khas Jawa. Ini berbeda dengan alun-alun kota yang lama yang tak mengadopsi konsep alun-alun Jawa, seperti yang dapat disaksikan pada kantor bupati berada menyisih di sebelah utara serta muka pendopo malah menghadap ke selatan.

Konsep tata ruang tersebut menunjukkan betapa Karsten menaruh perhatian pada hal yang dianggap remeh atau sengaja dihilangkan oleh penguasa lokal yakni soal konsep alun-alun berpakem Jawa. Kini, J.P Coen Plein lebih dikenal dengan sebutan Alun-Alun Tugu karena tepat di tengahnya dibangun monumen tugu yang diresmikan oleh Sukarno pada tahun 1950-an.

Di luar itu, tidak berlebihan untuk menyebut Karsten sebagai sosok arsitek yang peduli terhadap nasib masyarakat yang terjajah. Ada banyak rekam jejaknya yang menunjukkan pembelaan terang-terangan Karsten kepada kaum pribumi yang tertindas oleh kekuasaan kolonial Belanda.

Hijrah ke Hindia Belanda

Herman Thomas Karsten lahir di sebuah keluarga Amsterdam yang terpelajar pada 22 April 1884. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Handinoto & Paulus H. Soehargo dalam Perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda di Malang (1996) menyebutkan, ayah Karsten adalah seorang profesor sejarah Romawi.

Pamannya, Charles, adalah seorang ahli hukum. Ayah dari Charles adalah seorang arsitek dan planner terkenal di Belanda. Bibi Karsten, Barta, tercatat sebagai perempuan pertama yang lulus pendidikan bidang kimia di sebuah universitas di Belanda, serta menjadi kepala sekolah khusus putri di Groningen.

Pada 1904, Karsten mengambil jurusan teknik mesin di Sekolah Tinggi Teknik di Delft. Namun, ia memutuskan pindah ke jurusan bangunan lantaran tertarik soal perumahan. Saat masih berstatus mahasiswa, Karsten sempat menjadi anggota Woning Commissie (Panitia Perumahan) dan perkumpulan Social Technische Vereeniging van Democractische Ingeniers en Architecten (Asosiasi Teknik Sosial Insinyur dan Arsitek Demokratik), serta pernah terlibat dalam pekerjaan pembuatan laporan Amsterdam Woningraad (Dewan Perumahan Amsterdam). Dari berbagai keterlibatannya itulah Karsten kaya akan pengalaman seputar perumahan.

Tak diketahui secara pasti apa yang dilakukan Karsten pada tahun-tahun setelah lulus kuliah dengan nilai memuaskan pada 1909. Yang jelas, pada 31 Desember 1910, Karsten memutuskan keluar dari keanggotaan Social Technische Vereeniging van Democractische Ingeniers en Architecten.

Lazimnya orang-orang Belanda yang mencoba peruntungan dengan merantau ke daerah koloni, Karsten memutuskan berangkat ke Hindia Belanda pada 1914 atas undangan Henri Maclaine Pont, rekannya selama kuliah di Delft yang kini telah jadi arsitek. Pont, yang ketika itu berada di Semarang dan mendirikan biro arsitektur, adalah arsitek kondang kelahiran Jatinegara. Salah satu karyanya adalah bangunan Institut Teknologi Bandung ITB yang bergaya Indisch—perpaduan unsur Nusantara dengan gaya barat—yang masih berdiri kokoh sampai detik ini.

Saat itu, bertepatan dengan kedatangan Karsten, Kota Semarang sedang bersolek mempersiapkan hajatan kelas dunia lantaran dipilih oleh pemerintah kolonial sebagai tuan rumah perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis. Perayaan seabad itu dikemas dalam sebuah pameran berskala internasional bertajuk Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) yang dihelat pada 1915. Karsten dan Pont sempat dilibatkan untuk membantu penataan kota.

Setelah proyek tersebut usai, Karsten menangani tata kota di Malang dan perlahan-lahan mulai mengasingkan diri dari teman-temannya.

Meski Karsten tergolong orang cerdas dari golongan elite, ia ternyata tak cukup berminat untuk berkumpul dengan sesama elite Eropa di Hindia Belanda. Ia tak pernah ikut berolahraga bersama orang-orang sebangsanya, juga tak suka mengunjungi pusat hiburan elite seperti Societet Concordia, tempat dansa-dansi orang-orang Eropa yang hendak melepas lelah. Bahkan, Karsten tak pernah terlihat mengenakan dasi, penutup leher, atau kemeja putih yang dipandang sebagai pakaian khas warga Eropa kala itu.

Karsten punya alam pikiran sendiri yang membuatnya merasa terasing dari rekan-rekannya asal Belanda. Dalam hal perencanaan kota, ia punya sikap dan pandangan kolektivis yang terpancar dalam setiap karya-karyanya.

"Alam pikiran sosialisme tersirat dalam perencanaannya yang senantiasa didasarkan pada kepentingan umum dalam arti yang seluas-luasnya. Memberikan hak lebih dari golongan penduduk yang satu terhadap yang lain dihindari sejauh-jauhnya," tulis Handinoto.

Perencanaan tata Kota Malang adalah salah satu saksinya. Karsten meninggalkan konsep hunian rakyat yang disekat-sekat berdasarkan ras (pemukiman khusus Eropa, Cina, Pribumi, dan seterusnya). Model pemisahan seperti ini lazim ditemui di kota-kota lain yang didirikan Belanda. Biasanya, kondisi lingkungan kaum bumiputera tampak kumuh dan tak tertata, kontras dengan hunian orang Eropa dan kelas elite lainnya yang yang didesain secara rapi oleh pemerintah kolonial.

Konsep tradisional Jawa tentang alun-alun sebagai pusat kota dan pemerintahan ia kembalikan. Karsten juga mengembalikan aspek perkotaan khas Jawa klasik yang menonjolkan rerimbunan pohon.

Dalam "Thomas Karsten’s Indonesia: Modernity and the End of Europe, 1914–1945" (2014), sejarawan Deakin University Joost Coté mengatakan Karsten adalah pengkritik kolonialisme, dilihat dari kerja-kerjanya merancang kota untuk menantang rasisme yang dilanggengkan oleh pemerintahan Hindia Belanda melalui tata kota mereka sebelumnya.

Infografik Thomas Karsten

Karsten percaya bahwa orang Indonesia berhak atas modernitas yang selama ini hanya dipamerkan oleh orang-orang Eropa di tanah jajahan. Bagi Karsten, Barat dan Hindia Belanda semestinya bisa saling berkontribusi dalam pembentukan warisan budaya bersama salah satunya dengan perencanaan dan desain lingkungan yang mampu mengangkat derajat orang Indonesia ke taraf modern dan terdidik.

Karsten memang lebih sering menjadi arsitek ketimbang perencana kota. Karya-karya bangunannya tersebar di Semarang, Solo, Yogyakarta, Medan, Comal, Palembang, dan banyak lagi.

Merapat ke Pergerakan Kemerdekaan

Radikalisme pergerakan nasional di Jawa membikin Karsten merasa menemukan rumah yang mampu menampung pandangan hidupnya. Karsten malah menceburkan diri ke aktivitas-aktivitas anti-kolonial. Ia tak lagi menjadi seorang penyendiri manakala berkumpul dan berdiskusi dengan orang-orang pribumi yang mulai tersiram api pergerakan nasional di awal abad ke-20. Tak hanya itu, ia pun kenal dengan Sukarno.

Karsten turut mendirikan Java Institute dan menerbitkan majalah Djawa, mendirikan perkumpulan kesenian Jawa Sobokarti di Semarang, mendirikan majalah De Taak pada 1919 yang menerbitkan artikel-artikel kritisnya tentang hak penentuan nasib bagi rakyat bumiputera.

Akhirnya, Karsten bisa berbaur lagi dengan golongan Belanda saat bergabung dengan kelompok De Stuw yang berisi para intelektual Belanda. De Stuw menaruh perhatian akan pentingnya emansipasi bumiputera dan bercita-cita membentuk negara persemakmuran. Buah pikiran kelompok ini diterbitkan dalam majalah De Stuw (1930-1933).

Pandangan Karsten pun kian radikal. Pada 1938, ia menerbitkan majalah Kritik & Upbouw (Kritik dan Pembangunan) yang agenda utamanya adalah menghapus sistem dan masyarakat kolonial.

Wajar jika pemerintah kolonial tak begitu menyukai sosok Karsten.

Perjalanan Karsten berakhir getir karena pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942-1945). Karsten, yang baru beberapa bulan menjabat sebagai lektor luar biasa pada jurusan Planologi ITB, berstatus tawanan tentara Jepang. Ketika ditahan pada 1942, tubuhnya mulai sakit-sakitan.

Pria beristri keturunan Jawa-Swiss ini menghembuskan napas terakhirnya pada April 1945, di sebuah kamp interniran di Cimahi, Jawa Barat.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf