Menuju konten utama

Soal Penyadapan, SBY: Bola Ada di Polri dan Pak Jokowi

Mantan Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta Polri mengusut dugaan penyadapan telpon miliknya.

Soal Penyadapan, SBY: Bola Ada di Polri dan Pak Jokowi
Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono memberi keterangan kepada media di wisma Proklamasi terkait penyadapan dan penyebutan namanya dalam persidangan Ahok, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2017). Tirto.id/Andriansyah.

tirto.id - Mantan Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta Polri mengusut dugaan penyadapan telpon miliknya. Apabila penyadap telpon merupakan lembaga negara, menurut SBY, kewenangan penindakan ada di Presiden Joko Widodo.

"Bola sekarang bukan ada pada saya, bukan di pak Maruf Amin, bukan di pak Ahok dan pengacaranya, tapi di Polri dan penegak hukum lain. Kalau ternyata yang menyadap adalah institusi negara, maka bola berada di pak Jokowi," kata SBY dalam konferensi pers tanpa tanya jawab di Kantor DPP Demokrat, Wisma Proklamasi, Jakarta, pada Rabu petang (1/2/2017) seperti dikutip Antara.

Isu mengenai dugaan penyadapan telpon milik SBY mencuat setelah berlangsungnya persidangan ke-8 kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Selasa kemarin. Persidangan itu menghadirkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Ma`ruf Amin.

Di tengah persidangan, salah satu kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat, bertanya ke Ma`ruf tentang kebenaran kabar bahwa SBY menelpon Ma`ruf pada (6/10/2016). Tapi, Ma`ruf membantah ada telpon dari SBY ke dirinya pada sehari sebelum Paslon Nomor Urut 1 Pilgub DKI Jakarta 2017, Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni mengunjungi kantor PBNU dan Muhammadiyah tersebut.

Tapi, Humphrey mengklaim memiliki bukti adanya pembicaraan telpon SBY dan Ma`ruf itu. Dia juga sempat bertanya ke Ma`ruf kebenaran informasi bahwa, di komunikasi telpon itu, SBY meminta MUI menerbitkan fatwa terkait penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Penyataan Humphrey di persidangan ini memunculkan spekulasi kemungkinan ada penyadapan ke hubungan telpon antara SBY dan Ma`ruf.

Hari ini, sebelum SBY menggelar Konferensi pers, Ahok membantah ada penyadapan itu. Dia mengklaim informasi mengenai adanya komunikasi via telpon antara SBY dan Ma`ruf berdasar berita di media online liputan6.com.

Sementara SBY mengaku memang ada percakapan antara dirinya dengan Maruf Amin melalui sambungan telepon. Tapi sambungan telpon itu terjadi pada (7/10/2016) atau saat putranya, Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni menemui pengurus PBNU dan Muhammadiyah.

Ketika pertemuan sudah berlangsung di kantor PBNU, SBY menerima laporan dari rombongan Agus dan Sylviana mengenai siapa saja tokoh NU yang menemui mereka. Di antara tokoh-tokoh itu ada Ketua Umum PBNU Said Aqil Sirajd namun juga ada Rais Aam PBNU Ma`ruf Amin.

"Dan kemudian, ada staf di sana yang menyambungkan saya dengan pak Ma`ruf melalui telepon, yang kaitannya bahwa kita Insya Allah suatu saat bisa berdiskusi," ujar SBY.

Menurut dia komunikasi via telpon itu terjadi karena difasilitasi oleh salah satu staf di PBNU. Adapun isi percakapannya, kata SBY tidak berhubungan dengan kasus Ahok atau tugas-tugas MUI.

"Jika percakapan saya dengan pak Maruf Amin atau percakapan siapa dengan siapa itu disadap tanpa alasan sah, tanpa perintah pengadilan dan hal-hal yang dibenarkan undang-undang, itu namanya ilegal. Saya berharap kepolisian, kejaksaan pengadilan untuk menegakkan hukum sesuai Undang-Undang ITE," ujar SBY.

SBY berpendapat dugaan penyadapan ke telponnya perlu diusut oleh Polri karena mencuat dari fakta persidangan Ahok atau artinya memiliki kedudukan penting di mata hukum. Dugaan itu muncul karena kuasa hukum Ahok mengklaim punya bukti adanya pembicaraan terkait fatwa MUI untuk kasus penistaan agama yang muncul di sambungan telpon antara SBY dan Ma`ruf.

"Jadi saya antara yakin dan tidak yakin saya disadap. Kalau betul disadap, ada Undang-Undang ITE, di Pasal 31 disebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan penyadapan, dalam suatu komputer dan atau sistem elektronik tertentu milik orang lain dipidana dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun dan atau denda paling banyak Rp800 juta," ujar SBY.

Baca juga artikel terkait PENYADAPAN atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom