Menuju konten utama
Daisy Indira Yasmine

Soal Konflik Bertetangga: Tak Kenal Maka Tak Sayang

"Kita bukan harus takut pada konflik, tapi kita harus edukasi diri bagaimana mengelola konflik."

Soal Konflik Bertetangga: Tak Kenal Maka Tak Sayang
Daisy Indira Yasmine, dosen sosiologi Universitas Indonesia. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sebagaimana cekcok sebuah rumah tangga, cekcok antar-tetangga adalah perkara sehari-hari. Dan, kalau sudah sulit ditengahi, ujung-ujungnya dibawa ke pengadilan. Kasus terbaru misalnya terjadi di permukiman kelas menengah-atas di Pamulang, Tangerang Selatan, antara seorang jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tetangganya. Si jaksa menggugat secara perdata si tetangga sebesar Rp2,6 miliar.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmine berpendapat kasus macam itu mengindikasikan apa yang dia sebut tidak ada "sense of community" alias defisit tenggang rasa di lingkungan permukiman tersebut. Ia berkata meski tinggal bersama dalam satu lingkungan tapi boleh jadi orang per orang di sana masih membawa karakter individualis.

Karakter macam itu bikin kita tak mengenal satu sama lain, katanya. Kalaupun enggan dianggap tidak pernah berinteraksi sama sekali, sangat mungkin interaksi mereka terbatas meski tinggal bersebelahan. Ini yang bisa jadi salah satu pemicu konflik bertetangga.

Ia menilai peran RT/RW setempat bisa menjadi mediator konflik bertetangga. Meskipun, katanya, peran macam itu kini mulai terkikis maknanya beriring perkembangan zaman. Menurutnya, peran RT/RW di perumahan modern sebatas pengurus administrasi, kependudukan, dan pengutipan iuran kebersihan lingkungan.

Yasmine menilai, meski kita juga perlu skeptis, bahwa definisi sebagai RT/RW terutama di perumahan modern mulai kehilangan makna dan martabatnya. Warga banyak menolak menjadi ketua RT/RW dan terkadang mau mengemban peran itu karena "terpaksa", ujarnya. Ia membandingkan peran penengah macam itu masih berfungsi relatif baik di lingkungan tradisional.

Saya meminta pandangan Yasmine sebagai seorang sarjana sosiologi untuk mengelaborasi persoalan yang terlihat sepele saking lazimnya urusan bertetangga, di sisi lain signifikansinya juga penting mengingat hidup bertetangga tak selalu sesederhana kelihatannya.

Bagaimana Anda menilai masalah hidup bertetangga di Indonesia sampai berbuntut gugatan ke pengadilan?

Dalam pemukiman selalu ada struktur organisasi atau komunitas, terlepas komunitas itu terbangun atau tidak. Misalnya kualitas komunitas itu tak terbangun dengan baik, tapi pasti ada tokoh RT/RW. Mereka inilah yang membuat aturan-aturan lingkungan. Kalau penebangan pohon, diselesaikan dengan duduk bersama secara kekeluargaan. Namun, jika persoalan berat dan tidak bisa diselesaikan, barulah masuk ke ranah gugatan hukum, baik perdata atau pidana. Itu pun jika pelanggarannya sudah berat. Tapi, dari sisi sosiologis, sangat disayangkan dalam satu kluster melakukan gugatan hukum.

Ini menyangkut kehidupan bertetangga. Pasti dalam hidup bertetangga ada konflik. Di semua pemukiman pasti ada konflik. Tinggal bagaimana mekanisme penyelesaian konflik di lingkungan tersebut. Memang, jika tak bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan memang kasusnya layak dibawa ke gugatan perdata, itu hak dia.

Bagaimana jika peran RT pun gagal memediasi antar-warga tersebut?

Masalah tersebut menjadi pembelajaran ke depan. Saya menilai dua-duanya punya kesalahan dalam penyelesaian konflik. Kalau sudah masuk ke ranah hukum perdata, maka tak bisa ditolak karena warga negara memiliki hak untuk menggugat.

Dengan temuan-temuan itu, lingkungan perkotaan harus menggagas bagaimana memberdayakan RT/RW supaya lebih berfungsi tak sekadar mengurus administrasi kependudukan, tapi berfungsi membangun sense of community di dalam lingkungan pemukiman.

Apa ekses bagi lingkungan sekitar dari cekcok tetangga berbuntut proses hukum?

Pasti memberikan suasana tidak nyaman kepada tetangga lain. Jangan sampai menimbulkan pecah belah. Yang harus diperhatikan pada soal pembelajaran: bagaimana mekanisme penyelesaian konflik-konflik bertetangga di lingkungan pemukiman. Buatlah prosedur sebab kejadian yang Anda contohkan terjadi di lingkungan perumahan modern. Yang namanya komunitas tidak sekadar tinggal bersama, kan. Komunitas itu definisi sosiologisnya harus punya tenggang rasa kebersamaan, saling percaya dan saling bantu satu sama lain. Jika tidak, cuma disebut lingkungan permukiman.

Apa pernah ada yang mengkaji mengenai isu konflik bertetangga di Indonesia?

Belum ada. Soalnya kita masih memperlakukan konflik ini sebagai hal sepele. Sebenarnya dalam sosiologis tidak tepat juga. Justru cikal bakal konflik tetangga, tawuran antar-kampung karena sense of community-nya hilang. Jadi persoalan yang harusnya bisa diselesaikan di level komunitas akhirnya dibawa ke ranah hukum. Sebenarnya harus ada penelitian mengenai hal ini.

Saya pernah melakukan penelitian secara kualitatif ya, bukan kuantitaif. Banyak kasusnya. Apalagi di pemukiman padat. Kayak ada balance. Kalau di pemukiman perumahan tradisional yang padat, potensinya tinggi, mekanisme penyelesaiannya tinggi juga karena mereka hidupnya dekat satu sama lain, sangat tergantung pada permukiman.

Jadi kontrol sosial bekerja karena mereka hidup di perkampungan padat, lalu sumbernya terbatas, dan potensi gesekan tinggi tapi mekanisme kontrolnya efektif. Ada mekanisme sendiri untuk meredamnya. Mereka masih membutuhkan lingkungan itu karena masih membutuhkan satu sama lain.

Kalau lingkungan menengah-atas, sense of community enggak ada. Malah ketergantungan satu orang sama tetangganya enggak ada. Masing-masing hidup di dunia sendiri-sendiri walaupun tinggal bersebelahan. Kontrol sosial sense of community-nya itu yang kurang atau enggak ada.

Perlukah orang ramai untuk ikut campur konflik antar-tetangga?

Keterlibatan mereka tidak boleh asal. Harus difasilitasi oleh lembaga yang memang bisa diakui oleh masyarakat tersebut. Misalnya keterlibatan masyarakat melalui aspirasi RT/RW yang punya wewenang. Sekelompok orang atau tokoh masyarakat setempat yang diakui menjadi penengah itu baru bisa terlibat. Enggak boleh sembarangan. Kalau enggak, malah mengeskalasi konflik. Dari konflik personal malah jadi konflik komunal. Ini tentu kurang baik.

Faktor perbedaan budaya, perubahan sosial, atau kepentingan banyak orang bisa mempertajam konflik dalam satu komunitas. Pendapat Anda?

Semuanya bisa jadi pemicu konflik. Definisi konflik: ada dua orang memiliki dua tujuan berbeda sudah disebut konflik. Tapi enggak semua konflik menjurus pada kekerasan. Kekerasan dan konflik itu berbeda. Jadi potensi konflik selalu ada dan banyak dalam hidup bertetangga.

Perbedaan demografi bisa menjadi potensi konflik: laki-laki, perempuan, tua dan muda. Apalagi kaya-miskin dan status sosial. Karena setiap status itu menciptakan kepentingan berbeda dalam hidup satu komunitas. Pasti begitu.

Dalam kehidupan bermasyarakat, sulit mengatakan jika tidak ada konflik. Kita bukan harus takut pada konflik, tapi kita harus edukasi bagaimana mengatur atau mengelola konflik.

Maka, perlu ada satu sistem pengorganisasian sosial yang baik. Diciptakan norma bersama. Itulah bagian dari manajemen konflik. Membangun senseof kebersamaan sebagai penghuni. Pada masing-masing penghuni membangun identitas bersama yang lebih luas. Misalnya, beda identitas: saya Jawa, tetangga saya Batak. Tapi kita juga ada komunitas penghuni yang kenal satu sama lain. Dengan demikian, terbangun toleransi dan pengertian. Kalau banyak interaksi, muncullah toleransi.

Tapi, kalau kamu enggak kenal sama tetangga, enggak pernah lihat, dalam kepala kamu: dia orang asing. Kamu enggak peduli pada apa yang terjadi dengan tetanggamu. Rumah saya, ya rumah saya. Rumah kamu, ya rumah kamu. Kalau yang sebelah berisik, yang satu emosi. Klise memang, tapi benar: tak kenal maka tak sayang.

Baca juga artikel terkait KONFLIK SOSIAL atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam