tirto.id - Akhir September 2018, sejumlah media melaporkan mengenai drama bertetangga berujung gugatan perdata. Berita ini lumayan mencuri perhatian karena, pertama, tuntutannya miliaran rupiah; kedua, pelapor adalah pejabat negara; dan ketiga, gabungan keduanya membuat perkara yang tampak sepele mengenai adab bertetangga menebalkan satu ungkapan terkenal bahwa kita bisa memilih sebuah rumah tapi tidak bisa memilih tetangga.
Si pejabat adalah seorang jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi bernama Hendra Apriansyah. Tetangganya bernama Deddy Octo Simbolon. Mereka tinggal di kawasan Perumahan Modernhill Cluster Neo Agathis di Pamulang, Tangerang Selatan. Keluhan satu terhadap yang lain, yang dipendam sejak lama tetapi gagal dimediasi secara kekeluargaan, akhirnya berbuntut laporan hukum.
Kisahnya bermula pada 2013 sewaktu Hendra, sebagai penghuni baru, meminta Octo sebagai penghuni lama untuk menjelaskan syarat pembuatan akta jual beli rumah. Octo emoh menanggapi. Berikutnya saat Octo membangun toilet di lantai dua dan, dengan sengaja atau tidak, bangunan tambahan ini melewati tembok pembatas rumah. Meski kesal, Hendra mendiamkannya. Puncaknya pada tahun ini ketika Octo menebang pohon di pekarangan rumah Hendra saat keluarga Hendra tengah mudik Lebaran ke Padang.
Sepulang mudik dan mengetahui pohon ditebang, istri Hendra minta penjelasan kepada Octo. Bukannya diberi penjelasan secara baik-baik, Octo menjawab dengan nada tinggi dan membentak, "Suamimu sendiri yang tebang!"
Istri Hendra terang kesal dengan tuduhan itu dan tambah berang ketika Octo berkata, "Sudah, sudah, mau dibayar berapa? Kalau tidak suka, saya bangun tembok saja tinggi-tinggi." Cekcok makin meruncing ketika Octo membangun tembok pembatas rumah setinggi 2 meter pada Juli lalu.
Enggan perkara ini terus jadi bara berlarut-larut, ketua rukun tetangga bernama Deny terlibat untuk mendamaikan mereka. Ia mendatangi Octo dan Hendra untuk mendengarkan masalahnya. Ia memutuskan untuk mengajak mereka bertemu demi mencari solusi yang sama-sama baik bagi keduanya.
Deny mengatakan Hendra bersedia dimediasi dengan Octo agar urusan bertetangga macam ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, Octo mangkir dalam pertemuan itu.
"Seminggu ditungguin enggak ada kabar," kata Deny kepada saya melalui telepon. "Ya sudah, sama-sama mau menang. Enggak ada yang mau kalah. Mereka sudah dewasa. Bukan anak kecil. Kalau omongnya teduh-teduh aja, enggak ada [kasus] begini."
Kasus yang dimaksud Deny adalah saat Hendra akhirnya memutuskan jalur hukum. Melalui pengacaranya, Hendra mengajukan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Tangerang pada 18 September 2018. Ia menggugat Octo untuk ganti kerugian sebesar Rp2,6 miliar.
Menurut Deny, setelah gugatan hukum itu, Octo memintanya untuk dipertemukan dengan Hendra demi penyelesaian secara kekeluargaan. Tapi, agaknya, respons Octo kadung terlambat. Kali ini Hendra emoh diajak mediasi karena ia sudah mantap menempuh jalur hukum dan menyerahkan urusan ini ke pengacaranya.
"Kita enggak bisa ngapain-ngapain lagi. Mereka memilih jalan masing-masing," jawab Deny.
Media-media menyebut perkara mereka dengan salah satu judul yang bombastis: gara-gara sebatang pohon, jaksa KPK gugat tetangganya Rp2,6 miliar.
Saya minta penjelasan kepada salah satu staf pegawai PT Modernland Reality Tbk., sebagai pengembang Modernhill, dan mendapati jawaban bahwa pihaknya memang memberi izin kepada Deddy Octo Simbolon untuk membangun toilet di lantai dua. Alasannya, toilet yang dibangun pengembang di lantai satu memang kecil. Karena sudah diberikan izin, Octo membangun toilet dengan menyewa tukang sendiri, bukan dari pihak pengembang, menurut si pegawai.
Pihak pengembang semula tak mengetahui toilet tambahan itu melewati batas tembok rumah tetangga dan baru mengetahuinya setelah Hendra, saat itu baru menempati rumahnya, melaporkan kepada manajemen perumahan.
"Saya lihat sendiri toiletnya melewati batas pagar di belakang," kata si staf pegawai pengembang saat saya menemuinya di Cluster Neo Agathis pada awal Oktober lalu.
Menurutnya, Hendra mengeluhkan air toilet yang merembes ke rumahnya sehingga menimbulkan bau. Saat hujan, air dari atap toilet langsung menetes ke rumah Hendra sehingga tembok rumah berjamur dan lembab. Selama tiga tahun, ujarnya, Hendra memendam rasa kesal dan cekcok mereka baru dibesarkan sekarang.
Puncak kekesalan Hendra saat Octo membangun tembok pembatas rumah tanpa seizin pengembang dan tanpa musyawarah terlebih dulu dengan tetangga. Menurut staf pengembang, aturan perumahan Modernhill untuk Cluster Neo Agathis memang tak mengizinkan ada pembatas rumah antar-tetangga karena kluster ini sudah dikelilingi pagar tembok dan hanya punya satu akses pintu masuk.
Ia berkata cekcok antara Hendra dan Octo itu cuma menunggu "bom waktu."
Abdul Hamim Jauzie, pengacara Deddy Octo Simbolon, membantah soal aturan tembok pembatas rumah di kluster perumahan yang ditempati kliennya. Dalam perjanjian pengikatan jual beli, "tidak ada aturan dilarang membangun tembok pembatas," ujar Jauzie.
Jauzie berkata ada tiga poin gugatan terhadap kliennya: perkara penebangan pohon, pembangunan tembok pembatas rumah, dan toilet tambahan di lantai dua yang melebihi 20 sentimeter ke area rumah Hendra.
"Tapi bangunan toilet itu enggak melebihi batas, kok, karena posisinya melengkung sehingga kesannya lebih," klaimnya.
Cekcok antar-tetangga berbuntut meja hijau, bila telaten dikumpulkan satu demi satu, sangat mungkin lebih dari hitungan jari. Di Pekanbaru, urusan bertetangga dilaporkan pidana pada 2009. Ceritanya seorang bidan bernama Susanti terganggu oleh ulah tetangganya bernama Wan Syamsul yang membuat pagar seng, yang dituduh bikin orang enggan datang ke rumah si bidan. Susanti mencabut pagar seng yang bikin rusak pemandangan. Tak terima, Syamsul melaporkan Susanti ke pengadilan.
Buntutnya, Susanti divonis selama 8 bulan dengan masa percobaan 15 bulan penjara. Putusan ini bertahan hingga kasasi Mahkamah Agung.
Ada juga kasus serupa di kompleks Bea Cukai di Cilincing, Jakarta Utara, yang melibatkan Nur Aini Lubis dan Barita Pardede. Perselisihan keduanya pernah didamaikan oleh Kapolsek dan Ketua RT setempat. Tapi cekcok mereka tetap langgeng macam musuh dalam selimut.
Nur Aini mengklaim ia "dizalimi" oleh Pardede karena meludahinya. Sementara Pardede mengklaim Aini menghinanya. Keduanya lantas melapor ke Polsek Cilincing. Pada 19 Desember 2011, polisi menetapkan Nur Aini sebagai tersangka dengan pasal penghinaan di muka umum.
Kasus ini, mungkin karena perkaranya terlihat sepele, lagi-lagi perlu diberi judul berita bombastis bahwa "eks karyawati Kedubes Meksiko"—yang merujuk Pardede—mengadu ke polisi karena tidak akur bertetangga.
"Saya orang berpendidikan, malu seperti ini terus berlarut-larut. Tapi dia mengulangi lagi. Terpaksa saya membawa kasus ini ke pengadilan hanya ingin memberikan efek jera kepada dia. Supaya jangan mengulangi lagi," kata Pardede.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam