Menuju konten utama

Soal Karhutla, Kemendes: Negara Tetangga Jangan Menyalahkan Saja

Kemendes PDTT Eko Putro Sandjojo kesal karena negara tetangga menyalahkan Indonesia karena kasus karhutla. Dia tidak tahu negara tetangga juga sudah menawarkan bantuan.

Soal Karhutla, Kemendes: Negara Tetangga Jangan Menyalahkan Saja
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Eko Putro Sandjojo memberikan keterangan kepada wartawan usai menjadi pembicara utama di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Selasa (17/9/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id -

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Eko Putro Sandjojo mengaku "jengkel" dengan negara lain karena menyalahkan Indonesia soal kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menimpa sebagian Sumatera dan Kalimantan.

"Padahal," kata Eko di Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (17/9/2019), "negara-negara tersebut itu selama 11 bulan menikmati oksigen gratis dari Indonesia."

Mengacu data Global Forest Watch sebagaimana dilansir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 1 Agustus 2019 hingga 14 September 2019 setidaknya ada 151.862 titik kebakaran hutan di Indonesia. Titik api terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.

Made Ali, koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), mengatakan apa yang dirasakan warga "seperti dikurung dalam sebuah ruangan tertutup bersama tungku kayu bakar yang menyala." Sedemikian parahnya hingga langit biru pun dirindukan orang-orang Riau sejak Agustus lalu.

Efeknya sampai ke negara tetangga. Dilaporkan kantor berita Bernama asal Malaysia, 145 sekolah di distrik Sepang, Hulu Langat, Kuala Langat, Klang, dan Petaling Perdana ditutup karena asap semakin parah. 187.928 siswa diliburkan.

Kondisi ini mendorong 21 orang Malaysia mendesak pemerintahnya sendiri agar menggugat pemerintah Indonesia. Dalam surat gugatan, mereka mengatakan selama 20 sampai 25 tahun terakhir, tidak ada yang mau bertanggungjawab atas kasus asap ini.

Situasi Singapura mirip. Ahad lalu, Kementerian Pendidikan Singapura (MOE) mengaku akan menutup sekolah jika kualitas udara tidak juga membaik.

Sehari sebelumnya Eko juga sempat mengunggah cuitan di akun Twitter @EkoSandjojo. Ia meminta agar perusahan asing yang terbukti membakar hutan ditindak tegas.

"Perusahaan yang terbukti membakar hutan, apalagi perusahaan asing, dicabut saja izinnya dan jangan diberi kesempatan berinvestasi di Indonesia lagi. Proses hukumnya wajib diteruskan. Kerusakan yang dibuat oleh mereka sudah sangat keterlaluan," cuitnya.

Hanya satu perusahaan asing yang lahannya sudah disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena diduga biang kerok karhutla di Riau. Sembilan lagi perusahaan dalam negeri. Inisial perusahaan yang telah disegel adalah PT RSS, PT SBP, PT SR, PT THIP, PT TKWL, PT RAPP, PT SRL, PT GSM, PT AP, PT TI. Mereka bergerak di bidang industri kehutanan dan perkebunan kelapa sawit.

Eko mengatakan harusnya karhutla jadi tanggung jawab bersama, khususnya negara-negara di kawasan yang berdekatan dengan titik kebakaran.

"Karena benefitnya dirasakan oleh seluruh negara-negara di kawasan. Bantu dong, jangan hanya menyalahkan saja," tegasnya.

Sebenarnya pemerintah negara tetangga sudah mau melakukan itu tanpa diminta. Mereka tidak hanya menyalahkan seperti yang dikatakan Eko. Dilaporkan Financial Times, Singapura "teah menawarkan bantuan untuk Jakarta memerangi kebakaran."

Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura Masagos Zulkifli mengatakan bantuan yang dimaksud termasuk bantuan teknis pemadam kebakaran. "Siap menyebarkannya jika diminta oleh Indonesia," katanya. Tapi sampai Senin malam, belum ada tanggapan resmi dari Jakarta.

Pun dengan Malaysia. Tapi seperti dilaporkan Straits Times, Agus Wibowo, juru bicara BNPB, mengatakan Indonesia belum membutuhkan bantuan asing untuk menangani masalah ini karena merasa mampu menanganinya sendiri.

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino