tirto.id - Awal 2021, linimasa media sosial di Indonesia sempat ramai dengan fenomena animal communicator, orang yang bisa berkomunikasi dengan hewan. Para pengguna jasa mereka mengunggah pengalaman serta kesan setelah berkonsultasi dengan animal communicator.
Sampai saat ini belum ada asosiasi profesi yang menjadi payung para animal communicator. Demikian pula dengan hukum serta regulasi terkait praktik mereka. Secara kedokteran, praktik animal communication ini tidak diakui. Alasannya, susah menguji kegiatan yang mirip cenayang itu dengan basis sains. Tapi yang jelas tak sedikit para pemilik hewan peliharaan yang percaya.
Beberapa hal yang dikonsultasikan di antaranya perkara hewan hilang, hewan tidak mau makan, hewan lemas, serta berbagai perubahan perilaku yang terjadi secara mendadak. Saat ini bila hewan piaraan sedang sakit, ada pemilik hewan yang memilih untuk berkonsultasi dengan jasa animal communicator terlebih dulu sebelum membawa hewan peliharaan ke dokter.
Tirto berbincang dengan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dokter Hewan Indonesia untuk meminta pendapatnya terkait praktik animal communication yang sedang bermunculan, regulasi yang mengatur dokter hewan, serta bagaimana pandangan kedokteran terhadap praktik ini.
Apakah sudah pernah mendengar istilah animal communicator?
Kalau yang dimaksud dengan animal communicator konteksnya adalah cara berkomunikasi dengan hewan, saya pernah diajari oleh salah satu dokter namanya Rajanti. Dia punya teknik mind power (istilah yang digunakan drh.Rajanti untuk menyebut teknik memanfaatkan gelombang alfa pada otak dalam berkomunikasi antar spesies) yang saya pernah belajar itu.
Apa kesan setelah mempelajari mind power?
Saya gak terlalu tertarik karena tidak bisa mempraktikkan. Saya dilatih tolong pejamkan mata, bayangkan ini dan itu. Tapi ternyata gak nyampe. Saya gak bisa. Daripada berbohong, berpura-pura bilang kalau saya bicara atau bertemu dengan hewan, lebih baik ngomong memang saya gak bisa. Atau mungkin saya tidak punya sensitivitas terhadap gelombang alfa. Saya gak tahu.
Bagaimana ceritanya sampai bisa belajar teknik tersebut?
Istri saya ingin mencoba teknik mind power. Dia mengajak saya.
Apakah sang istri berhasil mempraktikkan teknik tersebut?
Percaya tidak percaya ya katanya sih bisa. Kembali lagi, itu kan tidak saintifik. Tidak bisa dibuktikan secara nyata. Saya gak tahu istri saya benar apa nggak. Saya gak ngerti. Yang bisa merasakan dirinya sendiri, orang lain gak bisa. Kalau percaya yo monggo.
Apa opini Anda terhadap ranah animal communication?
Saya rasa ini merupakan suatu ilmu baru ya karena saya zaman kuliah kan nggak pernah diajari pelajaran seperti itu. Tidak ada pelajaran soal cara berkomunikasi dengan hewan. Kalau mau dibilang ini hanya main-main tapi kok ada kejadiannya yang betulan.
Tapi kalau mau dibilang ini ilmiah, saya belum bisa menyatakan ini ilmiah karena untuk tahu satu hal itu ilmiah atau bukan kan harus dengan dasar saintifik dalam menyatakan hal itu memang benar terjadi atau tidak.
Saya tidak bisa berpendapat karena belum merasakannya sendiri. Tapi apakah pengikut dari ranah ini banyak? Ternyata pengikutnya banyak. Ada sesuatu yang bisa dirasakan oleh para pengikutnya itu. Sementara saya belum pernah mengalami, saya tidak bisa mengatakan itu benar tau tidak.
Ketika kuliah dulu, ilmu apa yang dipelajari dalam kaitannya dengan perilaku hewan?
Dulu ada ilmu tingkah laku hewan tapi bukan berkomunikasi dengan hewan. Misal ada anjing kupingnya tegak ke atas, kita tahu bahwa anjing itu sedang marah. Begitu misalnya. Anjing menunjukkan taring giginya artinya dia mau menyerang. Itu semua bisa dilihat kasat mata.
Apakah pernah tertarik untuk mencoba mempraktikkan metode mind power terhadap hewan?
Tidak tertarik karena saya bukan tipe orang yang bisa dengan cepat mempercayai sesuatu.
Sejumlah animal communicator beranggapan bahwa profesi ini akan menjadi besar di hari depan. Bagaimana menurut Anda?
Yang jelas, itu tidak akan pernah bisa menggantikan kemampuan dokter hewan.
Apakah wacana soal profesi animal communicator ini jadi perbincangan di kalangan asosiasi?
Prosentase dari anggota saya itu belum ada 1% persen yang percaya. Bagi kami ini bukan merupakan sebuah masalah yang harus dibahas.
Lantas apa yang saat ini penting dibahas di ranah asosiasi dokter hewan?
Ya salah satunya. Dokter hewan ini kan profesinya tersebar di berbagai bidang. Ada yang di Kementerian lingkungan hidup, ada yang membawahi hewan liar, ada yang bekerja sebagai praktisi, ada yang bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan ada dokter hewan yang bekerja juga sebagai pelaku bisnis.
Sementara, UU no 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, belum bisa memayungi aktivitas para dokter hewan yang ada di berbagai bidang tadi. Yang dinaungi baru dokter hewan yang ada di Kementerian pertanian.
Kami sebagai PDHI yang mempunyai anggota dengan berbagai macam latar belakang kegiatan pelayanan kesehatan hewan, merasa penting adanya UU yang memayungi seluruh kegiatan profesi dokter hewan.
UU no 18 tidak mengatur dokter hewan yang ada di sektor perikanan, kebun binatang.
Pasal apa yang perlu dimasukkan ke dalam UU?
Sebetulnya ya UU-nya bisa berubah total karena UU no 18 itu orientasinya masih hewan-hewan produksi seperti sapi, kambing, domba. Tapi kaitannya dengan hewan eksotis seperti ular, kura-kura, jerapah itu gak ada.
Sampai saat ini juga tidak ada aturan soal tugas tanggung jawab dokter hewan yang mengatur tentang dokter hewan seperti apa yang harus melakukan kegiatan terhadap satwa liar. Kalau yang mengatur sapi boleh dikawinkan sama ini itu ada.
Tapi dokter hewan kan tidak hanya menangani hewan produksi. UU ini diproduksi zaman Pak Harto (presiden Soeharto). Dia tahunya dokter hewan hanya urusi sapi, domba, kambing.
Dampak buruk yang sudah terjadi selama ini ?
Contoh, saya mengobati hewan di hutan itu surat izin praktiknya dari mana? Saya harus berhubungan dengan kementerian lingkungan hidup dulu baru bisa mengobati gajah, orang utan, kera. Kalau gak ada izin Kementerian lingkungan hidup, gak boleh. Nah ini sistemnya belum terintegrasi.
Selain soal ini, apa hal lain yang tengah diupayakan asosiasi?
Ini sehubungan dengan UU Ciptaker. Kami di PDHI sedang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait surat izin praktik. Karena kalau menurut Ciptaker, seorang dokter hewan yang mengajukan surat izin praktik itu harus punya nomor induk berusaha. Kita gak mau itu. Karena kita pelayanan profesi bukan pelayanan dagang. Dokter beda dengan orang buka toko, salon, apotik. Sehingga kami tidak mau dokter disamakan dengan usaha dagang.
Di samping itu, PDHI bersama asosiasi fakultas kedokteran hewan sedang rencanakan pelaksanaan kegiatan ujian exit exam. Ujian yang diwajibkan kepada seluruh calon dokter hewan sebelum resmi jadi dokter hewan. Bahwa setiap dokter hewan wajib melakukan uji kompetensi dokter hewan.
Apabila dia tidak lulus dia tidak akan jadi dokter hewan. Ini untuk menjamin kualitas lulusan dokter hewan seluruh indonesia. Karena fakultas kedokteran hewan di indonesia ada 11. Dua di antaranya swasta. Kita menginginkan seluruh lulusan dokter hewan mempunyai kompetensi yang sama meski lulus dari berbagai macam fakultas atau universitas. Itu akan kita mulai sejak 30 oktober 2021.
Ini sebetulnya pelaksanaan uu no 12 taun 2012 yang jadi instruksi kementerian pendidikan. Hanya saja PDHI atau dokter hewan atau fakultas kedokteran hewan termasuk terlambat melaksanakan aturan itu.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Adi Renaldi