tirto.id - Nisul menangis tersedu. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk terhadap beberapa tetangga yang ia pikir mungkin saja mengambil Poli, kucing Persia miliknya. Dengan hati tak tenang, ia berkunjung ke pasar hewan karena khawatir Poli telah dijual di sana. Nisul juga mendatangi desa-desa sekitar sambil berharap menemukan Poli. Dan bahkan turut mempraktikkan mitos mencari kucing hilang: bicara ke sekumpulan kucing untuk meminta tolong memanggil si kucing hilang. Hasilnya nihil.
Pada hari ketiga setelah kepergian Poli dari rumah, Nisul diam-diam memutuskan berkonsultasi pada animal communicator atau penyedia jasa komunikasi dengan hewan yang bisa dilakukan dari jarak jauh.
“Saking sedihnya, Mbak,” kata Nisul yang mengetahui informasi soal animal communicator dari seorang kawan.
Ia mentransfer uang Rp200.000 kepada animal communicator yang menurutnya terkesan populer. Lewat WhatsApp, Nisul mengirim foto Poli dan bertanya, “Poli di mana?”, “Poli pergi sendiri atau dibawa orang?”, “Poli mau dijemput?”
Keesokan harinya, animal communicator mengirim hasil obrolan dengan Poli. Katanya; Poli lelah, lapar, dan ingin pulang tapi sulit karena banyak orang yang mau menangkap dia. Poli tidak pulang karena ditangkap di dekat perempatan oleh seorang pengendara motor. Kemudian dimasukkan ke sebuah kandang yang terletak di dalam rumah paling pojok bergenteng cokelat, yang dibangun di area bekas persawahan.
Si animal communicator lantas meminta Nisul membayangkan rumahnya berwarna kuning cerah sehingga cahaya itu bisa menuntun Poli pulang.
Namun Nisul tak kunjung tenang. Usai konsultasi dengan animal communicator, yang datang ke rumah Nisul justru salah satu satpam kompleks yang mengabarkan bahwa seorang asisten rumah tangga dari pemilik rumah paling pojok di kompleks itu, melihat Poli tewas tersangkut di pagar. Ia bertanya kepada satpam soal pemilik kucing. Namun satpam tidak mengerti bahwa kucing yang tewas adalah Poli si kucing hilang.
Poli sudah dikubur tidak sampai 24 jam setelah pergi dari rumah pada pertengahan Juli lalu.
Nisul sempat kesal karena animal communicator tidak bilang bahwa Poli meninggal. Ia pun mengirim pesan ‘protes’ kepada animal communicator. Balasannya, animal communicator berkata mungkin ada kekeliruan dalam mengartikan omongan Poli.
Tapi toh tidak ada yang bisa disalahkan karena animal communicator tidak menjanjikan Poli pasti kembali.
Maraknya Praktik Animal Communicator
Kisah Nisul hanya salah satu pengalaman pengguna jasa animal communicator. Di Indonesia, khususnya pada tahun ini, animal communicator jadi perbincangan di media sosial setelah dipopulerkan oleh beberapa content creator dan YouTuber yang punya pengalaman menarik setelah berkonsultasi dengan animal communicator. ‘Profesi’ ini turut jadi terkenal dan digunakan karena dibicarakan dari mulut ke mulut.
Sebetulnya, animal communicator tidak hanya ramai di Indonesia. Laporan Washington Post yang terbit pada Maret lalu menyebut jenis pekerjaan tersebut sedang populer di Taiwan. Tempat di mana ada 2.3 juta anjing dan kucing peliharaan—jumlah ini lebih besar dari jumlah anak di negara tersebut.
Di sana profesi animal communicator diperkirakan muncul karena para pemilik hewan peliharaan ingin lebih memahami isi pemikiran hewan agar bisa lebih memanjakan mereka. Para pemilik bisa menanyakan hal sederhana seperti apakah si hewan senang dibawa liburan?
Sementara di barat khususnya Amerika Serikat, praktik animal communication sudah terlihat sejak 1980-an. Salah satu pelakunya adalah Penelope Smith yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalaman bicara dengan hewan.
Tirto berbincang dengan drh. Rajanti yang juga merupakan animal communicator. Ia berprofesi sebagai dokter hewan sejak awal 1990an namun, tahun ini ia fokus praktik sebagai animal communicator.
Ia menawarkan jasa konsultasi penyebab perubahan perilaku dari hewan peliharaan. Misalnya, mendadak buang air di sembarang tempat, mogok makan, mendadak jadi agresif, tak bergairah dalam beraktivitas, hingga meladeni pertanyaan seperti, “Apa dia (hewan peliharaan) sayang sama aku?”—menurut Rajanti ini paling sering ditanyakan para pemilik hewan peliharaan.
Pada 2019, ia hanya praktik dua kali dalam seminggu. Sekarang, sudah ada beberapa dokter dan 14 praktisi animal communicator di kliniknya yang setiap hari melayani permintaan klien untuk berkomunikasi dengan hewan peliharaan mereka.
“Ada problem yang gak bisa diberesin pakai medis. Anxiety, insecure, perubahan emosi,” jawab Rajanti atas pertanyaan mengapa memilih hal abstrak setelah puluhan tahun bergelut dengan ilmu pasti.
Ia antusias mengisahkan salah satu pasien (sebutan untuk hewan yang dikonsultasikan) kelinci yang mogok makan. Ternyata si kelinci ngambek akibat diletakkan di kandang baru yang aromanya kurang enak dihirup.
“Saya komunikasi dengan kelinci ini. Diterapi juga. Dikasihtahu kalau dia tetap harus makan,” tutur Rajanti.
Untuk mengetahui akar masalah perilaku hewan, Rajanti hanya perlu duduk, memejamkan mata beberapa menit seperti orang berdoa, merelakskan diri, mengarahkan intensi pada pasien (baik dengan pertemuan langsung maupun lewat medium foto), dan berbincang dengan mereka.
Rajanti bilang, komunikasi bisa terjadi karena ia memanfaatkan gelombang alfa pada otak yang bisa dicapai saat kondisi tubuh relaks.
Dokter hewan ini menyebut pemanfaatan gelombang alfa dengan istilah mind power yang katanya bisa dipelajari semua orang. Katanya, ia merancang sendiri metode tersebut dengan memadukan metode linking awareness dan energetic. Sejak 2019, Rajanti membuka kelas lokakarya mind power setidaknya satu sampai dua bulan sekali dengan rata-rata jumlah peserta 50-80 orang per sesi.
Kini Rajanti sedang berupaya menjalin kerjasama dengan kampus-kampus dan memperkenalkan metode ini ke para mahasiswa.
“Setiap animal communicator punya cara berbeda dalam berkomunikasi dengan hewan,” katanya.
Sinta, pendiri Animal Communication, bercerita bahwa ia berkomunikasi dengan hewan menggunakan teknik reiki untuk penyembuhan holistik. Teknik tersebut dipelajari dari kursus online yang ia ikuti dengan biaya sekitar Rp200.000.
Setelah melalui satu sesi kursus, ia mulai membuka jasa berkomunikasi dengan hewan untuk menangani kasus hewan sakit, hewan hilang, dan komunikasi dengan hewan yang sudah meninggal.
“Jam 10.00 pagi tadi ada klien yang minta untuk sampaikan pesan ke anjingnya yang sudah meninggal September lalu. Klien mau bilang kalau dia sayang dengan si anjing dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan,” tutur Sinta.
Menurut Sinta, profesi animal communicator tidak beda jauh dengan cenayang. Dia yakin butuh bakat khusus untuk bisa berkomunikasi dengan hewan.
Sinta memilih profesi ini beberapa saat setelah perusahaan tempatnya berkerja tutup. “Sempat stress lalu Tuhan kasih jalan ini.”
Kini dalam sebulan ia menangani sekitar 80 kasus dengan durasi konsultasi satu jam setiap kasus.”Pendapatannya sangat jauh di atas UMR. Lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta.”
Sinta melihat profesi animal communicator sebagai dampak dari perkembangan gaya hidup para pencinta hewan. “Klinik hewan menjamur, pet shop menjamur, tempat-tempat untuk grooming hewan juga.”
Ia yakin animal communicator bisa jadi pelengkap dokter hewan karena bisa memberikan masukan dari perspektif yang berbeda.
“Waktu 2019, ada dokter yang mengajukan opsi euthanasia ke anjing klien saya. Tapi saya ngomong dengan anjing itu dan si anjing bilang masih mau hidup. Akhirnya anjing itu hidup sampai sekarang.”
Animal Communicator di Mata Dokter Hewan
Drh. Yanida Talbot masih ingat ketika ia menangani pasien anjing pengidap epilepsi yang belum kunjung sembuh. Ia telah melakukan pemeriksaan CT Scan untuk mengetahui masalah pada tubuh anjing dan terus memberikan obat.
Proses penyembuhan yang tidak singkat bikin si pemilik anjing berkonsultasi dengan animal communicator. Klien tersebut bercerita kepada Yanida bahwa menurut animal communicator, si anjing merasa kesakitan. Yanida pun terus memberi obat sambil memantau kondisi si anjing.
Dari situ, Yanida mengamati profesi animal communicator. “Saya heran. Saya yang terbiasa memeriksa langsung, melakukan beberapa metode pemeriksaan, membuat beberapa diagnosa saja bisa luput. Bagaimana ini dari jarak jauh lalu bisa mengetahui kondisi hewan?”
Ia kemudian mencoba menalar, “mungkin mereka memang punya intuisi tertentu.”
Selama kuliah kedokteran hewan, Yanida mengaku tidak pernah diajari teknik berkomunikasi dengan hewan. Yang ada adalah pelajaran tentang perilaku hewan.
“Contohnya siklus perkawinan, perilaku kawin, perilaku hidup sehari-hari, sensor di tubuh hewan. Kalau lihat kasus mendadak buang air sembarangan, kami pikir itu gangguan urinary incontinence.” katanya.
Ia juga mempelajari reaksi fisik sehubungan dengan derajat rasa sakit. “Raut wajah, sinar mata itu bisa mencerminkan apakah hewan sakit kronis. Demikian juga dengan selera makan, dan keadaan tubuh yang lemas.”
Yanida pun tidak selalu terpatok pada ilmu yang dipelajari di perkuliahan. Ia mencoba mengembangkan kemampuan dengan mempelajari teknik akupuntur dalam pengobatan hewan. Saat ini ia sudah tersertifikasi dan diizinkan melakukan pengobatan akupuntur pada beberapa hewan.
“Saya lebih percaya yang saintifik.”
Pendapat serupa datang dari Dr. drh. Muhammad Munawaroh, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dokter Hewan Indonesia.
Ia mengaku pernah diajak mengikuti pelatihan teknik berkomunikasi dengan hewan. Namun, Munawaroh merasa kurang sesuai dengan metode yang diajarkan. Salah satu alasannya karena tidak bisa melihat secara kasat mata setiap proses yang diajarkan.
“Hal itu kan tidak ilmiah. Tidak ada pembuktiannya,” kata Munawaroh.
Seperti halnya Yanida, Munawaroh berkata bahwa ilmu kedokteran hewan hanya mempelajari pola tingkah laku hewan misalnya telinga anjing yang tegak menandakan anjing sedang marah. Ketika anjing menunjukkan gigi taring, maka ia hendak menyerang.
“Semua bisa dilihat kasat mata.”
Munawaroh mengakui praktik animal communicator ini ada dan menurutnya, orang yang percaya juga tidak sedikit. Meski demikian, Munawaroh masih berpendapat bahwa profesi animal communicator bukan menjadi hal yang penting untuk diperbincangkan di kalangan asosiasi kedokteran hewan. Di matanya, masih ada masalah lain yang lebih penting untuk diperhatikan.
“Kalau mau percaya yo monggo,” tutur Munawaroh.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Adi Renaldi