tirto.id - Bumi Manusia adalah salah satu karya terbesar yang pernah dibuat oleh penulis Indonesia kelahiran Blora, Pramoedya Ananta Toer, selanjutnya disebut Pram. Novel setebal 354 halaman ini diterbitkan pertama kali pada 1980 oleh Hasta Mitra, dan langsung menjadi best seller sampai akhir 1980.
Sejak dicetak pertama kali pada bulan Agustus, hanya dalam waktu yang singkat, yakni sebulan, buku itu sudah terjual habis. Bahkan, setelah itu, berturut-turut pada bulan September, Oktober, dan November 1980, Bumi Manusia diterbitkan cetakan ke-2 sampai dengan ke-4, yang juga sudah habis terjual.
Cetakan kelima dilakukan pada bulan Februari 1981, yang kemudian dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Namun, dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, novel Pram itu kembali mengalami cetak ulang yang keenam pada bulan Februari 2001, meskipun secara resmi larangan peredarannya belum dicabut oleh pemerintah.
Pada September 2005, buku ini diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Bumi Manusia juga merupakan buku pertama dari empat seri novel yang dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru.
Sinopsis Bumi Manusia
Seperti dikutip Ensiklopedia, Bumi Manusia mengikuti kehidupan Minke, siswa HBS atau sekolah menengah atas dengan pengantar bahasa Belanda. Minke—yang merupakan satu-satunya orang Indonesia di antara siswa Belanda—mendapat kesempatan dari pemerintah kolonial untuk bersekolah di sana karena ia keturunan priayi.
Pada konteks masyarakat kala itu, golongan priayi tinggi diberi hak istimewa untuk menduduki karier yang terhormat, selama ia patuh pada tuntutan sistem yang ada. Sistem yang dimaksud adalah berperilaku dengan mengikuti kebudayaan priayi dan tunduk pada kemauan penguasa kolonial, yang memanfaatkan golongan priayi untuk mengukuhkan kekuasaan.
Dalam novel ini, Pram mengisahkan pula jalinan cinta Minke dengan Annelies, putri Herman Mellema dengan Nyai Ontosuroh, dan akhirnya menikahinya. Hubungan ini pula yang membawanya pada petualangan yang “menggugah”, dan menjadi bumbu pelengkap dalam kisah Minke.
Minke tergambar sebagai “sosok pribumi” penuh privilese, cerdas, dan liyan daripada golongannya. Tulisan-tulisan Minke dalam majalah berbahasa Belanda misalnya, membuat Asisten Residen mengundangnya sebagai tamu kehormatan, bahkan kemudian menjadikannya sahabat keluarga.
Namun, kehidupan penuh privilese ini justru secara berangsur membuatnya tersadar, bahwa dirinya berada dalam masyarakat rasialis. Ia menemukan pula bahwa sistem etis sekalipun, tidak dapat menerima masyarakat bangsanya (baca: pribumi).
Di sisi lain, kondisi masyarakat Indonesia pada saat itu pun dihadapkan pada kehidupan yang dengan ketat melaksanakan praktik feodalisme, termasuk oleh keluarganya sendiri. Dua premis cerita tersebut lah yang menguat sepanjang isi novel.
Melalui interaksinya dengan masyarakat kolonial, membuatnya mengerti akan adanya sistem yang bersifat rasialis dalam masyarakat. Juga, persahabatannya dengan pelukis Prancis, Jean Marais, bekas prajurit KNIL yang pernah terlibat dalam perang Aceh, turut membongkar sistem kolonial dari segi lain lagi.
Puncaknya, setelah kematian Herman Mellema, datang putusan pengadilan Amsterdam untuk menyita seluruh harta kekayaan Herman Mellema di Hindia. Tak cukup sampai di situ, pengadilan Belanda pun tidak mengakui perkawinan Minke dengan Annelies secara hukum karena Annelies masih di bawah umur. Minke dan Nyai Ontosoroh pun terus berjuang melawan hukum kolonial ini meskipun pada akhirnya menemui kegagalan.
Sejarah dan Penghargaan Bumi Manusia
Dalam kesusastraan Indonesia, Bumi Manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Novel itu menjadi satu-satunya karya sastra anak bangsa yang menjadi kandidat peraih Nobel dalam bidang sastra.
Selain itu, Bumi Manusia juga sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, sehingga memiliki kedudukan sebagai bagian dari sastra dunia. Bahkan, novel itu telah dibicarakan di forum internasional dan berbagai media massa, misalnya dalam Volksrant yang terbit di Belanda.
Di London, novel itu dibicarakan dalam majalah South (The Third World Magazine); majalah Eastern Economic Review, yang telah memuat resensinya; dan Nederland Rotterdamse Courant di Rotterdam, juga telah memuji kehebatannya.
Novel tersebut juga menuai pujian dalam majalah Time, dan media-media Amerika Serikat sekaliber New York Times, USA Today, The Los Angeles Times, dan The San Fransisco Chronicie..
Namun, seturut dengan segudang pujian prestasi yang menyelimuti novel itu, nasib “kurang baik”justru dialami sang penulis, Pramoedya Ananta Toer. Pria kelahiran 6 Februari 1925 ini pernah dibuang ke Pulau Buru. Bahkan, ketika terjadi penangkapan terhadapnya, ia mendapatkan penyiksaan.
Setelah itu, Pram dipenjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun hidup di pengasingan Pulau Buru, sebelum akhirnya dibebaskan setelah jatuhnya rezim Orde Baru.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto