tirto.id - Novel Anak Semua Bangsa (1980), merupakan bagian ke-2 dari roman tetralogi Pulau Buru karya Pramodya Ananta Toer.
Tiga novel lainnya adalah Bumi Manusia (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988), yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Hasta Mitra.
Novel Anak Semua Bangsa, mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20.
Tokoh Minke, yang di dalam Bumi Manusia memiliki pola pikir kaum terdidik Belanda, mulai berubah menjadi Minke, yang sadar akan nasib kaum bumi putera.
Cerita dalam novel Anak Semua Bangsa dimulai dengan kesedihan. Annelies, pujaan hati Minke, meninggal di negeri Belanda setelah di paksa ikut bersama walinya yang sah secara hukum Maurits Mellema, yang tak lain adalah saudara tirinya.
Untuk mengurangi rasa sedih yang dialami, Nyai Ontosoroh, mengajak Minke untuk pergi ke Tulangan, mengunjungi keluarga mertuanya tersebut. Di Tulangan, Minke, bertemu dengan kaumnya yang menderita akibat kebijakan pemerintah kolonial.
Minke bertemu dengan Surati, adik Nyai Ontosoroh, yang memiliki cerita pahit Tuan Besar Kuasa penguasa Pabrik Gula Tulangan, Frits Homerus Vlakkenbaaij, atau sering dilafalkan dengan sebutan Plikembloh.
Ia juga bertemu dengan Trunodongso, petani di Tulangan yang menolak menyerahkan tanahnya kepada Pabrik Gula. Ia bersama petani lain yang juga menolak menyerahkan tanah melakukan perlawanan dengan caranya sendiri.
Dari cerita-cerita tersebut, Minke akhirnya memutuskan untuk membela hak kaum bumi putera. Ia mulai menulis di surat kabar mengenai ketidakadilan yang dialami oleh rakyat kelas bawah. Tapi, semua tulisannya itu ditolak oleh koran-koran Belanda.
Pada akhir cerita, timbul kesadaran dalam diri Minke, bahwa dia harus menulis dengan bahasanya sendiri tentang rakyatnya, dan akan dibaca oleh sebangsanya sesama bumi putera.
Dikutip dari Ensiklopedia Kemendikbud, Jacob Sumardjo, berpendapat bahwa, "Novel kedua [dari tetralogi Pulau Buru] ini pada hakikatnya merupakan suatu analisis kritis terhadap apa yang menyengsarakan kehidupan begitu banyak orang."
Sejarah Novel Anak Semua Bangsa
Setelah kembali dari pengasingan di Pulau Buru pada 1979, Pramodya Ananta Toer, bersama 2 koleganya Hasjim Rachman, dan Joesoef Isak, membentuk penerbit Hasta Mitra pada tahun 1980.
Mereka dibantu 20 orang yang semuanya merupakan eks tahanan politik (tapol) dari Pulau Buru.
Penerbit Hasta Mitra mengakomodasi karya-karya pengarang eks tapol Pualu Buru, salah satunya Pramodya Ananta Toer, yang menerbitkan novel Bumi Manusia (1980), dan Anak Semua Bangsa (1980).
Novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, merupakan karya Pramodya selama menjalani pengasingan di Pulau Buru. Pada halaman terakhir 2 buku tersebut, ditulis titi mangsa "Buru, lisan 1973, tulisan 1975".
2 buku karya Pramodya tersebut mendapat tanggapan yang bagus dari pembaca, dan diulas dalam berbagai surat kabar. 6 bulan setelah diterbitkan, novel Anak Semua Bangsa telah dicetak ulang sebanyak 3 kali.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena Kejaksaan Agung Republik Indonesia kemudian menetapkan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sebagai bacaan terlarang, pada 1981 karena dianggap membahayakan kestabilan nasional.
Kendati demikian, novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramodya Ananta Toer, tetap banyak dicari. Orang-orang yang ingin membaca kisah Minke, kemudian mencopy buku-buku tersebut.
Sementara itu, di luar negeri buku-buku karya Pramodya Ananta Toer, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, salah satunya Anak Semua Bangsa, yang dalam versi bahasa Inggris berjudul Child of All Nations.
Pada tahun 2006, novel-novel karya Pramodya Ananta Toer, dalam bahasa Indonesia termasuk Anak Semua Bangsa, kembali dicetak dan diterbitkan oleh Penerbit Lentera Dipantara.
Penghargaan dan Nominasi Nobel Bidang Sastra
Berkat buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, yang mendapat tanggapan bagus di luar negeri, nama Pramodya Ananta Toer, sering disebut-sebut sebagai kandidat terbaik dari Indonesia dan Asia Tenggara untuk mendapatkan hadiah Nobel bidang Sastra.
Selain itu, dikutip dari Ensiklopedia Kemdikbud, Pramodya sudah mendapat berbagai penghargaan di bidang sastra seperti PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award (1988), Ramon Magsaysay Award for Journalism, Lterature, and Creative Communication Arts (1995), dan lainnya.
Sebelum bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan menjadi tapol di era orde baru, Pramodya juga pernah mendapat penghargaan di dalam negeri, salah satunya Penghargaan Balai Pustaka (1951), atas novelnya Bukan Pasar Malam (1951).
Penulis: Permadi Suntama
Editor: Yandri Daniel Damaledo