tirto.id - Para petugas vaksin COVID-19 mengalami lelah fisik dan mental dan sindrom burnout di tengah tekanan kerja memenuhi target harian, sementara pendataan penerima vaksin masih amburadul dan Presiden Jokowi sendiri berambisi ingin vaksinasi cepat kelar pada tahun ini.
Di pos vaksinasi Kebagusan Atas, Jakarta Selatan, Jumat pertama Maret lalu, saya menyaksikan penerima vaksin kalangan lanjut usia berdebat dengan para petugas. Ia memprotes harusnya divaksin hari itu, karena hari kemarin urung dengan alasan data dirinya belum tercatat. “Masa sekarang kayak gitu lagi? Enggak bisa gini,” nadanya tinggi.
Beberapa orang di dekatnya segera menenangkan. Petugas keamanan memintanya duduk seraya menawarkan satu botol air putih. Indah, petugas vaksin yang bekerja di Puskesmas Pasar Minggu, mengatakan sesuatu sesuai prosedur kepada saya tetapi mungkin bisa bikin sewot bagi orang yang tergesa-gesa.
“Kami sebisa mungkin menjelaskan kepada peserta vaksin dengan baik. Artinya, kalau ada yang enggak sesuai, kami ajak ngobrol dan coba tawarkan solusi,” ujar Indah. “Karena kami sendiri, jujur, ikut tertekan ketika ada protes langsung yang ditujukan kepada kami. Apalagi sampai keluar emosi.”
Tidak sekali Indah menghadapi situasi bersumber dari data karut-marut. Ada yang bisa ditenangkan, tapi ada juga berujung amarah. Semuanya wajib ditanggapi dengan kepala dingin, katanya.
“Kami sudah punya kerjaan banyak dengan vaksinasi. Kami tak ingin menambah beban untuk kami sendiri. Lagi pula, kami harus berpegang pada prinsip awal, yaitu melayani,” jelasnya.
Dari sembilan vaksinator yang saya temui--beberapa cuma ngobrol tanpa dikutip, beberapa bersedia dikutip, rata-rata mereka bekerja lima hari dalam sepekan, biasanya dari jam 8 pagi sampai 3 sore, dengan tugas satu orang menyuntik 30-40 orang per hari. Sampai sekarang belum ada data pasti berapa jumlah vaksinator program vaksinasi COVID-19 tapi diyakini tenaganya masih kurang untuk melayani seluruh negara kepulauan ini.
Direncanakan kelar Maret 2022, tapi Jokowi meminta rampung akhir tahun ini, vaksinasi COVID-19 telah berjalan sejak Januari kemarin, dengan prioritas target penerima vaksin secara berurutan adalah tenaga kesehatan, pelayanan publik, dan lansia. Berikutnya, tahap ketiga dan keempat yang dimulai April, menyasar kelompok rentan dan masyarakat umum. Rentang waktu 15 bulan kepada hampir 200 juta penduduk ini butuh sekitar 426.800.000 dosis vaksin. Angka 70% dari total penduduk dipercayai demi membentuk kekebalan kelompok atau herd immunity, demikian Kementerian Kesehatan.
Namun, target pemerintahan Jokowi juga ingin serba cepat.
Mereka menjanjikan bisa mengendalikan pandemi COVID-19 pada Agustus tahun ini. Klaim Bappenas, target itu bisa terwujud asalkan vaksinasi ke masyarakat umum bisa dimulai 1 Maret 2021; jumlah dosis vaksin terserap 930 ribu setiap hari, dengan mempekerjakan 31 ribu vaksinator di mana satu petugas menginjeksi 30 orang per hari. Hitung-hitungan Bappenas juga mengasumsikan tak ada penurunan efikasi vaksin Sinovac, yakni tetap 65 persen, sehingga efek perlindungan optimal dapat tercapai 14 hari setelah suntikan kedua.
Bila syarat dan asumsi Bappenas terpenuhi, “pertambahan laju kasus bisa menurun menjadi 0,9 pada September tahun ini,” klaim Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.
Angka reproduksi efektif (Rt) 0,9 menggambarkan satu orang dapat menularkan setidaknya ke 1 orang lain. Angka ini jadi acuan mengetahui pandemi dapat dikendalikan.
Bappenas merasa yakin estimasi pandemi lebih cepat dikendalikan lagi bila pemerintah mampu menambah ketersediaan vaksin seperti Pfizer, AstraZeneca, dan Novavax. Jenis vaksin ini diyakini punya efikasi lebih tinggi. Faktor lain adalah pemerintah menambah jumlah vaksinator dan kapasitas vaksinasi per hari, juga membenahi kapasitas cold chain untuk penyimpanan vaksin.
Target serba cepat dari pemerintah ini besar kemungkinan sulit terealisasi. Sampai sekarang proses vaksinasi tahap 1 dan 2 masih berjalan. Kemampuan vaksinasi Indonesia, berdasarkan data yang ada, baru menyentuh 100-150 ribu setiap hari. Itu pun baru sejak 1 Maret. Jika ingin memenuhi target, menurut analisis terbaru, dosis vaksin yang terserap harus sampai 500 ribu per hari.
‘Setiap Habis Tugas Rasanya Mau Tepar’
Masalahnya, dengan situasi vaksinasi sekarang, petugas vaksin sudah terancam kelelahan.
Rian dari Puskesmas Tambora, Jakarta Barat, mengaku selama awal Maret tempatnya bertugas telah melayani hampir 500 orang. Ia bekerja dari pagi sampai sore, selama lima hari, dan menyuntik rata-rata 40-50 orang setiap hari.
“Rasanya kayak enggak pernah berhenti,” ujarnya di sela-sela jam istirahat. “Setiap habis tugas rasanya mau tepar.”
Pengalaman serupa dialami oleh Inas dari Puskesmas Matraman, yang memvaksin puluhan orang setiap hari, “Badan pegal sekali. Bahkan ketika habis libur pun masih kerasa. Ibarat kata belum sembuh dari capeknya kemarin, besok sudah ketumpuk capek yang baru lagi.”
Merujuk petunjuk teknis pelaksanaan vaksinasi dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, rangkaian pemeriksaan dan pelayanan vaksinasi COVID-19 untuk satu orang membutuhkan sekitar 15 menit. Satu vaksinator (perawat, bidan, dan dokter) diperkirakan mampu melayani maksimal 40-70 orang per hari. Dalam satu hari, mereka harus menggelar beberapa sesi pelayanan, dan setiap sesi bisa memvaksin 10-20 orang.
Tak sekadar lelah fisik, jadwal dan tugas vaksinasi yang padat bikin letih mental. Ini dialami Putri dari satu Puskesmas di Jakarta Pusat. Ia bahkan sulit tidur selama beberapa malam.
“Enggak tahu kenapa gelisah. Bawaannya mikir, ‘Besok gimana, ya? Lancar enggak, ya?’,” ucap perempuan 23 tahun yang minta namanya disamarkan. “Aku sampai konsul ke psikolog, katanya aku cuma kecapekan, tapi besoknya tetep aja hal kayak gitu keulang.”
Seorang tenaga kesehatan di Puskesmas Duren Sawit bernama Bondan justru berbagi kecemasan perihal kakeknya berusia 75 tahun, takut tak dapat jatah vaksin akibat ketidakcocokan data maupun sistem pencatatan yang error, meski ia telah memenuhi semua prosedurnya.
“Saya sempat dengar cerita teman yang neneknya enggak dapat jatah vaksin karena persoalan administrasi. Saya kemudian mikir… ‘Gimana kalau yang enggak dapat itu kakek saya sendiri?’ Ini kepikiran terus sebab saya sendiri dekat dengan kakek. Khawatir kalau kakek nggak dapat,” tuturnya.
‘Mental Breakdown’: Beban Kerja Bertumpuk di Puskesmas
Sindrom burnout semakin mengintai saat beban kerja bertumpuk di Puskesmas. Mustakim Manaf, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Puskesmas Indonesia, menerangkan yang turun ke lapangan dalam vaksinasi adalah semua pekerja di Puskesmas.
“Wewenang [penugasan] ada di kepala Puskesmas. Dari situ, kemudian dibagi, siapa yang bagian imunisasi, siapa yang screening, siapa yang administrasi,” jelasnya kepada saya.
Kondisi bakal ideal manakala seluruh elemen di Puskesmas hanya diberi tanggung jawab mengurus vaksinasi. Kenyataannya tidak. Selain vaksinasi, mereka masih berperan penting mengatasi pandemi lewat tracing, testing, dan treatment, serta pelayanan umum macam imunisasi anak.
Tania pernah dan masih menjalankan tugas semacam itu. Petugas dari Puskesmas Kelapa Gading ini menerangkan dua tanggungjawab dalam satu waktu sekali jalan. Selepas menyelesaikan vaksinasi, ia langsung mengurus contact tracing.
“Kayak enggak bisa napas,” ujarnya, lalu tertawa. “Tapi, ya udahlah, ya. Dijalani dengan semangat aja.”
Mustakim berkata kerja-kerja tenaga kesehatan di Puskesmas adalah bentuk “pengabdian kepada negara” dan “pelayanan terhadap kepentingan publik.” Akan tetapi ia menekankan jumlah sumber daya juga begitu terbatas dan berharap Kementerian Kesehatan mampu menambah personel.
“Kami tidak bisa menolak ketika diberi tugas. Namun, kami juga ingin tenaga di lapangan ditambah supaya petugas sekarang tidak kelelahan,” jawabnya.
Juru bicara Satgas COVIS-19 Wiku Adisasmito berkata pemerintahan Jokowi bakal “menambah dan redistribusi” sumber daya petugas vaksin, tapi tanpa menyebut berapa alokasinya dan kapan kebijakan penting ini direalisasikan.
Menambah personel lapangan memang krusial, yang sama krusialnya dengan memberesi persoalan mendasar seperti pola komunikasi publik dan pencatatan data, ujar koordinator KawalCovid-19 Elina Ciptadi.
“Belum ada satu pintu buat pengumpulan data soal vaksinasi sehingga di lapangan muncul masalah-masalah ketidaksesuaian antara apa yang tercatat petugas dengan yang dibawa peserta. Ini harus segera dibenahi supaya meminimalisir konflik berujung burnout,” paparnya.
Mustakim berpendapat pemerintah wajib melakukan analisis beban kerja di Puskesmas. Tujuannya, ada sinergi antara ketersediaan sumber daya dan tugas yang diberikan. Menurutnya ini belum terbentuk secara matang kendati pandemi sudah berjalan lebih dari setahun.
“Setiap puskesmas memiliki karakter yang berbeda-beda. Tidak semua bisa disamaratakan. Pemerintah harus punya garis koordinasi yang jelas. Dari pusat hingga daerah, selain memetakan beban kerja dengan sumber daya yang ada,” terangnya.
“Jangan sampai ketika [kondisi mental petugas] sudah breakdown, kita baru care.”
Tekanan Psikologis dan Kesehatan Mental
Data Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia menggambarkan tekanan psikologis di masa pandemi COVID-19. Mereka menemukan 6 dari 10 pasien mengaku punya masalah kesehatan mental dari hasil swaperiksa atas 4.010 pasien dalam rentang April-Agustus 2020 di 34 provinsi. Sementara 1 dari 2 orang mengalami depresi, cemas, dan trauma, dengan rentang umur 17-29 tahun dan di atas 60 tahun.
Selain itu, 1 dari 5 orang terutama dari umur 18-29 tahun memiliki “pikiran lebih baik mati”; ada yang memikirkan “lebih baik mati” setiap hari, dan “lebih baik mati” beberapa hari dalam seminggu.
Riset berjudul “Anxiety and Its Associated Factors During the Initial Phase of the COVID-19 Pandemic in Indonesia”, disusun Gina Anindyajati dkk., memperlihatkan gejala serupa. Faktor-faktor tingkat kecemasan berkolerasi dengan jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan status pernikahan.
Menurut riset itu 1 dari 5 orang Indonesia mengidap kecemasan selama pandemi, dengan kelompok paling berisiko adalah perempuan, mereka yang terkonfirmasi positif, dan mereka yang kurang dukungan sosial. Temuan Gina dkk menyatakan level kecemasan masyarakat Indonesia meningkat dibandingkan sebelum pandemi serta lebih tinggi ketimbang angka prevalensi global Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Problem kesehatan mental dialami oleh para tenaga kesehatan, berdasarkan penelitian Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Temuannya, 83 persen tenaga kesehatan mengalami sindrom burnout derajat sedang dan berat, yang secara psikologis berisiko mengganggu kualitas hidup maupun produktivitas kerja dalam pelayanan kesehatan.
Selain itu, 41 persen tenaga kesehatan letih emosi derajat sedang dan berat; 22 persen kehilangan empati derajat sedang dan berat; dan 52 persen kurang percaya diri derajat sedang dan berat. Adapun bagi bagi dokter maupun bidan yang menangani pasien COVID-19, mereka berisiko dua kali lebih letih emosi dibandingkan tenaga kesehatan yang tidak melayani pasien COVID-19.
Riset-riset ini menegaskan masalah kesehatan mental akan berlarut-larut selama pandemi gagal diatasi, yang beban beratnya dipanggul para tenaga kesehatan yang saat ini berjibaku melayani program vaksinasi. (Sebagai perbandingan, pemerintah Australia telah mewanti-wanti potensi burnout terhadap petugas kesehatannya selagi vaksinasi massal.)
“Masalah burnout itu nyata. Memang belum ada laporan resmi dari otoritas terkait soal itu selama vaksinasi ini. Tapi, kita tidak boleh meremehkannya. Contoh kasusnya sudah mulai bermunculan,” ucap Elina dari KawalCOVID-19.
Mustakim dari Perkumpulan Dokter Puskesmas menilai mencegah burnout di kalangan tenaga kesehatan sama berarti memuluskan target vaksinasi. Ia berharap, demi mengurangi risiko itu, fasilitas untuk petugas lapangan harus semakin merata.
“Di Jakarta, mereka yang letih karena bertugas selama COVID-19 bisa memanfaatkan layanan menginap di hotel. Tapi, di luar Jakarta, setahu saya belum [ada],” ujarnya.
Di kalangan petugas vaksin sendiri, kesadaran atas potensi lelah fisik dan mental perlahan terbangun. Hampir semua narasumber yang saya ajak bicara mengungkapkan tekanan psikologis adalah konsekuensi dari tugas dan situasi pandemi yang mereka jalani. Beruntungnya, kesadaran itu diatasi juga langkah-langkah antisipasi.
“Kalau udah capek banget, biasanya aku matiin HP. Tidur sambil dengerin musik yang nenangin kayak Nadine Hamzah, Pamungkas, atau Hindia,” ujar Putri.
“Saya sendiri memilih makan enak. Biasanya pikiran jadi longgar dan badan kayak dapet energi tambahan,” tutur Bondan.
Inisiatif mencegah burnout agar tak memburuk juga dilakukan secara kolektif lewat grup WhatsApp, saling bertukar cerita, kabar, dan hal-hal sejenis yang sifatnya menguatkan.
“Biasanya kirim-kirim meme atau video lucu. Kami juga sepakat waktu akhir pekan enggak boleh bahas kerjaan,” kata Tania. “Rasanya nyaman juga ketika ada orang lain yang senasib.”
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Fahri Salam