tirto.id - "Apakah negara yang cadangan bahan bakarnya hanya bisa bertahan 20 hari, cadangan berasnya juga hanya bisa bertahan tiga minggu, saudara-saudara apakah ini negara yang kuat, negara yang bisa langgeng?" kata Prabowo Subianto saat Pidato Kebangsaan di JCC Plenary Hall, Jakarta, Senin (14/1/2019).
Sindiran Prabowo mengenai cadangan bahan bakar (operasional) di Indonesia yang hanya bisa tersedia 20 hari bukan wacana baru. Di luar pemerintah (Kementerian ESDM), baru PT Pertamina selaku badan usaha milik negara (BUMN) yang punya stok operasional dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM) rata-rata per 20 hari, dan badan usaha swasta. Pemerintah maupun Pertamina merespons kondisi demikian masih batas "aman", tentu saja bila semuanya dalam keadaan normal.
Bagaimana bila terjadi bencana berkepanjangan atau perang?
Indonesia masih sebatas punya cadangan BBM operasional melalui Pertamina, belum ada cadangan strategis atau cadangan penyangga minyak milik pemerintah. Kondisi ini membuat Indonesia sangat rawan, karena sebagai negara yang sering terkena bencana, pasokan energi terutama BBM maupun minyak mentah sangat penting. Belum lagi bicara soal bila terjadi perang. Negara-negara tetangga sudah mengantisipasi dengan upaya penyiapan cadangan operasional maupun strategis.
Cadangan BBM/minyak, baik operasional maupun penyangga negara-negara di kawasan Asia Tenggara bervariasi, dihimpun dariAsean Energy (2016), Laos 15 hari (minyak), Kamboja 30 hari (minyak), Thailand 25 hari (minyak mentah dan BBM), dan Vietnam punya target stok 90 hari (minyak). Dalam laporan itu, Indonesia disebutkan punya rata-rata stok LPG 24 hari, 11 hari minyak mentah, dan 17 hari BBM. Malaysia dan Singapura menurut laporan (PDF) Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) malah tidak ada regulasi yang jelas untuk menentukan cadangan aman BBM mereka.
Selain persoalan cadangan operasional dan penyangga, Indonesia juga dihadapkan soal masalah cadangan minyak terbukti (belum dieksploitasi). Saat berkampanye pada Pilpres Mei 2014, Prabowo juga pernah bilang cadangan minyak bumi terbukti di Indonesia akan menipis dalam 12 tahun bila tak ada temuan baru. Namun, data Kementerian ESDM mengungkap, cadangan terbukti minyak bumi pada 2014 sebesar 3,6 miliar barel dan dengan tingkat produksi saat ini maka ketersediannya hanya 13 tahun.
“Minyak bumi kita akan menipis, bahkan kalau tidak ketemu cadangan baru akan habis dalam waktu 12 tahun lagi, 12 tahun dari sekarang," kata Prabowo di hadapan para pemuda KNPI se-Indonesia di Hotel Panghegar, Bandung, dilansir dari Kompas.
Persoalan cadangan BBM operasional dan cadangan minyak strategis memang sudah jadi konsen pemerintah. Saat Luhut Binsar Panjaitan masih menjadi Plt. Menteri ESDM, ia mengakui persoalan ini. “Kita cadangan operasional itu berada di 22 hari sekarang. Strategic reserve Amerika itu sampai 60 hari dan kita ndak punya, nol,” kata Luhut.
Di Indonesia sudah punya aturan mengenai cadangan minyak strategis yang tertuang dalam UU Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi (PDF) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional. Undang-undang itu tidak hanya mengatur cadangan minyak saja, tetapi lebih luas mengatur cadangan penyangga energi (CPE) dan penyediaannya untuk mengantisipasi kondisi krisis dan darurat energi.
Pada 2016 sempat ada rencana penyediaan stok 15 hari cadangan minyak strategis atau penyangga yang anggarannya dibutuhkan Rp23 triliun, tapi belum ada realisasinya. Sempat ada wacana penyediaan cadangan operasional BBM 30 hari dan cadangan minyak strategis selama 30 hari.
Penyiapan cadangan strategis sudah lazim di banyak negara, terutama negara maju. International Energy Agency (IEA) pernah merekomendasikan anggotanya memiliki cadangan penyangga minyak, di luar cadangan operasional. Semua ini berawal dari langkah Amerika Serikat (AS).
Meniru Amerika Serikat?
Ihwal cadangan penyangga minyak yang disimpan negara, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari Amerika Serikat. Negeri Paman Sam itu adalah yang pertama melakukan penimbunan minyak yang dinamaiStrategic Petroleum Reserve (SPR) atau cadangan minyak strategis yang dimulai pada 1975-an. Namun, AS juga punya Northeast Gasoline Supply Reserve (NGSR) yang menyimpan cadangan BBM untuk antisipasi bila terjadi bencana.
Situs resmi Departemen Energi AS menyebut, cadangan minyak mentah AS disimpan di kubah garam bawah tanah yang terletak di sepanjang garis pantai Teluk Meksiko. Total ada empat penyimpanan minyak di mana kapasitas maksimum semuanya bila digabung adalah 727 juta barel dan pernah terisi penuh pada Desember 2009.
Per 11 Januari 2019, stok minyak AS mencapai 649,1 juta barel. Angka ini tentu saja sangat besar. Bahkan seandainya AS tidak mengimpor minyak sama sekali, cadangan minyak strategis dapat menggantikannya setara lebih dari empat bulan atau sekitar 143 hari kebutuhan.
Lantas, sebenarnya kapan dan untuk apa timbunan minyak itu dipakai? Ada pedoman ketat yang merinci kapan minyak bisa dirilis di bawah Undang-Undang Kebijakan dan Konservasi Energi (EPCA).
Secara umum, cadangan minyak bisa dipakai seluruhnya ketika AS menghadapi krisis minyak parah yang berdampak buruk bagi perekonomian dan kebutuhan nasional maupun pemakaian terbatas saat ada tanda-tanda kekurangan pasokan minyak baik domestik maupun internasional. Penentuan penggunaan cadangan minyak dilakukan oleh presiden.
Sejak dibentuk dan berdiri, cadangan minyak strategis sudah dipakai berkali-kali baik menanggapi krisis lokal maupun internasional. The Balancemencatat, cadangan minyak pernah dilepas pada 1991 untuk menstabilkan pasokan global, penjualan pada 1996 dan 1997 untuk menyeimbangkan anggaran, ditukar dengan minyak kualitas tinggi pada 1998, pinjaman untuk tanggap darurat bencana lokal pada 2002, 2004, 2012, dan 2017.
Selain untuk kebutuhan darurat nasional, AS pernah melepas cadangan minyaknya karena pengaruh luar. Pada 2011, sebanyak 30 juta barel cadangan minyak dilepas AS untuk mengimbangi pasokan akibat kerusuhan Libya. AS ketika itu juga berkoordinasi dengan para anggota di Badan Energi Internasional (IEA), yang kemudian merilis cadangan minyak mereka dengan total 60 juta barel.
IEA dibentuk oleh AS pada 1974 setelah embargo minyak Arab. Saat ini IEA memiliki 30 negara anggota, di mana semuanya harus memiliki cadangan minyak strategis tidak kurang dari 90 hari.
Beberapa negara anggota IEA yang punya banyak cadangan minyak strategis adalah Jepang. Menurut data Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) pada 2015 (PDF) memiliki lebih dari 314 juta barel minyak mentah dan lebih dari 817 ribu barel minyak olahan. Disusul Korea Selatan pada 2016 memiliki 92,6 juta barel dari kapasitas total 146 juta barel dan Spanyol dengan 120 juta barel dan mampu mempertahankan stok aman BBM lokal selama 90 hari.
Cina tidak tergabung dalam keanggotaan IEA, tetapi cadangan minyak strategis mereka pada 2016 mencapai lebih dari 400 juta barel dari kapasitas tangki total yang dimiliki 500 juta barel.
Dipicu Perang Arab-Israel 1973
Latar belakang AS mendirikan cadangan minyak strategis tidak bisa dilepaskan dari konteks konflik Arab - Israel pada 1973. Bruce A. Beaubouef dalam bukunya berjudul The Strategic Petroleum Reserve: U.S. Energy Security and Oil Politics, 1975-2005 (2007) menjelaskan, pada 6 Oktober 1973 saat umat Yahudi di Israel merayakan Hari Raya Yom Kippur, Suriah dan Mesir melancarkan serangan udara dan artileri kepada negara Israel.
Dalam konflik tersebut, Uni Soviet memberi bantuan militer kepada Mesir. Pemerintahan AS di bawah Presiden Richard Nixon khawatir akan pengaruh komunis Soviet bakal mekar di Timur Tengah. AS mendukung Israel dengan menggelontorkan dana bantuan militer sebesar 2,2 miliar dolar.
Langkah itu bikin negara-negara Pan Arab meradang dan makin mengencangkan sabuk melawan Israel sekaligus menargetkan AS sebagai lawan. Salah satu kebijakan koalisi negara Arab yang tergabung dalam OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) dalam menentang bantuan AS ke Israel adalah dengan menciptakan krisis minyak AS. Enam negara Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Iran, Irak, Qatar, Uni Emirat Arab) yang tergabung dalam OPEC menaikkan harga minyak ke AS sampai 70 persen, dari semula 2,90 dolar per barel menjadi 5,11 dolar per barel.
Perekonomian AS jelas terpengaruh akibat kebijakan OPEC tersebut. Sebagai buntut dari krisis minyak, Amerika Serikat mendirikan cadangan minyak strategis (SPR). Gerald Ford, Presiden pengganti Nixon kemudian menandatangani Undang-Undang Kebijakan dan Konservasi Energi (EPCA) pada 22 Desember 1975 untuk membentuk cadangan minyak hingga satu miliar barel.
Pangkalan cadangan minyak strategis di Teluk Meksiko pertama kali terisi minyak pada 21 Juli 1977 saat sekitar 412 ribu barel minyak mentah ringan didatangkan dari Arab Saudi. Teluk Meksiko dipilih sebagai tempat penyimpanan cadangan minyak karena dianggap murah, aman dan strategis karena juga terdapat banyak kilang milik AS dan titik distribusi kapal tanker, tongkang, dan pipa-pipa minyak.
Editor: Suhendra