Menuju konten utama

Cadangan Migas Hampir Habis, Brunei Kian Mesra dengan Cina

Brunei terlalu bergantung pada migas, yang akan habis pada 2030. Cina didekati demi diversifikasi ekonomi.

Cadangan Migas Hampir Habis, Brunei Kian Mesra dengan Cina
Aktivitas pekerja di perusahaan minyak di Seria, sebelah timur Bandar Seri Begawan. FOTO/REUTERS

tirto.id - Brunei Darussalam bak surga di sudut Asia. Merujuk laporan Economist, warganya hidup makmur dengan dibebaskan dari pajak penghasilan, menikmati pendidikan gratis (hingga ke universitas), diberi akses untuk kredit rumah murah hingga subsidi bahan pangan, dan para laki-laki mendapat pekerjaan yang nyaman dari pemerintah.

Sang sultan, Hassanal Bolkiah, memberikan itu semua berkat melimpahnya kandungan minyak dan gas (migas) di bumi Brunei.

Menurut catatan Departemen Luar Negeri AS tahun 2011, Brunei memproduksi sekitar 167.000 barel minyak setiap hari (180.000 barel versi laporan IMF tahun 2014), menjadikannya negara penghasil minyak terbesar keempat di Asia Tenggara. Brunei juga menghasilkan sekitar 25,3 juta meter kubik gas alam cair per hari, membuatnya jadi eksportir gas alam terbesar ke-9 di dunia.

Brunei memiliki ketergantungan yang tinggi akan migas. Sebanyak 95 persen komoditas ekspor Brunei adalah migas. Migas pun menyumbang 90 persen pendapatan pemerintah—jauh lebih besar ketimbang pemasukan dari jasa, konstruksi, agrikultur, dan bidang-bidang lainnya.

Dampaknya memang positif untuk menaikkan standar kesejahteraan warga, terutama di era 1990-an dan 2000-an. Prestasinya melampaui negara-negara tetangga dengan luas teritori dan jumlah warga yang lebih besar. Dari segi Indeks Pembangunan Manusia, monarki yang merdeka dari Inggris pada 1984 itu sejajar dengan Singapura yang diklasifikasikan sebagai “negara maju”.

Namun migas, sebagai sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui lainnya, juga bisa habis. BP Oil serta lembaga riset lain menyatakan cadangan “emas hitam” dan gas alam Brunei akan ludes 20 hingga 30 tahun lagi. Jika tak mampu membangun ekosistem yang lebih beragam, ekonomi Brunei terancam stagnan, bahkan kolaps pada tahun 2030.

Brunei sudah merasakan kontraksi-kontraksi ekonomi sejak beberapa tahun terakhir. Faktor utamanya adalah harga minyak dunia yang tak bersahabat, bahkan sempat mencapai rekor terendah. Dalam laporan ASEAN Today, pada November 2017 Brunei telah memangkas sekitar 5 persen dari produksi minyak hariannya sebagai konsekuensi kesepakatan regulasi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC).

Kontribusi migas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Brunei turun dari 63,3 persen pada tahun 2014 menjadi sekitar 50 persen pada Januari 2018. Pada tahun 2014 pula Brunei mencatat defisit fiskal, yakni -0.7 persen dari PDB. Setahun kemudian angkanya anjlok lebih menyedihkan lagi: -14 persen dari PDB, atau yang terendah dalam 10 tahun terakhir.

Sultan Bolkiah, yang berkuasa sejak 1967, sebenarnya mengharapkan ekonomi Brunei tumbuh setidaknya 6 persen per tahun untuk periode 2004-2014. Namun kenyataannya Brunei hanya mencatatkan angka kurang dari 1 persen, demikian kembali mengutip Economist. Pertumbuhan ekonomi Brunei pun jadi yang terendah di Asia Tenggara.

Kondisi ini berdampak langsung pada keuangan pemerintahan maupun kehidupan warga. Pada tahun 2017 anggaran belanja negara Brunei dipotong lebih dari $100 juta. Pemerintah mesti melakukan penghematan dengan menjajaki ulang ke mana duit dialirkan. Staf pemerintahan yang jumlahnya dirasa cukup, misalnya, membuat tahun lalu tidak ada program perekrutan pegawai baru.

Salah satu faktor utama yang mendorong pemerintah Brunei untuk memproduksi migas secara besar-besaran adalah demi menopang gaya hidup mewah warga Brunei.

Fenomena yang jadi rahasia umum ini pernah disinggung oleh Menteri Energi Yahya bin Begawan Mudim. Mengutip ASEAN Today, Mudim mengingatkan bahwa jika PDB per kapita jatuh, sulit bagi masyarakat Brunei untuk mempertahankan standar gaya hidup mereka.

Barangkali warga Brunei hanya meniru sultannya. Bolkiah adalah salah seorang terkaya di dunia. Ia tinggal di islana megah yang disebut-sebut sebagai kediaman pribadi terluas di dunia, terkenal gemar mengoleksi mobil mewah, dan punya keluarga dengan gaya hidup serupa—bahkan ada yang lebih glamor lagi.

Gandeng Adidaya Seberang Laut Cina Selatan

Brunei sudah sejak lama menyadari masalah ini. Mereka sadar harus mendiversifikasi ekonominya sebab tak bisa selamanya bergantung pada migas. Sayangnya, sektor non-migas yang menyumbang sekitar 40 persen dari PDB masih cenderung tertatih.

Dalam laporan Nikkei Asian Review tiga tahun lalu, sektor non-migas belum tumbuh sesuai harapan selama periode tahun 2013 dan 2014. Brunei berfokus pada industri pengolahan makanan, konstruksi, dan pariwisata. Tingkat pajak perusahaan juga sudah dipangkas sebesar 18,5 persen demi menghasilkan dorongan yang dibutuhkan.

Persoalannya, Brunei selalu mengandalkan orang asing untuk mengerjakan sektor-sektor itu, baik sebagai investor, pekerja maupun turis. Sedangkan mata uangnya yang selevel dolar Singapura membuat biaya hidup di Brunei amat mahal—salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.

Untungnya ada negara adidaya di seberang Laut Cina Selatan (LCS) yang bersedia jadi juru selamat: Republik Rakyat China. Kedua negara barangkali bertolak belakang ideologi politik. Namun uang menyatukan Negeri Tirai Bambu dan Negeri Petro Dolar dengan mesra.

Mengutip laporan Asia Times, saat bank-bank internasional seperti HSBC dan Citibank menyetop operasinya di Brunei usai kontraksi ekonomi akibat turunnya harga minyak, Bank of China datang mengisi kekosongan. Pada 2016 mereka membangun kantor cabang di Brunei untuk memfasilitasi segala investasi yang akan Beijing tanamkan.

Yang Jian, duta besar Cina untuk Brunei, tahun lalu mengatakan bahwa Presiden XI Jinping mengucurkan duit investasi sebesar $1 triliun sebagai bagian dari program ambisius Belt and Road initiative (BRI). BRI adalah investasi agresif Cina ke negara-negara tetangga, mayoritas dalam bentuk infrasturktur, agar tercipta jalur perdagangan yang lebih solid.

Infografik bom waktu negeri petro dolar

Sejumlah analis menilai kebaikan Cina ini juga dilatarbelakangi motif untuk memperkuat daya tawarnya di Laut Cina Selatan. Buktinya, untuk mendorong perdagangan bilateral kedua negara, pada 2014 lahir Brunei-Guanxi Economic Corridor (BGEC). Dalam transaksi yang bernilai lebih dari $500 juta itu, Brunei makin intim dengan wilayah Guangxi Zhuang yang punya akses langsung ke Laut Cina Selatan.

Hingga detik ini Cina adalah investor asing terbesar di Brunei. Total nilai investasinya mencapai $4,1 milyar. Cina membekingi pembangunan kompleks petrokimia Kilang Muara Besar yang tercatat sebagai proyek investasi asing terbesar dalam sejarah Brunei. Cina telah mengucurkan duit tahap pertama sebesar $3,4 milyar. Fase kedua nanti akan menelan biaya lebih fantastis: $12 milyar.

Konstruksi kilang diserahkan kepada perusahaan swasta asal Cina yang berkantor di Banda Seri Begawan, Hengyi Industries International Pte Ltd. Pembangunan fasilitas dan awal operasinya dijadwalkan mulai pada awal 2019. Kompleks ini diprediksi akan menciptakan 10.000 tenaga kerja baru termasuk 175.000 barel bensin, diesel, dan bahan bakar jet.

Tahun lalu perusahaan Cina lain, Guangxi Beibu GulfPort, menjalin kerja sama dengan Darussalam Assets Sdn Bhd, perusahaan investasi milik pemerintah Brunei. Guangxi Beibu GulfPort bertanggung jawab membangun Muara Container Terminal, pelabuhan terbesar Brunei. Perusahaan Cina tak mau ketinggalan dengan menggarap sektor telekomunikasi dan agrikultur Brunei.

Tahun lalu Bolkiah meluncurkan “Wawasan 2035”, sebuah rencana jangka panjang dengan tujuan membuat Brunei jadi pusat perdagangan dan keuangan regional dalam dua dekade ke depan. Melalui bantuan Cina, mereka ingin meniru Singapura. Maung Zarni, mantan profesor Asian Studies di University of Bunei, mengatakan ketertarikan Cina pada Brunei didasari pada strategi penguasaan kawasan.

“Vietnam, Singapura, Filipina, Malaysia, dan Indonesia adalah sekutu AS atau minimal waspada dengan Cina. Brunei adalah satu-satunya negara dengan ancaman perlawanan paling kecil soal kedaulatan di laut,” katanya sebagaimana dikutip Asia Times, Minggu (18/3/2018).

Baca juga artikel terkait MINYAK BUMI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf