Menuju konten utama

Sifat Kemaruk Manusia Bikin Gajah Berevolusi Menanggalkan Gadingnya

Perburuan liar turut memengaruhi perubahan evolusioner gajah afrika. Lebih banyak gajah betina yang lahir tanpa gading.

Sifat Kemaruk Manusia Bikin Gajah Berevolusi Menanggalkan Gadingnya
Anak gajah liar betina yang terkena jerat berada di klinik pengobatan sebelum proses pengobatan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar, Aceh, Senin (15/11/2021). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/hp.

tirto.id - Proses evolusi adalah nyata adanya. Evolusi melalui seleksi alam memungkinkan organisme primitif terus berkembang menjadi bentuknya yang modern dan menciptakan keragaman hayati. Mereka lebih dulu melewati tekanan seleksi—isolasi geografis, perebutkan sumber makanan, pemangsa, atau bencana—hingga mencapai bentuk kiwarinya.

Proses evolusi suatu organisme lazimnya terjadi secara bertahap dan bisa memakan waktu ratusan hingga ribuan tahun. Namun, kini ada bukti bahwa proses evolusi mungkin bisa berjalan lebih cepat. Itu terjadi gara-gara campur tangan spesies paling kemaruk di bumi: manusia.

Skala perburuan satwa terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi manusia. Karenanya, praktik perburuan kini menjadi salah satu faktor yang mempercepat perubahan evolusioner. Fenomena ini teramati pada populasi gajah sabana afrika (Loxodonta africana) di Taman Nasional Gorongosa, Mozambik.

Pada Oktober lalu, Shane C. Campbell-Staton dkk. menerbitkan laporan studi bertajuk “Ivory Poaching and the Rapid Evolution of Tusklessness in African Elephants” dalam jurnal Science (Vol. 374, No. 6566, 2021). Studi itu menyebut lebih banyak gajah sabana afrika yang lahir tanpa gading setelah perang saudara di Mozambik (1977-1992).

Gajah sabana memang jadi objek buruan besar-besar selama perang saudara melanda Mozambik. Para pemburu—baik dari pasukan pemerintah maupun pemberontak antikomunis—mengincar gading gajah untuk membiayai perang dan dikonsumsi dagingnya. Akibatnya, populasi gajah sabana di Gorongosa menurun hingga 90 persen—dari semula 2.500-an individu pada 1972 menjadi kurang dari 250 individu pada 2000.

Seturut survei yang dilakukan Joyce Poole dari Elephant Voicesjuga salah satu penulis studi di jurnal Science itu, sebelum perang, ada 18,5 persen gajah sabana afrika betina yang secara alami tidak memiliki gading. Persentase gajah betina tak bergading itu mengalami kenaikan hingga 50,9 persen setelah perang usai. Poole juga mendapati data bahwa gajah sabana betina tak bergading punya tingkat sintas lima kali lebih tinggi ketimbang gajah betina bergading.

Studi Campbell-Staton dkk. adalah salah satu yang pertama menunjukkan bahwa pembunuhan selektif terhadap vertebrata besar dapat berdampak langsung pada perubahan evolusioner,” kata ahli ekologi dari University of Sherbrooke Fanie Pelletier sebagaimana dikutip Scientif American. Pelletier juga turut menulis komentar ilmiah terkait studi Campbell-Staton dkk. itu.

Bagaimana perubahan evolusioner itu bisa terjadi? Campbell-Staton dkk. menemukan jawabannya dari penelitian genetik terhadap populasi gajah sabana betina yang sintas di Gorongosa.

Campbell-Staton dkk. mengumpulkan sampel darah dari 18 gajah sabana betina—tujuh gajah betina bergading dan 11 gajah tanpa gading. Mereka kemudian menganalis DNA gajah-gajah tersebut, mencari perbedaannya, dan terakhir membuat katalog induk dan anak.

Gajah betina tak bergading yang berhasil sintas dan berkembang biak rupanya mewariskan gen “tanpa gading” ke anak-anak mereka. Analisis genetik itu juga mengungkapkan hilangnya dua gen penting yang berperan mewariskan gading.

Mereduksi Kemampuan Bertahan Hidup

Seturut ringkasan deduktif Campbell-Staton dkk., fenotipe tanpa gading itu muncul sebagai respons pertahanan diri menghadapi perburuan. Respons evolusioner itu sekilas tampak seperti jalan keselamatan bagi spesies gajah di Afrika. Namun, gajah afrika sebenarnya juga harus menanggung ekses dari perubahan itu, yaitu penurunan kemampuan bertahan hidup.

Gading punya banyak fungsi untuk menunjang kehidupan gajah. Gading pada dasarnya adalah gigi yang tumbuh membesar. Ia berguna sebagai pisau untuk mengupas kulit pohon. Di lain waktu, ia serupa cangkul untuk menggali lubang air atau mineral di bawah tanah. Gading juga menjadi alat pertahanan dari serangan predator.

Hilangnya gading mungkin membuat mereka selamat dari pemburu, tapi sebagai gantinya gajah jadi lebih sulit beraktivitas. Aspek lain yang diperkirakan turut terpengaruh adalah pola perilaku dan dietnya.

Dalam perspektif rantai makanan yang lebih luas terdapat perbedaan jenis tanaman yang dikonsumsi gajah bergading dan tidak bergading. Tanpa gading tentunya gajah tak bisa mengupas kulit pohon sehingga harus mencari alternatif pangan lain. Gajah tanpa gading kemungkinan bakal mencari tanaman lain yang lebih mudah dikonsumsi.

Meski masih perlu diteliti lebih lanjut, perubahan perilaku gajah tanpa gading kemungkinan juga berdampak pada spesies lain yang bersimbiosis dengannya. Artinya, secara berjenjang ia membawa dampak pula pada keanekaragaman hayati.

Perubahan perilaku ini, sebagian atau bahkan sepenuhnya, bisa mengakibatkan perubahan distribusi gajah di seluruh lanskap. Perubahan skala luas itu kemungkinan besar punya konsekuensi bagi ekosistem,” kata Ryan Long, ahli ekologi behavioral dari University of Idaho, seperti dikutip National Geographic.

Parahnya lagi, fenomena peningkatan kuantitas gajah tanpa gading rupanya juga terjadi di habitat-habitan lain di Afrika.

Penelitian Campbell-Staton dkk. ini turut menguatkan studi serupa yang dilakukan H. Jachmann dkk. di Zambia Timur. Laporan studinya diterbitkan African Jornal of Ecology pada 1995 dengan tajuk “Tusklessness in African Elephants: A Future Trend”.

Hasil pengamatan Jachmann dkk. menunjukkan lonjakan proporsi gajah betina dewasa tanpa gading, dari semula 10,5 persen pada 1969 menjadi 38,2 persen pada 1989. Hulu fenomena ini pun sama belaka: perburuan gading ilegal.

“Karakteristik tanpa gading ini tampaknya diturunkan dalam keluarga dan terkait dengan jenis kelamin,” tulis Jachmann dkk. dalam ringkasan studinya.

Seturut laporan National Geographic, fenomena yang lebih ekstrem didapati pada populasi gajah betina di Taman Nasional Addo, Afrika Selatan. Pada awal 2000-an, 98 persen dari 174 gajah betina di sana dilaporkan tak bergading.

Kabar buruknya tak habis sampai di situ. Pasalnya, mutasi genetik akibat perburuan masif juga menimpa satwa lain. Journal of Wildlife Management (2014) menyebut perburuan liar diduga membuat keturunan domba liar dari spesies Ovis canadensis di Kanada mengembangkan tanduk yang lebih kecil. Para peneliti sampai pada kesimpulan ini dari data perburuan tanduk domba jantan yang mencakup rentang waktu 37 tahun (1974–2011).

Infografik Evolusi Singkat Gajah Afrika

Infografik Evolusi Singkat Gajah Afrika. tirto.id/Fuad

Gajah di Indonesia Juga Terancam

Kondisi gajah di Indonesia juga tak kalah mengenaskan. Seperti kerabatnya di Afrika, gajah di Indonesia juga terancam oleh perburuan liar yang terjadi dalam waktu lama.

Kasus terbaru di Indonesia menimpa seekor anak gajah betina berusia satu tahun di Aceh. Anak gajah itu ditemukan mengalami luka berat di belalainya akibat jerat. Meski sempat mendapat perawatan selama dua hari, anak gajah itu tetap tak terselamatkan karena luka jerat itu terlanjur membusuk dan menyebabkan infeksi. Selasa pagi (16/11/2011) si anak gajah mati dengan kondisi belalai nyaris putus.

Masih di Aceh, mundur sekitar empat bulan sebelumnya, bangkai seekor gajah jantan ditemukan di area perkebunan sawit dalam keadaan tanpa kepala. Tujuan pemenggalan ini tentu saja untuk mengambil gading sang gajah.

Manusia menggunakan gading gajah untuk membuat aksesori, pipa rokok, barang koleksi, hingga dijadikan jimat. Itu tentu tak sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan dari berkurangnya populasi gajah.

Di Indonesia, kasus kematian gajah rata-rata disebabkan oleh jerat dan racun manusia dalam upaya perburuan gading. Aktivitas itu tentu saja ilegal, tapi nyatanya masih tetap subur. Hal itu tercermin dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selama tujuh tahun terakhir.

Pewarta Republika Esthi Maharani melaporkan bahwa dalam periode 2015-2021 di daerah Aceh saja, terdapat 46 kasus kematian gajah akibat perburuan dan konflik dengan manusia.

Indonesia sendiri menjadi tempat hidup bagi dua spesies gajah, yakni gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis). Sejak 2011, lembaga konservasi internasional (IUCN Red List) telah menetapkan status konservasi gajah di Indonesia masuk kategori Critically Endangered (CR). Itu artinya, hanya satu langkah lagi status ini dapat berubah menjadi “kepunahan di alam liar”.

Baca juga artikel terkait GADING GAJAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi