Menuju konten utama

Siasat Sop Ayam Pak Min & Gudeg Yu Djum Jogja Bertahan saat Pandemi

Bisnis kuliner keluarga seperti Sop Ayam Pak Min dan Gudeg Yu Djum harus memutar otak demi bisa bertahan di masa pandemi COVID-19.

Siasat Sop Ayam Pak Min & Gudeg Yu Djum Jogja Bertahan saat Pandemi
Gudeg Yu Djum Pusat merupakan dapur utama sekaligus warung makan kuliner tradisional Yogyakarta, dirintis oleh seorang yang pantang menyerah bernama Djuwariyah atau lebih dikenal sebagai “Yu Djum”, sejak tahun 1951. (FOTO/gudegyudjumpusat)

tirto.id - Pandemi COVID-19 memukul hampir sebagian besar bisnis, tak terkecuali makanan. Usaha kuliner berbasis keluarga yang sebelumnya cukup mapan juga turut terdampak pandemi. Misalnya Sop Ayam Pak Min yang dirintis Tugimin, yang kini terus mencoba bertahan dan melawan pandemi COVID-19.

Setelah Tugimin meninggal dunia, usaha sop ayam asal kota Klaten, Jawa Tengah ini diteruskan oleh empat orang anaknya Sihono, Sih Mulyoto, Triyono, dan Ragil. Empat anaknya masing-masing berhasil mendirikan puluhan cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Putra keduanya Sih Mulyoto misalnya memiliki 39 cabang di seluruh Indonesia.

Tri Saki Budi Hartono yang bekerja sebagai penanggung jawab operasional Sop Ayam Pak Min yang dikelola Sih Mulyoto mengakui labanya menurun drastis akibat pandemi COVID-19.

“Kalau dulu rata-rata laba bersih Rp35 juta-Rp40 juta per bulan kalau sekarang sekitar Rp4 juta,” kata Tri saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (17/7/2020).

“Kami sekarang cuma bertahan agar karyawan tetap bisa kerja," imbuhnya.

Pandemi COVID-19 membuat penjualan menurun drastis, tak tanggung-tanggung pembeli menurun hingga lebih dari 60 persen. Namun, meski laba yang didapat tak seberapa mereka tetap terus membuka warung dan mengatur siasat. Sekitar 400 karyawan yang ada di seluruh cabang diminta bekerja bergiliran. Solusi itu menurutnya yang paling baik ketimbang harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Misalnya satu warung ada 20 karyawan yang bekerja hanya 10 orang mereka bergiliran,” ujarnya.

Protokol kesehatan pun juga harus mereka lakoni demi meyakinkan pembeli bahwa warung mereka aman dari COVID-19. Pegawai diwajibkan untuk mengenakan masker dan selalu diukur suhu tubuhnya sebelum mulai bekerja. Sementara di warung meski jumlah pembeli tidak banyak, semua kursi telah ditandai agar pembeli dapat menjaga jaraknya.

Andalkan Gudeg Kaleng

Warung Gudeg Yu Djum juga demikian. Usai Djuwariyah, perintis warung Gudeg Yu Djum meninggal dunia, bisnis kuliner khas kota Yogyakarta itu kini diteruskan oleh anak bahkan cucu-cucunya Djuwariyah.

Warung pertama yang dirintis Djuwariyah kini diteruskan oleh putranya Harianto bersama istrinya Eni Widiastuty. Warung yang terletak di kawasan Kampung Wijilan, Kota Yogyakarta itu diberi nama Gudeg Yu Djum 167.

Eni Widiastuty kepada Tirto, Jumat (17/7) mengatakan sejak pandemi penjualannya menurun drastis. Beberapa hari di awal pandemi bahkan ia harus menutup warung karena kawasan Kampung Wijilan yang kerap dihampiri wisatawan itu sepi.

Eni pun menghadapi dilema pada awal masa pandemi COVID-19. Ia harus memilih pada dua pilihan untuk tetap membuka warung dengan pemasukan minim atau menutup warung dengan mengorbankan karyawannya.

“Kalau kami tutup terus kasihan karyawan. Meskipun kalau kami buka harus membayar karyawan sedangkan pemasukan menurun drastis,” kata Eni.

Berbagai cara kemudian ia tempuh. Produk gudeg kaleng yang selama ini telah diproduksi kemudian digencarkan kembali untuk mendapatkan pemasukan. Promosi melalui berbagai media ia jalani. Ia juga memanfaatkan layanan pesan antar makanan. Hal itu kata dia cukup membantu untuk tetap dapat pemasukan meskipun penjualan tidak ramai seperti sebelum pandemi.

Eni agaknya sedikit bersyukur kala memasuki pertengahan Juni 2020, kata dia sudah ada sedikit kenaikan. Hal ini tidak lain setelah terjadinya kebijakan pemerintah yang mulai melonggarkan warga untuk beraktivitas di luar rumah. Namun konsekuensinya, warung juga tetap harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Masker dan face shield untuk karyawan dan juga cairan pembersih tangan harus ia siapkan. “Memang jadi banyak yang harus kami keluarkan tapi tidak mungkin kita menaikkan harga [makanan],” ujarnya.

Perlonggar Pariwisata

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X sebelumnya memang telah mengizinkan kabupaten/kota untuk membuka kembali objek wisata, hotel dan rumah makan. Harapan Sultan perekonomian tetap tumbuh meski dalam bayang-bayang pandemi COVID-19.

Nadi perekonomian rakyat di Yogyakarta, di antaranya, berasal dari sektor pariwisata. Dengan pelonggaran, diyakini ekonomi kembali berdenyut.

Menurut Sultan kegiatan ekonomi dan pencegahan COVID-19 harus berjalan beriringan karena menurutnya tak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir.

“Saya komunikasikan juga dengan para bupati. Tidak ada masalah. Silakan kalau mau membuka hotel, rumah makan, objek wisata dan sebagainya. Silakan,” kata Sultan kepada wartawan, Kamis (2/7/2020).

Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Mudrajad Kuncoro mengatakan, terpuruknya sektor pariwisata di Yogyakarta selama pandemi juga berimbas pada rumah makan dan hotel. Hal itu yang kemudian membuat pertumbuhan ekonomi di 'kota pelajar' itu terkontraksi mengalami minus lebih dari 5 persen.

Menurutnya, dengan kondisi DIY saat ini yang dibarengi dengan peningkatan angka ketimpangan dan kemiskinan , maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan perekonomian DIY.

Baca juga artikel terkait DAMPAK COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Bisnis
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Bayu Septianto