tirto.id - Penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Bareskrim Polri untuk dua pimpinan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sarat unsur politis. Persoalan ini juga dikaitkan dengan kepentingan pihak tertentu.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai ini adalah salah satu cara "menggoyang" upaya KPK dalam menguak kasus megakorupsi KTP-elektronik.
SPDP ini dikeluarkan karena ada dugaan dua pimpinan KPK memalsukan surat pencegahan ke luar negeri untuk Ketua DPR Setya Novanto. Dalam surat nomor B/263/XI/2017/DitTipidum kedua pimpinan KPK disidik berdasar Pasal 109 ayat (1) KUHAP dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Supriyadi menduga, penyidikan terhadap dua pimpinan KPK ini dalam rangka mengganggu pengukuhan penyidikan baru kasus korupsi yang menyeret nama-nama pejabat tinggi negara. Alasannya, dalam memutuskan untuk menaikkan status tersangka dari penyelidikan ke penyidikan, pimpinan KPK harus kuorum di pleno, hal yang mungkin tidak terjadi bila SPDP terbit terhadap dua petinggi KPK.
"Kemungkinan arahnya ke situ [menggagalkan kuorum]," kata Supriyadi kepada Tirto.
Baca juga: Serangan Balik Lewat SPDP Agus Rahardjo dan Saut Situmorang
Pengamat politik Muradi berpendapat pihak kepolisian memang yang menerbitkan SPDP, tapi ada pihak lain yang menurutnya punya kepentingan adalah Setya Novanto. Alasannya sederhana, pihak pelapor terhadap kedua pimpinan KPK ini adalah Sandy Kurniawan Singarimbun, yang merupakan kuasa hukum Setya Novanto.
Sementara itu, Setya Novanto pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan kasus korupsi E-KTP, meski pada akhirnya Novanto menang dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Apalagi beberapa hari yang lalu beredar surat yang menyebut KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka. "Polisi sebagai perantara saja," kata Muradi kepada Tirto.
Menurut Muradi tidak ada alasan bagi polisi mendorong konfrontasi langsung dengan KPK sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus "Cicak vs Buaya". Apa yang mereka lakukan dengan penerbitan SPDP adalah karena ada pihak yang membuat laporan.
"[Dalam kasus ini] polisi bukan aktor, tapi mediator," imbuh Muradi.
Baca juga: Kuasa Hukum Setnov Bawa SPDP untuk Agus Rahardjo & Saut Situmorang
Pendapat lain dikemukakan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Ester. Menurutnya, kalaupun ada tindak pidana yang dilakukan pimpinan KPK, maka perkara itu dapat ditangguhkan hingga penanganan perkara dugaan korupsi Setya Novanto selesai.
Hal ini, menurutnya, berlandaskan pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama Pasal 25 yang mengatur bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
"Bareskrim Polri harus mengesampingkan laporan itu hingga proses hukum atas pokok perkara dugaan korupsinya selesai dilakukan," kata Lalola kepada Tirto.
Baca juga:KPK Beri Bantuan Hukum Kepada Agus Rahardjo dan Saut Situmorang
Kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi, mengaku tidak terima dengan adanya surat pencegehan kliennya yang diterbitkan pimpinan KPK. Menurutnya, setelah praperadilan, Novanto seharusnya tidak dikaitkan lagi dengan kasus KTP-elektronik, dan dengan begitu harusnya pencekalan terhadap Novanto juga dicopot.
Fredrich meminta anak buahnya, Sandy Kurniawan, untuk mengadukan dua pimpinan KPK Agus Rahardjo dan Saut Sitomorang kepada Bareskrim Mabes Polri pada 9 Oktober lalu. Selain Agus dan Saut, semua penyidik yang tertera dalam surat perintah penyidikan juga dilaporkan.
Fredrich kemarin (8/11) mengatakan bahwa polisi sudah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan, tapi Kapolri Jenderal Tito Karnavian membantahnya dengan mengatakan bahwa status dua pimpinan KPK ini masih sebatas terlapor.
Tito juga mengatakan bahwa penyidik Bareskrim harus sangat berhati-hati memproses kasus ini. "Karena ini masalah hukum yang interpretasinya bisa berbeda-beda dari satu ahli ke ahli lain. Oleh karena itu kami harus imbang," terang Tito di Mapolda Metro Jaya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino