tirto.id - Pro dan kontra proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sempat mencuat. Pemerintah tetap bersemangat membangun proyek mercusuar ini. Bagi kalangan yang kontra, menilai proyek yang dipersiapkan tergesa-gesa ini rawan bermasalah di kemudian hari. Peranan kereta cepat juga dipertanyakan, saat transportasi lain sudah tersedia untuk Jakarta-Bandung.
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menyampaikan pandangannya saat dihubungi Tirto.id, di Jakarta, Kamis (19/5/2016).
Apa pendapat Anda soal kualitas kereta cepat produksi Jepang dan Cina?
Kualitas itu relatif tapi yang pasti Jepang lebih dahulu memiliki kereta cepat dan belum pernah ada kecelakaan hingga saat ini. Jepang berpengalaman mengoperasikan Shinkansen lebih dari 50 tahun tanpa pernah mengalami kecelakaan.
Kalau Cina sudah pernah mengalami kecelakaan. Pada 23 Juli 2011, terjadi kecelakaan kereta cepat Cina yang menewaskan 32 orang penumpang di Provinsi Zhejiang, Cina Timur. Kecelakaan tersebut terjadi di atas sebuah jembatan yang berada di Kota Wenzhou, saat itu ada sebuah kereta cepat Cina mogok akibat petir yang menyambar tenaga listrik kereta tersebut.
Ini menjadi tolak ukur dalam kualitas kereta cepat. Kecelakaan itu cermin dari kualitas. Saya juga tidak tahu alasan Jokowi memilih kereta cepat Cina.
Pengalaman negara lain bangun proyek kereta cepat, idealnya berapa lama?
Tergantung kesiapan negaranya, bisa tiga tahun, lima tahun ,dan 10 tahun. Negara-negara lain yang biasanya membangun kereta berkecepatan tinggi (high speed train) akan mempertimbangkan masalah mobilitas masyarakatnya.
Sebenarnya, saya termasuk orang yang menolak proyek kereta cepat. Sebab infrastruktur kereta Jakarta-Bandung sudah cukup, yang kekurangan infrastruktur itu di luar Pulau Jawa. Kalau Jakarta-Bandung infrastrukturnya sudah cukup. Saya khawatir akan mematikan moda yang sudah ada dan memperlebar kesenjangan pembangunan transportasi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
Untuk koridor Jakarta-Bandung telah tersedia jalur kereta api sejak pemerintahan Kolonial Belanda. Bahkan pemerintah telah memiliki Tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta-Bandung 2 sampai 2,5 jam dengan tarif terjangkau. Nantinya, kereta cepat akan membuat perjalanan Jakarta-Bandung ditempuh dalam 37 menit. Namun tarifnya tinggi dan belum tentu masyarakat memilihnya.
Adanya kereta cepat apakah akan memecahkan masalah transportasi?
Waktu tempuh yang cepat dengan menggunakan kereta cepat sebenarnya tak menawarkan keunggulan baru. Pasalnya kemacetan di dalam kota, baik Jakarta maupun Bandung akan menyulitkan orang untuk datang ke satasiun. Jadi sama saja, waktu tempuh saya ke stasiun untuk naik kereta cepat ke Bandung dengan naik mobil langsung dari Jakarta menuju Bandung.
Walini dan Karawang akan jadi pusat pertumbuhan baru dengan adanya kereta cepat, bagaimana kesiapan transportasi massal di sana?
Ya, transportasi massal di daerah tersebut belum ada karena pemukiman penduduk tak bertambah. Nanti, kalau pemukiman penduduk bertambah maka infrastrukturnya akan dibuat oleh pemerintah. Jika infrastrukturnya dibuat terlebih dahulu, siapa yang pakai. Harus ada pemukiman dahulu. Kalau tidak ada pemukiman siapa yang mau pakai.
Kereta cepat tak masuk RIPNas, lalu tiba-tiba muncul dan PT KAI terlibat. Apa tanggapan Anda?
Kereta cepat, yang bangun bukan PT Kereta Api Indonesia. Memang selama ini Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNas) dijalankan sama mereka, tapi dalam kasus kereta cepat menjadi wajar. Sebab bukan mereka pelaksananya. PT KAI dipaksa, makanya mereka masuk. Bukan hanya tekanan tapi paksaan juga. Sebagai bawahan ya harus tunduk dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pemerintah berjanji proyek kerete cepat tak pakai APBN, apa memungkinkan?
Saya meragukan ada negara yang mau memasukan proposal proyek ini jika tidak boleh menggunakan dana APBN. Mana ada negara yang mau berinvestasi tanpa jaminan pemerintah. Siapa yang bertanggung jawab jika proyek tersebut gagal? Saya menilai dengan persyaratan proposal berat, tak menggunakan APBN.
Argumen pemerintah, proyek yang nilainya sekitar Rp 60 triliun itu tak dibiayai oleh APBN, tetapi investor swasta. Argumen tersebut tidak berlandaskan pemikiran yang jauh ke depan.