Menuju konten utama

Proyek Kereta Cepat Minus Infrastruktur Dasar

Semangat menggebu pemerintah pusat membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung direspons dingin oleh masyarakat. Keberadaan jalur kereta sepanjang 142 km diyakini tidak akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan , masih popularnya tol cipularang sebagai akses ke bandung oleh sebagian penduduk menjadikan jalanan padat dan juga menurunkan pamor kereta dan pemerintah membuat solusi untuk mempercepat akses Jakarta-Bandung dan juga untuk perceptan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut

Proyek Kereta Cepat Minus Infrastruktur Dasar
Presiden Joko Widodo (kiri) menandatangani prasasti disaksikan Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kanan), Direktur Utama PT KCIC Hanggoro Budi Wiryawan (kedua kiri), dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (kanan), saat ‘groundbreaking’ pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Kehadiran kereta cepat Jakarta-Bandung dinilai mubazir. Moda transportasi untuk melintas Jakarta – Bandung sudah sangat beragam, mulai dari pesawat, kereta api, mobil travel, ataupun kendaraan pribadi. Masyarakat lebih suka menggunakan moda transportasi darat bus ataupun kendaraan pribadi untuk menempuh Jakarta-Bandung setelah hadirnya tol Cipularang. Menempuh Jakarta - Bandung via tol Cipularang dinilai lebih nyaman karena tak perlu berpusing-pusing memikirkan transportasi dari rumah ke stasiun.

Membenahi transportasi lintas kota tanpa menata transportasi dalam kota sebenarnya hal yang sangat sia-sia. Indonesia bisa mencontoh Malaysia dan Singapura yang sudah membangun MRT secara mapan sebelum akhirnya melanjutkan dengan proyek lintas kota.

Pemerintah Versus Publik

Pada Juli 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan tol Cipularang. Ketika itu, pengguna jalan bebas hambatan sepanjang 133 kilometer akan dikenakan biaya Rp29 ribu. Masyarakat menyambut baik kehadiran tol Cipularang karena mempermudah akses Jakarta-Bandung.

Dibukanya tol Cipularang ternyata berdampak signifikan pada penumpang kereta api Jakarta-Bandung yang ketika itu dilayani oleh Argo Gede dan parahyangan. Masyarakat pilih menggunakan kendaraan darat via tol Cipularang karena lebih mudah dan cepat. Jumlah penumpang turun rata-rata 10 – 20 persen per hari.

Ketika itu, Argo Gede tujuan Jakarta dibanderol Rp70 ribu, sementara Parahyangan Rp60 ribu. Karena penumpang kereta yang terus turun, PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi II memutuskan untuk menurunkan tarif kereta api Argo Gede dan Parahyangan, masing-masing menjadi Rp56 ribu dan Rp48 ribu.

Hingga kini, tol Cipularang masih menjadi favorit masyarakat yang ingin menempuh Jakarta- Bandung. Masyarakat lebih suka menggunakan tol Cipularang karena tak perlu bersusah payah menuju stasiun keberangkatan. Di samping juga harga yang lebih murah.

Dengan melihat perjalanan transportasi Jakarta-Bandung, maka ketika ide kereta cepat muncul, banyak sinisme yang mencuat. Di dunia maya, muncul petisi untuk menolak kereta cepat. Misalnya saja yang diunggah oleh Pritta kartika di Change.org. Sejak diunggah pada September 2015, petisi ini sudah mendapatkan 4.179 pendukung.

Hanif, warga Dago, merupakan salah satu warga yang menolak kereta cepat Jakarta-Bandung. Ia menganggap transportasi saat ini sudah cukup memadai untuk bolak-balik Jakarta-Bandung. Misalnya dengan travel Jakarta-Bandung, jarak tempuh hanya 2,5 jam melalui Tol Cipularang dengan harga hanya Rp40.000-75.000 untuk bus dan Rp100.000 untuk travel. Bandingkan dengan kereta cepat yang sampai Rp200.000, di luar ongkos transportasi dari stasiun ke rumah.

“Naik kereta cepat mahal, lebih baik naik travel lebih dekat dari tujuan, memang ada masalah macet untuk waktu tertentu tapi lebih terjangkau. Menurut saya kereta cepat Jakarta-Bandung tak perlu,” kata Hanif.

Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung memang ironi, dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang transportasi massal perkotaannya sudah mapan. Faktanya, di Indonesia khususnya Jakarta dan Bandung, ketersediaan tranportasi massal dalam kota masih menjadi pekerjaan rumah yang belum dikerjakan. Bisa dibayangkan, bila Jakarta-Bandung akhirnya bisa terhubung dengan kereta cepat hanya 30-45 menit tetapi penumpang harus terjebak macet saat menuju stasiun kereta cepat di Jakarta, atau terjebak macet saat keluar dari stasiun di Bandung dan sebaliknya.

“Dengan demikian, percuma saja perjalanan Bandung -Jakarta atau Surabaya - Jakarta super cepat, tapi perjalanan di dalam kota terhambat. Oleh karena itu lebih baik mengalokasikan dana yang besar untuk pembangunan angkutan umum massal di Jakarta atau memeratakan pembangunan infrastruktur agar tidak terkonsentrasi di Jakarta saja,” kata peneliti Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas dikutip dari blognya, darmaningtyas.blogspot.co.id.

Berkebalikan dengan warga, Pemerintah provinsi Jawa Barat merespons positif proyek ini dengan alasan akan mendongkrak ekonomi dengan hadirnya pusat-pusat pertumbuhan baru di Karawang dan Walini yang menjadi titik stasiun kereta cepat. Kabupaten/kota yang terkait proyek ini antara lain Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung dan Kabupaten Bandung mendukung penuh.

"Kita sepakat dan menyambut baik, hadirnya Kereta Api Cepat Bandung-Jakarta ini," ujar Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dikutip dari Antara.

Mapannya Transportasi Massal Negeri Jiran

Sama dengan Indonesia, Malaysia-Singapura sedang menyiapkan proyek kereta cepat. Bedanya, kereta cepat tidak lagi menghubungkan dua kota, tetapi juga dua negara. Singapura dan Malaysia sedang menyiapkan kereta cepat Singapura - Kuala Lumpur sepanjang 340 km.

Sebelum menyambungkan dengan kereta cepat, dua negara jiran itu sudah lama membangun infrastruktur transportasi massal perkotaan. Kedua negara sudah memiliki transportasi massal yang mapan yang sangat mendukung untuk kereta cepat. Singapura sudah memulainya sejak 1970-an, dan akhirnya punya MRT di 1987. Sementara Malaysia memiliki sistem bernama Klang Valley Integrated Rail Transit di Kuala Lumpur, yaitu suatu jaringan transportasi yang saling terintegrasi. Sistem ini mencakup KL Monorail, LRT (Light Rapid Transit), KTM Komuter, dan KLIA Ekspres. Kuala Lumpur juga punya Bus Rapid Transit sejenis TransJakarta, yaitu bus RapidKL dan Go-KL.

Malaysia juga sedang membangun jaringan Mass Rapid Transit (MRT) yang menghubungkan Sungai Bulog-Kajang di Kuala Lumpur. Pembangunannya sudah dimulai 8 Juli 2011. Jalur sepanjang 51 km ini terdiri dari 31 stasiun pemberhentian, sepanjang 9,5 km dibangun di bawah tanah. Fase pertama jalur MRT ini akan beroperasi pada akhir 2016 dari Sungai Buloh-Samantan. Sedangkan untuk fase kedua dari Samantan-Kajang akan beroperasi Juli 2017. Satu rangkaian MRT Kuala Lumpur ini bisa menampung 1.200 penumpang, setiap hari diperkirakan akan ada 400.000 penumpang menggunakan MRT ini, dengan kedatangan kereta setiap 3,5 menit sekali.

Singapura memiliki sistem transportasi massal berbasis rel maupun bus hingga taksi, antara lain MRT dan LRT. Jaringan LRT melayani penumpang dari kawasan perumahan ke jalur MRT dengan masa tunggu penumpang di bawah 5-7 menit. Kini Singapura punya berbagai jaringan MRT dan LRT sepanjang 178 Km mencakup 142 stasiun pemberhentian. Setiap hari, MRT dan LRT Singapura melayani 2 juta penumpang. Negeri Singa itu juga menyiapkan penambahan jaringan rel sampai 360 km hingga 2030. Bila ini terjadi, maka Singapura bakal yang teratas dibandingkan Hong Kong dan New York dalam hal infrastruktur kereta perkotaan.

Ada Kereta Cepat, Bandung Belum Siap

Ketika Singapura dan Malaysia sudah siap untuk urusan transportasi perkotaan, Indonesia baru memulainya. Padahal infrastruktur dasar ini harus segera diselesaikan ketika sebuah kota akan terhubung dengan transportasi massal antar kota seperti kereta cepat.

Dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNas) 2010, program transportasi perkotaan salah satu rencana prioritas pemerintah, yaitu pengembangan jaringan dan layanan kereta api perkotaan seperti kereta listrik untuk kota-kota yang penduduknya sudah di atas 1 juta jiwa. Tujuannya untuk mengantisipasi kemacaten jalan raya.

Dalam kasus Jakarta dan Bandung, kedua kota ini jelas sudah memiliki penduduk di atas 1 juta jiwa, Jakarta tercatat mencapai 9,6 juta penduduk (BPS 2010) dan Kota Bandung 3,1 juta penduduk (2010). Bandung kini menjelma menjadi Bandung Raya seperti Jakarta dengan konsep Jabodetabek. Bandung Raya mencakup Cimahi, Kabupaten Bandung juga Bandung Barat dengan penduduk hingga 8 juta jiwa. Sedangkan Jabodetabek mencapai 28 juta penduduk.

RIPNas sudah menyiapkan program kereta cepat Jakarta-Surabaya yang target pembangunannya dimulai 2021-2028. Namun, rute yang dibangun pemerintah justru Jakarta-Bandung saja. Waktu pelaksanaannya juga lebih cepat yaitu dimulai 2016 untuk rute Jakarta-Bandung.

Di sisi lain proyek tranportasi massal perkotaan Jakarta dan Bandung justru banyak yang meleset dari target, bahkan ada yang dibatalkan. Kementerian Perhubungan malah akan merevisi RIPNas untuk memastikan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung bisa sesuai dengan rencana induk.

“Revisi itu secara teknis akan dilakukan,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub JA Barata.

Dalam RIPNas tercantum rencana pembangunan monorel dan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta yang target pembangunannya 2014-2020. MRT Jakarta relatif masih sesuai dengan target pembangunan. Namun, yang terjadi monorel Jakarta batal dibangun yang kemudian digantikan dengan Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek. Sedangkan untuk pembangunan kereta dalam Kota Jakarta untuk menuju Bandara Soekarno-Hatta masih molor, harusnya dikerjakan 2011 dan tuntas 2015, hingga kini belum selesai.

Sementara Jakarta lebih siap. MRT (Tahap I) dan LRT mulai ada kegiatan konstruksi dan ditargetkan selesai 2018 sebelum kereta cepat Jakarta-Bandung tuntas dibangun. Kecepatan pembangunan MRT dan LRT di kedua kota idealnya tak boleh kalah cepat dengan kereta cepat. LRT Jabodetabek juga akan terkoneksi dengan jaringan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Kondisi yang berbeda justru terjadi di Bandung. Transportasi massal di ibukota Jawa Barat saat ini masih nihil. Padahal sudah ada rencana pengembangan kereta dalam kota Bandung Raya yang targetnya sudah dimulai 2013 hingga 2018 yang tercantum dalam RIPNas. Hal serupa pada rencana pembangunan kereta Bandara Kertajati Jawa Barat. Dalam RIPNas, Bandara Kertajadi seharusnya sudah mulai dibangun tahun ini dan selesai 2020. Hingga kini, Bandara Kertajati masih tahap pembangunan runway.

Pada 2013, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan sempat optimistis kereta dalam kota Bandung yang waktu itu digagas bernama monorel Bandung Raya bisa segera dibangun. Namun, proyek yang kini bernama LRT Bandung Raya belum juga terealisasi. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil juga sempat menggagas proyek kereta gantung (cable car) dan LRT Kota Bandung.

Awalnya monorel/LRT Bandung Raya inisiatif Pemprov Jabar dikerjakan oleh PT Jabar Moda Transportasi (JMT) yang merupakan patungan PT Panghegar Group dan PT Jasa Sarana. Pemprov Jabar menggandeng China National Machinery Import & Export Corporation (CMC). Total proyek ini diperkirakan menelan investasi belasan triliun rupiah. Hingga kini, LRT Bandung Raya belum jelas perkembangannya. Padahal, proyek ini seharusnya dimulai Juli 2015. LRT Bandung terbagi menjadi dua koridor yaitu koridor 1 dan 2.

Masalah dana menjadi penyebab belum terwujudnya LRT Bandung Raya. Pemprov Jabar berharap agar LRT Bandung Raya juga bisa didanai sebagian oleh APBN. Alasannya, agar tarif bisa lebih murah jika dibandingkan investasi swasta. Atas permintaan Pemprov Jabar itu, pemerintah pusat masih menimbangnya

“Belum, itu masih dalam kajian kita terlebih dahulu. Nanti kita ajukan ke presiden soal permintaan suntikan dana tersebut. Lalu baru kita usulkan untuk diterbitkan Peraturan presiden,” kata Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Hermanto Dwiatmoko.

Pusat Pertumbuhan Belum Siap

Salah satu tujuan kereta cepat Jakarta Bandung adalah untuk memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kawasan Karawang, Walini termasuk Tegal Luar disiapkan jadi simpul pusat pertumbuhan di Jawa Barat. Staf Khusus Kementerian Badan Usaha Milik Negara Sahala Lumban Gaol mengatakan pemerintah akan membangun dan mengembangkan kawasan terpadu di sekitar stasiun atau Transit Oriented Developement (TOD). Pengembangan kawasan baru juga untuk memastikan kelayakan kereta cepat Jakarta-Bandung, dengan target tiket Rp 200 ribu, dan investasi USD 5,5 miliar.

“Kalau hanya mengandalkan penumpang dan tiket, memang bisa dikatakan proyek ini tidak layak secara finasial," kata Sahala.

Di Walini, PTPN VIII akan menyiapkan lahan seluas 1.299 hektar dari 3.000 hektar. Rencananya akan dibangun pusat riset pendidikan, pusat bisnis, wahana bermain internasional Disneyland dan Universal Studio, Lego Land. Dikembangkan sebuah kawasan hutan yang diberi nama Asia-Afrika, wisata usaha hutan dan pohon-pohonnya dari seluruh Asia-Afrika.

Sayangnya sederet rencana ini belum memasukan rencana pengembangan transportasi perkotaan. Sebagai kawasan yang disiapkan sebagai pusat pertumbuhan baru, Walini dan Karawang juga harus punya rencana pembangunan infrastruktur dasar transportasi massal untuk mendukung keberadaan kereta cepat. Pemerintah pusat masih belum punya rencana termasuk pihak pengembang kereta cepat Jakarta-Bandung, PT Kereta Api Cepat Indonesia China (KCIC).

“Belum, tapi kita sedang menyiapkan masterplan-nya, setelah masterplan jadi kami mengajukan izin kepada pemerintah kabupaten kota dan provinsi,” kata Direktur Utama PT Kereta Api Cepat Indonesia China Hanggoro Budi Wiryawan.

Pemerintah boleh cepat-cepat untuk membangun kereta cepat agar tak kalah cepat dengan Singapura-Malaysia.

Namun, pemerintah tidak boleh lupa pekerjaan rumah yang belum sempat, dan harus dituntaskan yakni soal transportasi dalam kota dan juga pusat ekonomi pendukungnya. Keberadaan kereta cepat akan sia-sia bila pemerintah tak mempercepat pembangunan transportasi massal perkotaaan kedua kota.

Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti