tirto.id - Menjelang kickoff semifinal Piala Dunia Perempuan 2019 antara Inggris vs Amerika Serikat (AS) di Parc Olympique Lyonnais, Rabu (3/6/2019) dini hari, asosiasi sepakbola Inggris (FA) dibikin berang. FA memprotes tindakan staf Timnas Perempuan AS yang diduga memata-matai persiapan mereka.
Pelatih AS Jill Ellis membantahnya, sebagaimana dilaporkan The Guardian. Ellis bersikeras stafnya tidak memata-matai Inggris, namun sekadar mensurvei hotel yang berpotensi dijadikan basecamp andai timnya lolos ke final.
Kebetulan, salah satu tujuan survei adalah hotel tempat para penggawa Lionesses menginap.
"Semua orang butuh persiapan. Lagipula, yang datang ke sana hanya seorang petugas administrasi kami dan atasannya," tutur Jill.
Pelatih Inggris, Phil Neville meragukan klaim tersebut. Menurutnya AS jelas-jelas melakukan pengintaian karena staf yang datang menyamar dengan pakaian non-formal. Jika memang untuk survei hotel, menurutnya, tak seharusnya orang-orang itu menyamarkan diri.
"Saya tidak marah. Jujur saja, menurut saya tindakan itu justru lucu. Memangnya apa sih yang mereka lakukan? Tindakan seperti itu tidak etis. Saya jelas tidak akan melakukan hal yang sama jika bekerja untuk mereka," ujar mantan pemain Manchester United tersebut.
Tudingan FA dan Neville bahwa AS mengintai persiapan Inggris barangkali salah. Boleh jadi pula, klaim Ellis bahwa stafnya cuma melakukan survei hotel juga tidak lebih dari upaya mengelak. Namun terlepas dari dua kemungkinan tersebut, kegaduhan kecil antara Inggris dan AS membuktikan kalau tensi menjelang laga semifinal cukup panas, dan itu semua bukan tanpa sebab.
Jill Ellis yang melatih AS sejak 2015 lalu merupakan orang Inggris. Berhadapan dengan negara kelahirannya, Ellis mendapat sorotan besar dari media-media AS, dan itu bikin ambisinya untuk mempecundangi Inggris semakin besar.
"Jika saya dulu tetap di Inggris, saya tak yakin bisa melatih. Yang diberikan Amerika kepada saya adalah sebuah mimpi, kesempatan, dan kekuatan untuk menempuh langkah sejauh ini. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan," kata Ellis, menegaskan komitmennya dalam wawancara dengan Los Angeles Times.
Di lain pihak, Inggris tak dapat lagi menahan rasa penasarannya. Dari tujuh edisi Piala Dunia Perempuan, belum sekali pun negara yang mendaku sebagai 'ibu sepakbola' itu menembus final. Pencapaian terbaik mereka cuma mentok di semifinal dan jadi juara tiga, tepatnya pada edisi 2015 lalu.
"Satu-satunya jalan kami pulang adalah menjadi juara. Jika tidak, kami akan terus menderita untuk mencoba memahami betapa sakitnya kalah di semifinal," kata Neville kepada The Times.
AS Siap Beradaptasi Lagi
Tak hanya Ellis yang membawa gengsi tinggi di semifinal kali ini, para pemain AS dipastikan bakal bertarung habis-habisan guna meraih gelar juara dunia keempatnya. Apalagi, dengan rata-rata usia skuat yang saat ini menyentuh 28,6 tahun (tertinggi di Piala Dunia 2019), bisa dipastikan lebih dari separuh pemain AS tidak akan bisa lagi berpartisipasi di Piala Dunia edisi berikutnya.
Morgan Rapinoe salah satunya. Berusia 33 tahun, winger energik itu paham betul kalau Piala Dunia ini adalah yang terakhir baginya. Itu pula yang bikin dia tampil ngotot dan sudah mengemas lima gol, termasuk brace di perempat final.
"Jika tidak berjuang sekuat tenaga menjadi juara, saya tak paham lagi buat apa Anda repot-repot tampil di kompetisi sekelas Piala Dunia," ujar Rapinoe.
Selain semangat, faktor usia juga mendorong AS bermain lebih fleksibel, khususnya ketika menantang tim unggulan.
Saat mereka menghadapi Perancis pada perempat final lalu misalnya, setelah mencetak gol cepat lewat kaki Rapinoe, pelatih Jill Ellis merombak formasi timnya dari 4-3-3 jadi 5-3-2. Striker Alex Morgan ditarik guna mengisi pos gelandang tengah, sementara gelandang Julie Ertz turun menjadi bek kelima.
Dengan skema lima bek, di sisa pertandingan AS lantas mengandalkan blok pertahanan rendah, menyerap pressing para pemain Perancis, kemudian memukul balik lawan dengan counter-attack cepat.
Dalam wawancara dengan Los Angeles Timesakhir pekan lalu, Alex Morgan--yang menjadi kunci transisi formasi itu--membenarkan adanya perubahan taktik.
"Ya, saya mendapat peran yang berbeda di dalam tim, terutama dalam hal membantu pertahanan, meski soal menyerang juga. Yang harus saya lakukan hanyalah menjalankan instruksi, dan saya rasa saya telah melakukannya," aku Morgan.
Statistik juga memperlihatkan AS tampil lebih konservatif setelah unggul atas Perancis. Mereka cuma mendulang 39 persen penguasaan bola serta 10 tembakan. Di sisi lain Perancis menguasai bola 61 persen serta 20 kali menembak.
Meski terkesan lebih konservatif, pendekatan Jill Ellis jelas bukan blunder. Pada akhirnya toh Amerika tetap menang 1-2. Justru sebaliknya, dalam sebuah kolom di The Atlantic, pengamat sepakbola Franklin Foer menilai pendekatan tersebut adalah langkah cerdas.
"Pertandingan itu membuktikan AS bukan tim arogan. Tim arogan tidak akan bisa berdamai dengan kelemahannya, dan [saat melawan Perancis] mereka memperhatikan penyesuaian taktik untuk mengatasi kelemahan mereka," ungkap penulis buku How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization tersebut.
Kini, dihadapkan dengan Inggris--tim yang punya kecepatan dan komposisi pemain selevel dengan Perancis--Foer meyakini AS tidak akan segan untuk melakukan adaptasi lagi.
Jika pada laga kontra Perancis versatilitas Julia Ertz dan Alex Morgan menjadi kunci, saat melawan Inggris lebih banyak pemain akan terlibat untuk pergeseran posisi. Peran dua fullback, Kelley O'Hara dan Crystal Dunn, bakal menentukan alur pertandingan. Sebab Inggris bukan hanya punya ancaman dalam diri striker tajam Ellen White. Mereka juga punya winger lincah macam Nikita Parris serta fullback yang tak pernah ketinggalan membantu serangan, Lucy Bronze.
Inggris Sebaiknya Bermain Direct
Sementara bagi Inggris, melawan AS tetap bukan perkara mudah. Bagaimanapun AS adalah tim paling tangguh di turnamen saat ini, setidaknya jika mengacu statistik. Total, Alex Morgan dan kawan-kawan telah mencetak 22 gol alias yang terbanyak sepanjang gelaran Piala Dunia Perempuan 2019.
Tak cuma itu, pertahanan AS juga tangguh, terbukti mereka saat ini adalah tim tersisa dengan rekor kebobolan paling sedikit (satu gol).
Namun bukan berarti skuat asuhan Jill Ellis mustahil dikalahkan. Faktanya, dalam pertemuan terakhir di kompetisi She Believes Cup bulan Maret lalu, Inggris mampu menahan AS 2-2.
Kelebihan AS adalah kecepatan mereka dalam mencetak gol. Lebih dari setengah gol mereka di Piala Dunia kali ini tercipta pada babak pertama.
Untuk itu, guna mengimbangi lawan, langkah pertama yang harus dilakukan Inggris adalah menguasai tempo pertandingan sejak menit pertama. Mereka tidak boleh membiarkan AS tampil leluasa.
Dan untuk berhasil melakukannya, menurut mantan pelatih Tim Perempuan Chelsea, Emma Hayes, Inggris harus melakukan satu rotasi, yakni mengganti gelandang kiri Toni Duggan dengan Beth Mead.
Hayes menilai Duggan tidak tampil konsisten sejak cedera yang dia alami di tengah kompetisi. Dan hal ini bikin pos sayap kiri yang biasa dia tempati tak bisa mengimbangi sisi kanan. Beth Mead, yang punya kecepatan tak kalah dibanding Duggan, adalah pilihan tepat.
"Toni Duggan terlihat kurang konsisten sejak cedera. Melawan AS bukanlah laga di mana seseorang harus mendapat bantuan untuk menjalankan tugas. Semua pemain harus memberikan yang terbaik," ungkapnya.
Sementara mantan kiper Timnas AS, Hope Solo memberikan saran tidak kalah menarik untuk Inggris. Dalam kolom di The Guardian, perempuan yang sudah gantung sepatu dari karier sebagai pemain itu menyarankan Inggris bermain direct.
"Sebagai orang Amerika, saya benci mengatakan ini, tapi Inggris sangat mungkin mengalahkan AS. Saran saya untuk Phil Neville cuma satu: bermain direct."
Saran tersebut bukan tanpa dasar. Menurut Solo, AS memiliki para pemain belakang yang tidak saja tangguh, tapi juga dilatih untuk menangkal permainan bola-bola mendatar. Selain itu, saat melawan Perancis, terbukti AS berulang kali mampu memenangkan duel di pertahanan mereka karena unggul jumlah pemain.
Untuk menangkal kekalahan jumlah, menurutnya Inggris harus memperbanyak suplai umpan-umpan lambung ke kotak penalti.
"Kebanyakan tim tentu ingin bermain atraktif, tapi AS mengetahui cara mengatasi pendekatan seperti itu," tegasnya.
Jika melihat ke belakang, saran Solo ada benarnya. Terbukti satu-satunya gol yang bersarang ke gawang AS sepanjang Piala Dunia 2019, tepatnya ketika melawan Perancis, adalah buah dari permainan direct.
Editor: Rio Apinino