tirto.id - "Saat ini jumlah penerima subsidi LPG 3 kilogram mencapai 57 juta jiwa. Dari 57 juta itu, hanya 25,7 juta yang layak menerima bantuan subsidi."
Hal itu pernah disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo sekitar sembilan bulan lalu. Kala itu, BI bersama Kementerian ESDM menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan pelaksanaan penyaluran subsidi LPG 3 Kilogram secara non-tunai melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Rencananya, penyaluran subsidi tertutup melalui KKS itu akan mulai diterapkan pada Maret 2018 mendatang. LPG subsidi nantinya hanya bisa didapatkan oleh masyarakat miskin pemegang KKS.
Selama ini, LPG bersubsidi bisa dinikmati oleh siapapun karena memang didistribusikan secara terbuka. Alhasil subsidi pun tidak tepat sasaran sehingga subsidi membengkak. Alokasi subsidi LPG di pagu APBN 2017 tercatat sebesar Rp22 triliun. Namun, akibat adanya lonjakan konsumsi dan harga acuan CP Aramco, subsidi pun diperkirakan bisa membengkak hingga menjadi Rp40 triliun.
“Kami khawatir kalau dilepas seperti ini terus (subsidi terbuka), diprediksi akhir tahun ini bisa bengkak jadi Rp30 triliun. Jika terus dibiarkan, tahun depan jadi Rp40 triliun seiring dengan naiknya harga gas alam cair dunia,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Berangkat dari itu, pemerintah merasa perlu membenahi kembali distribusi LPG bersubsidi dengan cara tertutup lewat KKS yang selama ini dijadikan instrumen pengendali bantuan oleh Kementerian Sosial.
KKS sendiri memiliki banyak keunggulan, seperti fitur keuangan dan fitur tabungan. Sehingga kartu ini dapat digunakan untuk penarikan tunai dan transaksi bansos. Kemudian sistem uang elektronik juga telah diintegrasikan dengan sistem tabungan karena menggunakan sistem e-walet. Sehingga memungkinkan dalam satu KKS bisa dibuat berbagai e-walet yang bisa menampung berbagai jenis bansos dalam bentuk uang maupun barang.
"Saat ini pemerintah bersama sama Himpunan Bank Negara (Himbara) telah memiliki sistem monitoring bansos dan subsidi secara online yang dapat dipantau secara realtime," kata Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat seperti dikutip dari Antara.
Sebelum subsidi LPG dibuat tertutup pada Maret 2018, pemerintah masih terus mematangkan validitas data penerimanya. Sebagai data dasarnya, Bank Indonesia dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) sudah mengantongi 25,7 juta penerima yang memang layak mendapatkan subsidi. Ini berarti pemerintah dapat menghemat setengah anggaran subsidi LPG berkat upaya subsidi tertutup.
Angka yang diperoleh itu sudah disesuaikan dengan karakteristik penerimanya. Misal, yang dimaksud rumah tangga miskin atau rentan miskin adalah rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah, berpendapatan Rp350.000 per kapita/bulan, memiliki luas lantai rumah 8 meter persegi, lantai tidak permanen dan tembok rumah tidak permanen.
Sedangkan karakteristik usaha mikro yang disubsidi yaitu, usaha mikro yang dikelola rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah, tingkat pendidikan relatif rendah, dan jumlah pekerja tidak lebih dari 10 orang. Adapun, barang jualan dan tempat usaha tidak tetap, belum mendapat akses ke perbankan, aset maksimal Rp50 juta, dan omset maksimal Rp300 juta per tahun.
Dengan mengalihkan subsidi lewat KKS, maka subsidi yang diberikan pemerintah, bukan lagi dengan pengurangan harga tabung LPG tiga kilogram, namun melalui suntikan dana subsidi ke dalam KKS. Contohnya, apabila bantuan subsidi LPG 3 kg Rp16.000 per-tabung, artinya pemegang kartu sakti cukup membayar tunai Rp17.000 saja (mengacu pada harga keekonomian sebesar Rp33 ribu per tabung).
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai bahwa langkah ini akan sangat efektif membuat subsidi menjadi tepat sasaran.
“Hanya saja, Pemerintah harus benar-benar memiliki data valid dalam menetapkan rumah tangga miskin yang berhak memperoleh LPG bersubsidi. Pengawasan di lapangan pun harus ketat,” ujar Fahmy kepada Tirto.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang dihadapkan dengan permasalahan reformasi subsidi LPG. Berdasarkan laporan executive summary International Institute for Sustainable Development (IISD) yang dirilis tahun lalu, Peru merupakan salah satu negara yang sukses menjalankan reformasi subsidi LPG.
Lewat skema Fondo de Inclusión Social Energético (FISE), rumah tangga penerima manfaat subsidi di Peru selalu menerima voucher bulanan berisi bantuan keuangan untuk pengisian LPG. Agar akurat, voucher diberikan kepada penerimanya melalui kode nomor di tagihan listrik mereka. Tagihan listrik dijadikan kriteria utama penerima subsidi yang dihitung dari konsumsi listrik bulanan rata-rata.
Adapun India yang menerapkan transfer tunai langsung kepada penerimanya. Hanya saja, dalam skema ini para penerima subsidi harus terlebih dahulu membayar berdasar harga pasar yang berlaku. Setelah itu barulah subsidi ditransfer ke rekening si penerima dengan terlebih dahulu menyertakan bukti pembelian. Tujuan skema reimburse ini guna mencegah praktik korupsi dan kecurangan pemakaian konsumsi barang lain.
Lain hal dengan El Savador. Di sana pemerintah membayarkan subsidi secara langsung ke penjual LPG ketika penerima subsidi membeli. Pembayaran diterima pembeli ketika penerima subsidi menunjukkan KTP dan memasukkan nomor KTP di telepon genggam berprogram khusus yang terintegrasi. Pada 2015, pemerintah melaporkan bahwa program tersebut telah memberikan manfaat bagi sekitar 74 persen rumah tangga.
Berebut Pangsa Pasar LPG Non Subsidi
Jika merujuk pada jumlah penerima subsidi LPG 3 Kg yang disampaikan Gubernur BI, artinya akan ada sekitar 31 juta konsumen yang terpaksa harus bermigrasi ke LPG nonsubsidi. Sebab, ke depan pemerintah ingin gas tabung bersubsidi hanya diterima oleh mereka yang layak mendapatkan.
Potensi tersebut nampaknya ditangkap positif oleh Pertamina dengan wacana meluncurkan LPG 3 kg nonsubsidi. Peluncurannya pun disebut bertepatan dengan rencana pemerintah menertibkan subsidi, yakni Maret 2018.
Sejak akhir November lalu pun perseroan sudah mulai menguji pasar produk LPG 3 kg non subsidi. Uji pasar dilakukan kepada 500 responden yang berada di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Produk ini akan melengkapi varian LPG 5,5 kg dan 12 kg milik Pertamina. Warna tabung produk baru ini nantinya akan berwarna merah muda. Sementara bentuk dan ukuran tabung tidak akan ada perubahan.
Akan tetapi, Pertamina membantah anggapan yang menyebut peluncuran produk barunya itu berkaitan dengan wacana perubahan penyaluran subsidi LPG dari terbuka menjadi tertutup.
"Beda. Kalau bright gas kan nonsubsidi. Jangan dihubung-hubungin, enggak nyambung nanti. Ini murni varian kemasan/ukuran produk saja," kata External Communication Manager PT Pertamina, Arya Dwi Paramita kepada Tirto.
Namun jika menggunakan logika bisnis, jelas Pertamina berkepentingan dalam mengamankan 31 juta pelanggannya yang terdampak itu. Sebab jika tidak, pangsa pasar tersebut bisa saja direbut oleh Vivo Energy yang memiliki produk LPG dengan harga murah.
Apakah strategi Pertamina meluncurkan LPG 3 kg non subsidi bisa berhasil mempertahankan pelanggan? Jawabannya tergantung harga yang ditawarkan nanti. Mengingat LPG Vivo ukuran 4,5 kg saja hanya dibanderol Rp25.500.
Sedangkan hitungan awal Pertamina sejauh ini LPG 3kg non-subsidi akan dijual sesuai dengan perkembangan harga di CP Aramco. Sehingga, harganya dipatok sekitar Rp10-11 ribu per kg atau sekitar Rp33 ribu untuk kemasan 3 kg.
Secara teoritis persaingan di pasar dapat mendorong efisiensi yang memicu penurunan harga, sehingga pada akhirnya menguntungkan konsumen. Namun peran penting pemerintah dalam menetapkan harga yang tepat juga sangat dibutuhkan. Agar reformasi subsidi tidak menimbulkan kegaduhan. Setidaknya, perubahan harga tidak dilakukan dalam sekejap, tapi melalui proses transisi dengan cara menaikkan harga secara bertahap. Hingga akhirnya para konsumen bisa benar-benar siap dengan harga pasar yang berlaku.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti