Menuju konten utama

Shortfall Pajak Tembus Rp245,5 T, Terburuk Satu Dekade Terakhir

Shortfall pajak 2019 mencapai Rp245,5 triliun.

Shortfall Pajak Tembus Rp245,5 T, Terburuk Satu Dekade Terakhir
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan pers tentang realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 per akhir Oktober di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (18/11/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Shortfall atau potensi penerimaan pajak yang gagal dicapai pemerintah selama tahun 2019 mencapai Rp245,5 triliun. Hal tesrbut lantaran realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari-Desember hanya mencapai Rp1.332,1 triliun atau 84,4 persen dari target Rp 1.577,6 triliun.

Jika dibandingkan tahun 2018, shortfall pajak tahun ini meningkat dua kali lipat. Sepanjang Januari-Desember 2018, realisasi penerimaan pajak sebesar 92,4 persen daru target dengan shortfall sebesar Rp108,1 triliun.

Melebarnya shortfall tersebut memperburuk kinerja perpajakan dalam lima tahun terakhir dan mencatatakan Indonesia sebagai negara yang gagal mencapai target pajak 11 tahun berturut-turut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan rendahnya capaian penerimaan pajak ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pelemahan ekonomi global.

Ia mengatakan salah satu yang paling terasa adalah turunnya harga komoditas yang berimbas pada penerimaan migas.

“Ekonomi kita terpengruh akibat pelemahan. Terlihat dari sisi penerimaan pajak,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kemenkeu, Selasa (7/1/2020).

Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu mencontohkan harga minyak tahun 2019 hanya di kisaran 62 dolar AS per barel lebih rendah dari rata-rata tahun 2018 yang masih di kisaran 67,5 dolar AS.

Melesetnya realisasi ICP dari asumsi awal tahun itu diperburuk dengan capaian lifting migas yang juga di bawah target.

Lifting minyak hanya mencapai 741 dari 775 barel minyak per hari sementara gas hanya mencapai 1.050 dari 1.250 barel setara minyak per hari.

Akibat kondisi ini, PPh migas terlihat mengalami kontraksi cukup dalam yaitu minus 8,7 persen dengan realisasi Rp59,1 triliun dari tahun sebelumnya. Padahal tahun 2018 sempat tumbuh 28,6 persen.

“Litfting dan harga dua-duanya mengalami capaian yang lebih rendah dari yang diasumsikan di 2019,” jelasnya.

Sementra itu, PPh Non Migas tercatat masih cukup baik terealisasi Rp 711,2 triliun setara 85,9 persen dari target APBN. Namun, pertumbuhannya hanya 3,8 persen dari tahun lalu atau melambat dari tahun 2018 yang masih mampu tumbuh 14,9 persen.

“PPh Non migas masih tumbuh meski jauh lebih lemah. Ini artinya ada tekanan sector non migas di ekonomi kita,” ucap Sri Mulyani.

Penurunan pajak agak dalam juga dialami dari kelompok PPN dan PPnBM.

Sri Mulyani mencatat nilainya hanya Rp532,9 triliun sekitar 81,3 persen dari target APBN. Pertumbuhannya pun mengalami kontraksi minus 0,8 persen dari tahun lalu padahal tahun 2018 masih tumbuh 11,8 persen.

Lalu untuk pajak PBB dan lainnya masih tumbuh positif di kisaran 10,7 persen dengan realisasi Rp 27,7 triiun atau 104,2 persen dari target APBN.

“Inia da kontraksi di PPnBm dan PPn karena restitusi. Lalu ada tekanan ekonomi yang berimbas pada pengumpulan PPN,” jelas Sri Mulyani.

Baca juga artikel terkait SHORTFALL PAJAK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana