Menuju konten utama

Setelah Pesta Bola: Sepakbola di Tengah Konstelasi Eropa

Di sepakbola dan Eropa, Inggris adalah anomali. Negeri yang disebut melahirkan sepakbola justru absen pada saat pendirian FIFA dan UEFA, absen di edisi-edisi awal Piala Dunia, Piala Eropa dan Liga Champions.

Setelah Pesta Bola: Sepakbola di Tengah Konstelasi Eropa
Avatar Zen RS

tirto.id - Gordon Brown mengajukan pertanyaan retoris: "Saat bermain sepakbola di kancah Eropa sebagai pencapaian tertinggi permainan ini, mengapa dalam bidang kehidupan yang lain, 'menjadi Eropa' justru dicurigai? Saat Eropa menjadi puncak ambisi sepakbola, dan kita bersaing dengan sengitnya untuk sampai ke sana, mengapa dalam bidang yang lain begitu banyak warga Inggris Raya menolak [Eropa]?"

Kalimat pertama Brown merujuk Liga Champions, kompetisi antarklub yang mempertemukan kesebelasan-kesebelasan terbaik seantero Eropa, yang begitu mewah dan prestisius dan diidam-idamkan semua klub—termasuk klub-klub top Inggris. Sedangkan kalimat kedua merujuk Piala Eropa, kompetisi antara tim nasional seantero Eropa.

Pertanyaan Brown muncul dalam artikel yang ditulisnya untuk The Daily Mirror pada 10 Mei 2016, enam pekan jelang referendum yang akan menentukan Inggris bertahan atau keluar dari Uni Eropa. Brown mungkin tak perlu jawaban untuk pertanyaannya itu. Namun, sepakbola bisa merespons dengan cara yang berbeda dengan memberikan jawaban historis: sepakbola memang tak selalu berbanding lurus dengan politik.

Perlu dijelaskan lebih dulu bahwa sepakbola punya utang yang besar kepada politik, persisnya pada politik imperialisme Inggris. Jika Inggris bukan merupakan imperialis terbesar di dunia, amat mungkin sepakbola tidak akan mendunia seperti sekarang. Sebagai penemu sepakbola modern (yang sudah memuat aturan main seperti kita kenal sekarang), Inggris berkesempatan menyebarluaskan sepakbola ke berbagai sudut dunia karena orang Inggris ada di mana-mana.

Para pelaut, tentara, hingga administratur birokrasi dari Inggris Raya, mengenalkan sepakbola ke tanah-tanah jajahan yang begitu luas, yang saking luasnya membuat—menukil Ben Anderson—matahari tak pernah tenggelam di imperium Inggris Raya. Sastrawan legendaris Argentina, Jorge Luis Borges, dengan sebal berkata: "Sepakbola, sebagaimana kriket dan golf, ialah dosa bangsa Inggris yang sukar dimaafkan."

Justru karena Inggris adalah penemu sepakbola, sekaligus negara adidaya, maka Inggris seringkali merasa di atas, mengatasi, organisasi-organisasi sepakbola.

Ada sentimen kuat untuk emoh ikut-ikutan dengan "negara-apaan-sih" yang ingin mendirikan organisasi sepakbola. Tidak heran Inggris Raya absen dalam pendirian FIFA yang berlangsung pada 1904. Minus Inggris, para pendiri FIFA adalah Belanda, Belgia, Denmark, Jerman, Prancis, Swedia, Spanyol, dan Swiss. Prancis menjadi dominan dan itulah yang menjelaskan mengapa nama resmi FIFA ditulis dalam bahasa Prancis: Fédération Internationale de Football Association.

Inggris akhirnya bergabung dengan FIFA pada 1905. Namun tak lama kemudian, Inggris menekan FIFA agar menyingkirkan anggota FIFA yang bergabung dengan Central Powers (dengan poros utama: Jerman dan Austria-Hungaria), musuh Inggris (yang bergabung dengan Allied Powers) dalam Perang Dunia I. FIFA menolak, Inggris (bersama Wales, Irlandia dan Skotlandia) keluar dari FIFA. Mereka bergabung lagi dengan FIFA pada 1924.

Itu pun tak lama. Negara-negara Inggris Raya kembali bersitegang dengan FIFA dalam isu pembayaran untuk para pemain amatir dan kembali mereka meninggalkan FIFA pada 1928 dengan alasan resmi: "Kami harus dibebaskan melakukan urusan (apa pun) berdasarkan pengalaman panjang kami". Saat Piala Dunia pertama kali digelar pada 1930 di Uruguay, Inggris diundang untuk berpartisipasi walau bukan anggota FIFA, namun mereka tak pernah menjawab undangan itu. Dua insiden itu mencerminkan, dalam istilahnya Scott Muray (editor olahraga The Guardian dan penulis buku The Panthom of the Open), "keangkuhan berskala besar".

Tidak perlu heran jika Inggris, sang penemu sepakbola, justru absen dalam tiga edisi awal Piala Dunia (1930, 1934, 1938). Inggris baru bermain di Piala Dunia pada 1950 yang digelar di Brasil, empat tahun setelah mereka kembali bergabung dengan FIFA.

Betapa terkejutnya Inggris menyaksikan majunya cara bermain negara-negara lain. Inggris tersingkir dengan memalukan pada babak grup. Pada tiga Piala Dunia berikutnya, Inggris paling banter sampai di perempat final. Keangkuhan yang memaksa Inggris "terisolasi" membuat mereka benar-benar terasing dari kemajuan sepakbola. Barulah mereka menjadi juara Piala Dunia pada 1966, itu pun saat menjadi tuan rumah, itu pula satu-satunya gelar yang mereka miliki.

Di Eropa, hal serupa terjadi. Inggris "terlambat" menggabungkan diri dengan komunitas sepakbola Eropa, tepatnya organisasi sepakbola Eropa. UEFA berdiri pada 15 Juni 1954 di Basel atas inisiatif Prancis, Italia dan Belgia. Nama resmi UEFA, sebagaimana FIFA, lagi-lagi ditulis dalam Prancis: Union des Associations Européennes de Football. Inggris lagi-lagi "tertinggal" selangkah dengan jiran mereka di seberang selat, Prancis.

UEFA didirikan dengan semangat trans-nasional di Eropa yang hampir paralel dengan ide-ide Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang secara resmi berdiri pada 1957. Saat Eropa belum sepenuhnya pulih dari kehancuran Perang Dunia II, saat Eropa masih merasakan pahitnya pergulatan ideologi antara demokrasi, komunisme dan fasisme, sepakbola mencoba menyediakan alternatif "perjumpaan budaya". Jika FIFA (1904) mendahului pendirian League of Nations (cikal bakal PBB yang berdiri pada 1920), begitu juga UEFA yang kelahirannya mendahului MEE (cikal bakal Uni Eropa).

Dalam hampir semua kasus, Inggris nyaris selalu bersikap konservatif -- sikap yang agaknya dibentuk oleh sentimen keangkuhan sebuah negara yang merasa dirinya lebih besar dari yang lain.

Di bagian awal esai saya sudah menguraikan kilas balik "konservatisme" Inggris terkait FIFA, hal yang sama juga terjadi dalam sejarah UEFA. Kendati sudah bergabung dengan UEFA sejak awal, namun Inggris menolak bermain di Piala Eropa edisi pertama yang berlangsung pada 1960 di Prancis. Chelsea, juara Liga Inggris musim 1954/1955, juga tidak ikut bermain di Piala Champions edisi pertama (1955-1956) atas desakan FA, federasi sepakbola Inggris. Alasannya menggemakan kembali alasan Inggris Raya keluar dari FIFA pada 1928: Piala Champions mengganggu jadwal Liga Inggris.

Tidak perlu heran jika Inggris pun menepi dari pendirian MEE pada 1957. Pemerintah Inggris saat itu, yang dipimpin Perdana Menteri Sir Anthony Partai dari Partai Konservatif, ragu-ragu untuk bergabung. Padahal, tidak bisa tidak, MEE juga dipengaruhi Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris selama Perang Dunia II, yang menyerukan pentingnya Eropa bersatu, menepikan dulu batas-batas perbedaan. Churchill pula yang pada 1946 mengeluarkan istilah terkenal: United States of Europe.

Inggris baru mengajukan permohonan bergabung dengan MEE pada awal 1961. Jiran sekaligus rival lama dari seberang selat, Prancis, mencoba menunda bergabungnya Inggris. Charles de Gaulle, pemimpin Prancis, mem-veto keanggotaan Inggris di MEE karena menganggap mereka hanyalah kuda troya kepentingan Amerika di Eropa. Permohonan Inggris baru diterima setelah de Gaulle tersingkir dari kekuasaan pada 1969.

Yang juga menarik dari itu semua adalah bagaimana (manusia) Prancis nyaris selalu memainkan peran menentukan. Ini bukan tentang Charles de Gaulle yang memveto bergabungnya Inggris ke dalam MEE, namun tentang Baron de Coubertin, Jules Rimet dan Henry Delaunay.

Tiga peristiwa olah raga penting di dunia—mungkin juga yang terbesar—yaitu Olimpiade, Piala Dunia dan Piala Eropa semuanya lahir berkat andil besar orang Prancis, ya tiga orang itu tadi. Coubertin adalah inisiator Olimpiade sehingga disebut Bapak Olimpiade, sedangkan Rimet dan Delaunay menjadi inisiator berdirinya FIFA dan UEFA. Rimet diabadikan menjadi nama trofi Piala Dunia, sedangkan Delaunay diabadikan sebagai nama trofi Piala Eropa.

Slogan “liberté, égalité, fraternité” (kebebasan, keadilan dan persaudaraan) seperti tergemakan dalam usaha tiga orang itu “menyatukan” umat manusia melalui peristiwa olahraga. Sejarah Prancis kaya dengan usaha “menyatukan” umat manusia tanpa memandang perbedaan primordial, dari Revolusi Prancis pada 1789 atau Komune Paris pada 1871.

Usaha itu tidak selalu berhasil. Kegagalan, juga darah yang membanjir, sering kali mengiringi usaha-usaha historis itu. Ribuan, bahkan puluhan ribu, nyawa melayang setidaknya dalam dua peristiwa itu saja. Prancis yang multi-etnis dan ras tak pernah berhenti berusaha menyelesaikan persoalan itu dan Coubertin, Rimet serta Delaunay ialah “potongan” sejarah Prancis dalam usaha menyelesaikan dilema internalnya itu.

Dalam sepakbola, tim nasional Prancis pada Piala Dunia 1998 seringkali dirujuk sebagai contoh bagaimana sepakbola berhasil melumerkan perbedaan-perbedaan primordial. Dihajar kampanye rasis Jean Marie Le Pen dari Front National yang ultra-kanan, tim asuhan Aime Jacquet yang multi-etnis dan ras. Ketika Prancis berhasil menjadi juara 1998, dengan laki-laki imigran berdarah Aljazair bernama Zidane yang menjadi aktor utamanya, partai pimpinan Le Pen pun kalah dalam Pemilu tak lama kemudian (hanya mendapatkan kurang 6 persen suara).

Prancis, kala itu, seakan telah menuntaskan dilema historisnya. Slogan “liberté, égalité, fraternité” mendadak seperti setara dengan “black, blanc, Beur” (hitam, putih, Arab). Zidane dielu-elukan, dan sejumlah spanduk “Zidane for President” teracung dalam parade kemenangan.

Namun kemenangan itu tak berumur panjang. Tak lama dari peristiwa 9/11, Prancis menghadapi Aljazair dalam laga persahabatan yang digelar di Paris pada 6 Oktober 2001. Pertandingan melawan negara yang pernah lama dijajah Prancis, yang rakyatnya kemudian banyak membanjiri Prancis sebagai imigran, berakhir dengan begitu muram: nyanyian rasis, serangan verbal kepada muslim, berkumandang sepanjang laga.

Zidane, pahlawan Prancis pada 1998, menerima ancaman kekerasan sebelum laga. Di stadion, spanduk bertuliskan “Zidane harki” terbentang. Sebutan “harki” juga diarahkan kepada keluarga Zidane yang hadir di stadion. “Harki” ialah sebutan untuk orang Aljazair yang angkat senjata melawan pendudukan Prancis.

Setahun kemudian, Le Pen meraih suara yang sangat mengejutkan dalam ronde pertama pemilihan Presiden Prancis yaitu 17 persen. Ia mengalahkan Lionel Jospin, kandidat dari Partai Sosialis. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Prancis, tidak ada kandidat presiden dari partai kiri. Keberhasilan Le-Pen menjelaskan betapa simbol persatuan yang dipicu kemenangan pada Piala Dunia 1998 adalah fana, ringkih, semu.

Oktober 2002 meledak kerusuhan rasial berskala sangat massif yang dipicu oleh kekerasan yang dilakukan polisi kepada bocah imigran dari Afrika Utara, Zyed Benna and Bouna Traore, yang baru saja pulang dari bermain bola. Hampir selama 21 hari berlangsung kekerasan yang intens. Ribuan pemuda, didominasi oleh keturunan Arab, bertarung dengan polisi. Banyak sekali bangunan, perkantoran yang hancur terbakar. Sembilan ribu kendaraan hangus.

Piala Eropa 2016 di Prancis yang baru berakhir tidak sedikit diharapkan bisa menghidupkan lagi semangat “persaudaraan lintas-Eropa”. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, ancaman terorisme yang nyata, krisis pengungsi di Eropa, dan juga isu Brexit, sepakbola kembali digadang-gadang dapat menjadi panasea yang dapat menyatukan lagi Eropa. Ini topik lama memang, dan sudah biasa membaca pernyataan tentang—mengutip Tony Judt, penulis Postwar: A History of Europe since 1945 (hal. 782)—"what really united Europe was football."­

Pernyataan Tony Judt itu, yang argumentasinya dibabarkan pada bab 24 yang berjudul “Europe is A Way of Life”, merujuk bagaimana pertandingan sepakbola antar negara atau antar klub di Eropa memungkinkan para suporter, yang didominasi anak-anak muda, melintasi Eropa setiap bulannya dan berinteraksi (dalam cara yang hangat maupun brutal) satu sama lain dalam perbedaan paspor, etnis, ras, bahasa dan kelas. Teknologi televisi memungkinan satu sama lain menyaksikan sosok-sosok yang – sebelum perang dunia II begitu asing-- dalam tayangan langsung sepakbola.

Namun sejarah selalu membuktikan, begitu sebuah pertandingan/turnamen kelar, persoalan-persoalan mendasar ternyata tak benar-benar berakhir. Orang kembali ke kehidupannya masing-masing, berhadapan dengan berbagai urusan hidup yang mendasar dan mendesak, sebagaimana para pemimpin politik kembali harus bernegosiasi satu sama lain dalam berbagai perkara dan sengketa: dari soal menyikapi isu pengungsi, perkara Brexit, hingga sengketa di Ukraina. Dll. Dsb.

Ketika 14 Juli, di Prancis, dirayakan sebagai kemenangan “liberté, égalité, fraternité” (yang elemen terakhirnya berarti “persaudaraan”), di tempat lain 14 Juli diingat sebagai awal mula perang 100 jam antara Honduras dan El-Salvador. Perang yang berlangsung pada 1969 itu, tahun di mana Inggris bergabung dengan MEE, dipicu oleh—apalagi jika bukan—sebuah pertandingan sepakbola.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.