tirto.id - Sejak kapan industri perfilman Amerika Serikat menggambarkan orang Rusia, khususnya yang berasosiasi dengan rezim Uni Soviet, sebagai musuh?
Karakter orang Rusia yang dingin, jahat, atau licik—terutama sebagai agen rahasia—memang kelihatannya baru populer pada awal mula Perang Dingin atau memasuki paruh kedua abad ke-20. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, khalayak Rusia dan rezim baru mereka yang direpresentasikan secara negatif sudah muncul tak lama setelah Revolusi Bolshevik meletus pada 1917.
Studio-studio Hollywood yang sampai sekarang rutin mencetak film-film boxoffice didirikan tak lama sebelum atau setelah revolusi tersebut berlangsung, misalnya Universal Pictures dan Paramount Pictures (1912), Walt Disney Pictures dan Warner Bros (1923), serta Columbia Pictures dan MGM Studios Inc. (1924).
Kelahiran yang hampir bersamaan tersebut, bagi Harlow Robinson dalam buku Russians in Hollywood, Hollywood's Russians: Biography of an Image(2007), merupakan “suatu kebetulan sejarah yang aneh.” Dan kebetulan ini kemudian menciptakan tindakan-tindakan yang disengaja.
Karena “kejatuhan dinasti Romanov dan berdirinya Uni Soviet termasuk salah satu kejadian terbesar dan paling mengejutkan dalam satu abad,” tulis Robinson, “maka tak mengherankan film-film tentang Rusia jadi bagian penting dalam produksi Hollywood sedari awal mereka berdiri.”
Orang Rusia di Amerika
Tak hanya kabar dari jauh, revolusi proletariat di Rusia merupakan peristiwa yang benar-benar nyata dan dirasakan AS di tanah mereka sendiri. Akibat karut-marut perang sipil pasca-revolusi, banyak orang Rusia yang memutuskan mengungsi dan AS adalah salah satu tujuannya. Dilansir dari situs Library of Congress, dari dua juta orang Rusia yang bermigrasi, lebih dari 30 ribu berhasil berlabuh di AS. Mereka adalah imigran Rusia generasi baru.
Sebelumnya, sejak akhir abad ke-19 sampai dekade pertama abad ke-20, kaum tani yang hidup melarat dan kelaparan di bawah Kekaisaran Romanov sudah lebih dulu menemukan jalan ke AS. Termasuk dalam angkatan ini juga kaum Yahudi, kelompok yang dibenci Raja Nicholas I sehingga rentan dipersekusi, dipaksa agar pindah ke agama Rusia Ortodoks, atau jadi tentara kekaisaran.
Jika imigran generasi awal umumnya berasal dari kalangan bawah, pengungsi Rusia pasca-revolusi berlatar belakang sebaliknya. Banyak dari mereka yang sebelumnya merupakan aristokrat, pekerja profesional, sampai eks-staf kerajaan. Mereka disebut “Orang Rusia Putih” karena menentang negara baru Rusia “Merah” di bawah kepemimpinan Bolshevik.
Tentu semua privilese tersebut terpaksa mereka tanggalkan bersama kenangan masa lalu di tanah leluhur. Mereka harus bekerja untuk dapat hidup seperti warga pada umumnya, bahkan para bangsawan yang mungkin sebelumnya tak pernah mengucurkan keringat pun demikian. Banyak kisah dan desas-desus tentang aristokrat yang jadi pelayan atau jenderal kekaisaran sebagai supir taksi.
Awalnya seluruh imigran disambut hangat oleh administrasi Presiden Woodrow Wilson (menjabat 1913-1921). Dan itu sama sekali tak mengherankan mengingat latar belakang Wilson adalah advokat yang mendukung demokrasi liberal dan pasar bebas. Ia menganggap visi komunisme Vladimir Lenin dapat mengancam tatanan dunia kapitalis. Keputusan Lenin untuk menarik diri dari kubu Sekutu juga dianggap mengacaukan upaya untuk mengalahkan Jerman dalam Perang Dunia I.
Tapi situasi ini tak bertahan lama.
Ketika itu, menurut Jonathan Dunning dalam studi berjudul “American Bolsheviki: The Beginnings of the First Red Scare, 1917 to 1918” (2019), media dan politikus mulai gencar bicara tentang Bolshevik sebagai perebut kekuasaan tidak sah, kriminal, sampai diktator. Persepsi dibentuk: ada pihak yang tengah berupaya menjadikan AS menjadi seperti Soviet.
Ini semua “kian menimbulkan rasa histeris, benci, gelisah” terhadap mereka yang berasosiasi dengan Bolshevik atau grup-grup kiri secara umum. Beberapa pihak yang dituding sebagai pendukung Bolshevik, di antaranya Partai Sosialis AS sampai serikat buruh se-Amerika Utara, Industrial Workers of the World.
Histeria terhadap gerakan radikal kiri atau Red Scare merajalela sepanjang 1917-1919, apalagi saat itu marak protes buruh, aksi mogok kerja, kerusuhan, hingga pengeboman oleh para anarkis. Untuk memberangus para pasifis, anarkis, komunis, dan sosialis yang dipandang kritis terhadap pemerintah, dibuatlah UU Spionase pada 1917 dan UU Penghasutan satu tahun kemudian.
Siapa yang dituding sebagai dalang dari ini semua? Tidak lain tidak bukan adalah pendatang dari Rusia. Masih melansir Library of Congress, pada puncak Red Scare, sampai 5.000 orang Rusia ditahan di New York.
Kelak, ribuan orang Rusia dideportasi karena terindikasi sebagai “radikal” menurut otoritas AS. Menjelang Natal 1919, misalnya, sebanyak 249 imigran Rusia “dipulangkan” ke Soviet—negeri asing bagi pengungsi generasi lama dan momok bagi Orang Rusia Putih. Mereka naik kapal yang disebut “Bahtera Merah”, menjadi “hadiah Natal” untuk tokoh besar Revolusi Bolshevik, Lenin dan Leon Trotsky.
Sejak 1919
Para sineas Hollywood tentu saja tak melewatkan karut-marut tersebut. Mereka menjadikan peristiwa-peristiwa itu sebagai bahan cerita. Menilik arsip filmografi Red Scareyang disusun perpustakaan University of Washington, pada 1919 saja sedikitnya terdapat lima film sarat pesan-pesan antikomunis.
Salah satunya berjudul Bolshevism on Trial, yang diangkat dari novel karya penulis sekaligus pendukung supremasi kulit putih Thomas Dixon. Film bisu berdurasi satu jam ini bercerita tentang pasangan kekasih muda dari keluarga kaya raya yang terinspirasi paham sosialisme, lantas bereksperimen membangun komunitas sosialis di sebuah pulau di Florida.
Semua jadi kacau karena semua orang yang hidup di sana tidak mampu bekerja, sementara para buruh di gudang dan dapur mogok.
Seorang pemimpin baru pun diangkat dan memperkenalkan kebijakan-kebijakan otoriter: mengerahkan polisi untuk menangkapi warga yang berbeda pendapat, mengangkat anak-anak jadi properti negara, melarang warga menganut agama (yang dianggap “candu bagi masyarakat”). Sebelum situasi bertambah pelik, anak muda pencetus komunitas ini berhasil “diselamatkan” oleh orang tuanya yang datang dengan kapal angkatan laut AS.
The Right to Happiness, film bisu lain produksi Universal Pictures yang dirilis pada 1919, bahkan tak hanya menyampaikan pesan antikomunis namun juga bernuansa anti-Semit.
Cerita dibuka dengan latar Rusia tahun 1898, yang dideskripsikan sebagai “tanah penuh kegelapan dan penindasan.” Dikisahkan seorang pengusaha Amerika yang tengah berbisnis di Rusia tinggal bersama dua anak kembarnya di dekat pemukiman Yahudi. Suatu malam, ketika si pengusaha sedang pergi, muncul kerusuhan yang berakhir pada pembantaian kaum Yahudi. Kekacauan itu membuat si pengusaha kehilangan salah satu anak, Dorothy. Ia kembali ke AS untuk menata hidup kembali bersama anak yang selamat.
Tapi ternyata Dorothy tidak meninggal. Ia ditolong dan dibesarkan oleh keluarga Yahudi di Rusia. Ia tumbuh sebagai sosialis yang gigih mendukung Revolusi Bolshevik dan kesejahteraan kaum buruh. Sedangkan kembarannya di AS, bisa diduga, mengalami hidup yang berbeda sama sekali: tumbuh dalam kemewahan seiring eksploitasi terhadap para buruh berlangsung di pabrik ayahnya.
Menjelang Perang Dunia II
Film-film bertema antikomunis mulai lebih sering diproduksi selama Depresi Besar atau sepanjang dekade 1930-an. Pada era inilah tema spionase yang melibatkan mata-mata Rusia sudah bisa ditemui.
Salah satunya adalah After Tonight yang dirilis pada 1933. Film ini mengisahkan staf pemerintah Austria jatuh cinta pada mata-mata cantik Rusia yang seharusnya ia tangkap. Kisah serupa disampaikan dalam British Agent (1934), yang, sesuai judulnya, punya tokoh protagonis asal Inggris.
Menurut amatan Bernard F. Dick dalam buku The Screen is Red: Hollywod, Communism and the Cold War(2016), film-film yang dirilis pada dekade tersebut cenderung menggambarkan komunisme sebagai gangguan alih-alih ancaman terhadap demokrasi Amerika.
Dick menyorot bagaimana komunisme dibalut dengan remeh dan konyol melalui screwball comedy—salah satu subgenre komedi romantis yang populer selama Depresi Besar. Subgenre ini sarat sindiran terhadap kisah cinta tradisional: menggambarkan pengalaman jatuh cinta sebagai spontanitas atau lucu-lucuan, serta tema-tema eskapis, termasuk menampilkan sosok perempuan muda naif dan pemberontak.
Salah satu contohnya adalah film Red Salute(1935) produksi Reliance Pictures yang berlatar radikalisme kiri di lingkungan kampus. Ceritanya, seorang jenderal AS punya anak perempuan yang jatuh cinta dengan mahasiswa komunis. Sudah tentu sang jenderal menentangnya dan menyebut bahwa mereka sekeluarga adalah bagian dari sistem yang ditentang mahasiswa tersebut. Dari kacamata sang jenderal, sistem tersebut—kapitalisme—telah memberikan mereka rumah bagus dan segala kenikmatan materialistis.
Anak yang tetap ngotot mau menikahi komunis lantas dihukum: dikirim ke rumah tante di Meksiko. Di sana ia memberontak dan nekat menempuh jalur darat untuk pulang ke Washington. Selama perjalanan, gadis ini dibantu dengan tentara gagah Amerika yang nama panggilannya “Paman Sam”. Seperti bisa diduga, mereka jatuh cinta. Bagaimana dengan mahasiswa komunis? Karena ternyata merupakan propagandis asing, ia akhirnya dideportasi.
Film ini dirilis ulang dengan judul Runaway Daughter (1953), bersamaan dengan meningkatnya sentimen antikomunis selama Perang Dingin (Red Scare jilid kedua).
Film populer lain, komedi romantis produksi MGM Studios berjudul Ninotchka(1939), secara halus mengkritisi rezim kelam Joseph Stalin. Berlatar kota Paris yang indah dan menawarkan kebebasan, seorang perempuan cantik bernama Ninotchka—diperankan aktris legendaris Greta Garbo—ditugaskan oleh Moskow untuk mengusut perhiasan curian milik bangsawan Rusia yang seharusnya jadi rampasan pemerintah Soviet. Ninotchka harus bersaing dengan seorang playboy Prancis yang diberi misi oleh si bangsawan untuk menyelamatkan hartanya.
Keduanya malah jatuh cinta selama proses investigasi.
Seiring itu, karakter Ninotchka berkembang. Ia awalnya digambarkan sebagai agen yang dingin dan kaku kemudian berubah menjadi feminim, luwes, dan ceria. Menurut penuturan Bernard Dick dalam The Screen is Red, Ninotchka sudah “dibujuk rayu oleh kapitalisme” yang disiratkan melalui kehidupan tidak mengekang di gemerlap Paris, kontras dari tekanan di bawah Stalinisme. Di Paris-lah Ninotchka bisa tersenyum, bernyanyi, berdansa dalam balutan gaun indah, menikmati sampanye, mengenal fesyen dari topi sampai lingerie.
Propaganda Pro-Rusia
Film-film dengan pesan anti-Soviet sempat meredup setelah Ninotchka dirilis pada pengujung 1939. Mereka muncul lagi paling cepat pada 1948, misalnya lewat film Behind the Iron Curtain (thriller semidokumenter tentang ahli sandi asal Soviet yang membelot ke Kanada) dan Sofia (spionase tentang usaha untuk menyelamatkan ilmuwan nuklir Rusia dari agen Soviet yang kejam).
Perang Dunia II mengubah peta geopolitik—untuk sementara. Setelah Adolf Hitler menyerang Soviet pada musim panas 1941, terbentuklah persekutuan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan: antara Soviet dan AS; kapitalis dan komunis. Lanskap perfilman pun berubah.
Melansir Harlow Robinson dari buku Russians in Hollywood, Hollywood's Russians, perwakilan Presiden Franklin D. Roosevelt (menjabat 1933-1945) dan Office of War Information mulai meminta produser Hollywood untuk memproduksi film-film pro-Rusia. Tujuannya tidak lain dalam rangka membantu mendulang simpati publik AS tentang sekutu baru mereka.
Salah satu hasilnya adalah Mission to Moscow(1943) drama produksi Warner Bros.
Menurut Todd Bennett di Journal of American History (2001), film yang menggambarkan kerja sama heroik AS-Soviet melawan Jerman dan Jepang ini tak lain adalah bagian dari “diplomasi Soviet”-nya Roosevelt. Film ini, tulis Bennett, ditujukan untuk “memberikan kesan pada khalayak Amerika bahwa Uni Soviet adalah negara yang normal dan bisa diandalkan.”
Di Rusia sendiri, Stalin sampai memberikan izin langsung agar filmnya didistribusikan secara luas di bioskop-bioskop. Film ini pun jadi salah satu produk hiburan AS pertama yang dinikmati penduduk Soviet selama satu dekade terakhir.
Masih mengutip Bennett, film ini dikritik habis-habisan di AS karena dianggap menutupi kebrutalan rezim Stalin dan agresi militer Soviet ke negara sekitarnya (contoh: invasi ke Finlandia pada 1939). Jurnalis berideologi marxis, Eugene Lyons, melihatnya sebagai “pemujaan terhadap Stalin,” sementara intelektual liberal John Dewey dan Suzanne La Follette menyebutnya “contoh pertama propaganda totaliter oleh negara kita untuk konsumsi massa.”
Massa pendukung ajaran Leon Trotsky juga protes ke jalanan New York dan Los Angeles karena marah dengan klaim produser film bahwa kaum eksil Bolshevik menyusun konspirasi menentang Soviet-nya Stalin.
Film propaganda pro-Rusia lain adalah produksi MGM Studios berjudul Song of Russia(1944). Film ini mengambil latar invasi Nazi Jerman ke Soviet. Ceritanya tentang pasangan suami-istri lintas benua—pianis Rusia dan konduktor AS—yang berusaha mempertahankan pernikahan mereka di tengah karut-marut perang. Isi film juga sarat dengan penggambaran kaum tani Rusia ortodoks di perdesaan yang hidupnya riang, sehat, dan gigih dalam berjuang mengusir tentara Nazi Jerman.
Skenario Song of Russia ditulis oleh Paul Jarrico dan Richard Collins, yang pernah jadi anggota Partai Komunis AS. Mereka kelak masuk daftar hitam Hollywood pada era paranoia komunis Red Scare yang kembali digencarkan setelah Perang Dunia II berakhir dan Soviet-AS kembali bermusuhan dalam perseteruan baru yang kita kenal sebagai Perang Dingin.
Bersama 300 pekerja kreatif Hollywood lain, mereka dilarang berkarya lagi sejak awal dekade 1950-an karena diduga berafiliasi dengan gerakan komunis. Termasuk pula di dalamnya artis kenamaan asal Inggris Charlie Chaplin, yang tahun 1952 dideportasi terlepas kontribusi besarnya untuk Hollywood. Seiring itu, film-film yang menyematkan karakter antagonis pada orang Rusia kembali marak bermunculan, sampai hari ini.
Editor: Rio Apinino