tirto.id - Menjadi bankir, dalam bayangan banyak orang, adalah pekerjaan idaman karena menjanjikan kesejahteraan. Mereka bekerja di perusahaan tempat orang menyimpan uang, di gedung mewah, pakaian rapi, punya asuransi, pensiunnya juga besar.
Mereka, para buruh bank ini, dianggap berbeda dengan buruh pabrik yang target pekerjaannya tinggi, jam istirahat ketat, gaji pas-pasan dan asuransi ala kadarnya. Pemandangan biasa saat para buruh pabrik menggelar aksi demonstrasi, berpanas-panasan di bawah terik matahari, demi menuntut upah lebih tinggi.
Tetapi tunggu dulu, para bankir juga pekerja biasa, yang mendapatkan tekanan pekerjaan hingga dibayangi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Jumat siang, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda (28/10/2016), sekitar 100-an bankir PT Bank Danamon Indonesia Tbk berkumpul di Tugu Tani Jakarta Pusat. Mereka berpakaian serba hitam lengkap sembari membawa berbagai atribut.
“Tolak pengurangan dana pensiun!”
“Stop PHK massal!”
“Jangan rampok uang cuti!”
“Kembalikan benefit asuransi!”
Demikian sebagian seruan yang terpacak di pamflet-pamflet yang mereka genggam. Benang merah seruan itu adalah: kesejahteraan karyawan. Dari titik kumpul di Tugu Tani, mereka berjalan menuju Menara Bank Danamon di Kuningan, Jakarta Selatan.
Pukul 15.00 WIB, hujan deras mengguyur kawasan Kuningan. Nyanyian pembakar semangat didendangkan saat rintik hujan mulai berubah menjadi deras. Seorang pria dengan tulisan baju Black Friday mengacungkan papan bertuliskan "Tolak PHK masal". Namanya Abdul, usianya 46 tahun. Dialah koordinator aksi demonstrasi karyawan Danamon sore itu.
"Saya katakan, umur saya sudah segini, anak masih empat, yang paling besar saja masih kelas 6 SD dan mau masuk SMP. Saya harus ngasih makan lima orang termasuk istri. Belum cicilan rumah masih kurang enam tahun lagi," kata Abdul mengenang.
Abdul adalah salah satu karyawan yang telah dipecat tanpa pemberitahuan dan tanpa alasan jelas. "Saya syok! Sehabis lebaran diberi surat tapi ketika saya tanya dasarnya, tak ada yang bisa menjawab," katanya kepada tirto.id di sela-sela aksi.
Usai mendapat SP3 usai merayakan lebaran, Abdul diberi kesempatan memperbaiki diri hingga Oktober 2016. Awal bulan Oktober, ia kembali dipanggil manajemen. Tetapi argumentasi-argumentasi Abdul tak menyelamatkan apa pun.
Ini pertama kalinya Abdul ikut demonstrasi. Ia sudah jengah dengan manajeman Danamon sejak diakuisisi oleh Tamasek. "Dulu sebelum manajemen baru, tiap tahun gaji pasti naik mengikuti inflasi. Sekarang yang naik hanya beberapa, mungkin yang dekat dengan manajemen," katanya.
Aksi turun ke jalan para bankir bukan tanpa alasan. Mereka menuntut hak dan kesejahteraan. Mereka meminta Danamon, sebagai perusahaan, berlaku adil dan jujur kepada karyawan. Persoalan utama yang menghantui para karyawan adalah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut data dari Serikat Pekerja Danamon, ada 10.000 karyawan yang di-PHK dalam periode tiga tahun terakhir. “Sementara ribuan yang lain menjadi gelisah dan hilang motivasi karena setiap saat bisa menjadi korban PHK maupun penilaian kerja yang dipaksakan rendah,” ujar Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Danamon, Muhammad Afif, beberapa jam sebelum aksi dimulai.
Dia mencatat sekitar 2000-an karyawan yang di PHK dan tidak mendapatkan haknya (pesangon). Sayang hingga naskah ini tayang, kami belum mendapat konfirmasi dari perwakilan manajemen Danamon perihal korban PHK yang tidak dipenuhi hak-haknya. Zsa Zsa Yusharyahya, Sekretaris Perusahaan, tidak menjawab pertanyaan kami.
Sementara itu, lanjut Afif, rekrutmen malah jalan terus. Yang diprioritaskan untuk direkrut adalah bankir-bankir berpengalaman dari bank lain. “Ini terjadi sejak 2014,” kata Afif. Perubahan dan pengurangan kesejahteraan karyawan ini, sambungnya, terjadi sejak Danamon dibeli Temasek—perusahaan investasi milik pemerintah Singapura—melalui Asia Financial (Indonesia) Pte. Ltd., pada 2003. Namun gejalanya makin nyata selama tiga tahun terakhir.
Bagi para anggota Serikat Pekerja Danamon, demonstrasi dan pemogokan kerja adalah langkah terakhir yang bisa mereka ambil. Sebelumnya, beberapa dialog dengan pihak manajemen telah mereka lakukan.
Dialog pertama dilakukan pada 22 April 2016. Kala itu, pengurus SP Danamon bertemu dengan sang CEO, Sng Seow Wah, seorang warga negara Singapura. Ia telah menduduki posisi tertinggi di jajaran direksi Danamon sejak 27 Februari 2015.
Dalam pertemuan itu, pengurus SP Danamon telah menyampaikan seluruh ekspektasi karyawan. Para pengurus juga menekankan meminta Danamon menghentikan PHK massal dan mengembalikan kesejahteraan karyawan.
Sepanjang Mei hingga Oktober 2016, pengurus SP Danamon tercatat beberapa kali bertemu dengan para direktur. Tanggal 8 Agustus lalu, misalnya, mereka kembali bertemu dengan pihak manajemen yang juga dihadiri sang CEO. Tanggal 22 di bulan yang sama, pengurus serikat pekerja juga menghadiri rapat khusus dengan salah satu direktur, Satinder Pal Singh Ahluwalia, untuk membahas isu ketenagakerjaan secara khusus. Ahluwalia adalah pejabat Danamon berkewarganegaraan Kanada.
Pertemuan-pertemuan itu tak membuahkan hasil. SP Danamon memutuskan untuk melibatkan pihak ketiga, yakni Kementerian Tenaga Kerja, guna memediasi karyawan dengan manajemen.
Mediasi dilakukan pertama kali pada 9 September. Lalu ditemukan kesepakatan memasukkan sepuluh tuntutan rakyat Danamon (Sepultura) ke dalam perjanjian kerja bersama (PKB). Lagi-lagi, kesepakatan itu tak berjalan alih-alih membuat damai.
Apabila demonstrasi yang dilakukan hari ini tak juga membuahkan hasil, pengurus dan anggota Serikat Pekerja Danamon akan melakukan aksi massa yang lebih besar pada 10 November mendatang. Mereka mengklaim akan menggelar lagi aksi massa berupa demonstrasi dan mogok nasional.
Tiga hari lalu, 25 Oktober 2016, sebelum aksi massa ini digelar, Danamon baru saja mengumumkan kinerja keuangan yang aduhai. Sampai kuartal III tahun ini, bank yang melantai di bursa itu membukukan laba bersih senilai Rp2,5 triliun. Angka tersebut tercatat naik 33 persen dari laba bersih dalam periode yang sama tahun lalu.
Besarnya laba ini dipicu menurunnya rasio biaya terhadap pendapatan. Di kuartal III tahun ini, rasionya hanya 49,1 persen, lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 53,7 persen.
Hingga 30 Juni 2016, aset Danamon tercatat sebesar Rp175 triliun. Bank buku III ini memiliki 1.900 kantor cabang dan pusat pelayanan. Ia juga memiliki 1.454 ATM serta puluhan ribu ATM melalui kerja sama dengan jaringan ATM Bersama, ALTO, dan Prima di seluruh Indonesia.
Menanggapi aksi masa oleh anggota serikat pekerja itu, yang berbanding terbalik dengan peningkatan laba perusahaan, Wakil Direktur Utama Danamon Muliadi Rahardja hanya memberikan komentar normatif. “Kami sedang dalam tahap perundingan untuk pembaruan PKB,” katanya kepada Tirto, Jumat (28/10).
Dia menjelaskan, untuk menjaga kelangsungan bisnis di tengah iklim usaha yang sangat kompetitif, Danamon terus melakukan transformasi bisnis melalui berbagai inisiatif, di antaranya restrukturisasi usaha, konsolidasi, dan lain sebagainya. “Inisiatif tersebut bisa berdampak kepada jaringan usaha juga pekerja,” sambungnya.
Dia pun mengatakan, bagi pekerja yang terkena dampak transformasi bisnis ini, manajemen mengutamakan untuk memberikan kesempatan pada posisi internal yang tersedia. Pihaknya juga memberikan kesempatan pekerja untuk mengajukan pensiun dini.
Aksi massa yang digelar Serikat Pekerja Danamon di Jakarta ini juga diketahui dan mendapat dukungan solidaritas dari karyawan-karyawan di daerah lain. Karyawan di Pulau Punjung, Sumatera Barat, salah satunya.
Salah satu karyawannya mengunggah satu foto di instagram. Foto itu menunjukkan para karyawan yang memakai baju serba hitam. “Inilah bentuk support manja dari kami, Danamon KCP Pulau Punjung buat rekan Danamoners yang berada di Kantor Pusat Jakarta. Hidup Sepultura! Hidup Serikat Pekerja Danamon!” tulis si pemilik akun dalam keterangan fotonya.
Hari ini, saham Danamon juga turun. Kemarin, harga sahamnya ditutup di angka 3.920. Hari ini, saham emiten berkode BDMN itu hanya dibuka di angka 3.860 dan ditutup di angka 3.830. Dibandingkan penutupan kemarin, harga saham BDMN turun 2,3 persen. Padahal, indeks harga saham gabungan (IHSG) hanya turun 0,12 persen. Saham bank lain seperti Mandiri naik 0,44 persen, sedangkan harga saham Bank BNI stagnan.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Zen RS