Menuju konten utama

Sepi Landa DPRD Kota Malang Usai 40 Anggotanya Diciduk KPK

Pantauan Tirto pada Selasa (4/9/2018) sejak pukul 14.00 hingga 18.10 WIB, gedung DPRD Kota Malang tampak sepi dari aktivitas anggota dewan.

Sepi Landa DPRD Kota Malang Usai 40 Anggotanya Diciduk KPK
Seorang jurnalis melintas di depan ruangan rapat yang kosong di Gedung DPRD Kota Malang ya, Jawa Timur, Selasa (4/9/2018). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto.

tirto.id - Suasana gedung DPRD Kota Malang yang terletak di Jalan Tugu No 1A tampak lengang saat reporter Tirto menyambangi lokasi itu, pada Selasa (4/9/2018) mulai pukul 14.00 – 18.15 WIB. Di lantai dua tempat ruangan komisi, tidak ada lagi lalu-lalang para anggota dewan. Bahkan banyak ruangan komisi yang tutup.

Sepinya aktivitas anggota dewan karena dari total 45 anggota DPRD, hanya lima orang yang tak dicokok KPK atas dugaan korupsi suap APBD-P Kota Malang Tahun 2015. Mereka yang tersisa, di antaranya adalah Abdul Rahman (Fraksi PKB), Subur Triono (PAN), Tutuk Hariyanu (PDIP), Priyatmoko Oetomo (PDIP), dan Nirma Cris Desinidya (Hanura).

Sementara 40 anggota lainnya menjadi pesakitan KPK. Sebanyak 18 orang ditetapkan sebagai tersangka pada Maret lalu dan sudah menjalani sidang pembacaan surat dakwaan pada Rabu (15/8/2018), sisanya diumumkan baru diumumkan sebagai tersangka dan ditahan, pada Senin (3/9/2018).

Pantauan Tirto pada Selasa (4/9/2018), hanya ruangan komisi B yang dihuni Subur Triono saja yang terbuka dan tampak beraktivitas.

"Saya selesaikan beberapa administrasi yang harus saya tanda tangani. Itu saja aktivitas anggota terutama saya. Tidak ada yang lain,” kata Subur saat ditemui Tirto, pada Selasa sore.

Subur mengaku belum ada koordinasi antaranggota yang tersisa. Informasi mengenai undangan Pemkot Malang terkait koordinasi DPRD dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga belum bisa dipastikan.

Sementara Plt Ketua DPRD, Abdul Rahman mengatakan, jalannya kerja rapat pimpinan menjadi terganggu karena jumlah anggota legislatif tidak memenuhi kuorum. Bahkan agenda penyampaian Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Wali Kota Malang yang seharusnya digelar pada Senin (3/9/2018) kemarin, terpaksa dibatalkan.

"Kami mau menganggarkan kan dibutuhkan kuorum. Atau penjadwalan kerja kami itu enggak bisa kalau enggak ada teman-teman. Mau paripurna sudah enggak bisa. Persyaratan untuk dijadikan kuorum tidak terpenuhi karena jumlah anggota." ujar Abdul Rahman kepada Tirto.

Hingga pukul 18.10 WIB, gedung DPRD Kota Malang tampak sepi dari aktivitas anggota dewan. Gedung parlemen yang terletak di Jalan Tugu No 1A tersebut hanya dipenuhi oleh awak media yang meliput, terutama di lantai satu.

Koordinator Badan Pekerja Malang Corruption Watch (MCW) Fachruddin mengapresiasi langkah KPK yang menindak kasus suap di daerah yang selama ini disuarakan publik. Namun, Fachruddin mendesak agar pemerintah pusat melakukan diskresi. Hal itu penting dilakukan mengingat anggota DPRD Kota Malang hanya tersisa lima orang, sehingga tidak dapat menjalankan kerja-kerja legislatif dan dapat mengakibatkan pemerintahan daerah menjadi stagnan.

“Harus ada diskresi. Kalau sebelumnya Kemendagri sudah diskresi tahap perdana termasuk mengganti Ketua DPRD, maka diskresi kedua harus menyelesaikan persoalan kourum,” kata Fachruddin.

Infografik CI DPRD Malang Lumpuh

Konteks Kasus

Kasus ini bermula dari pembahasan APBD-Perubahan Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015. KPK menyelidiki kasus ini sejak Agustus 2017. Dalam penyelidikan, KPK menemukan bukti permulaan korupsi. Kasus pun naik ke tingkat penyidikan.

Sejumlah tempat kemudian digeledah KPK untuk menemukan bukti tambahan jejaring korupsi ini, termasuk rumah Wali Kota Malang periode 2013-2018, Mochamad Anton, yang terletak di Jalan Tlogo Indah, Kota Malang. Penggeledahan dilakukan pada 20 Maret 2018. Sehari setelahnya, KPK juga menetapkan Anton sebagai tersangka.

Bau busuk kongkalikong pejabat Malang terendus pada 6 Juli 2015, sebelum rapat paripurna. Ketika itu Wali Kota Malang Moch Anton, Wakil Wali Kota Malang Sutiadji, Kepala Dinas PUPPB Kota Malang Jarot Edy Sulistyono dan Ketua DPRD Kota Malang Moch Arief Wicaksono bertemu di ruang kerja Arief. Di sana, Arief meminta uang dengan istilah pokok-pokok pikiran alias pokir. Kesepakatan jahat itu terjadi: eksekutif akan memberi persekot, dan sebagai imbalan legislatif kudu meloloskan nominal anggaran yang diajukan.

KPK menyebut eksekutif Pemkot Malang itu menyuap agar DPRD menyetujui anggaran sejumlah proyek multiyears (tahun jamak), di antaranya proyek drainase dan Islamic Center yang tengah dalam proses pembangunan.

Pada 13 Juli 2015, Arief menerima uang yang dijanjikan. Jumlahnya Rp 700 juta, diantar suruhan Jarot Edy Sulistyono yang juga Kepala Bidang PUPPB Kota Malang bernama Teddy Sujadi Soeparna. KPK menyebut uang itu berasal dari Anton, namun dalam surat dakwaan terungkap duit berasal dari kontraktor di Dinas PUPBB. Uang itu juga tak diserahkan langsung oleh Jarot dan Cipto, tapi lewat perantara Kepala Bidang Perumahan dan Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum Tedy Sujadi Soemarna.

Setelah uang diterima, Arief menunda rapat DPRD yang membahas APBD-P yang sedianya diselenggarakan pada 14 Juli 2015 jadi 22 Juli 2015.

Dari uang Rp 700 juta itu, Rp 100 jutanya diambil Arief, sisanya dibungkus dalam kardus dan dibagikan ke anggota DPRD. Wakil Ketua DPRD dan Ketua Fraksi mendapat jatah Rp 15 juta, sementara anggota biasa Rp 12,5 juta.

Akhirnya, pada 22 Juli 2015, DPRD Kota Malang menyetujui APBD-P yang telah diatur sedemikian rupa dan dituangkan dalam Keputusan DPRD Kota Malang Nomor 188/4/48/35.73.201/2015. Keputusan ini jadi dasar penerbitan Perda Kota Malang Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015.

Arief dan anggota dewan lain senang. Begitu pula dengan Anton dan sejawatnya di eksekutif, setidaknya sampai KPK melakukan sejumlah pemeriksaan dan satu persatu membuktikan peran mereka menyelewengkan uang negara.

Ketika ditetapkan sebagai tersangka, Moch Anton berstatus sebagai calon Wali Kota Malang. Dia diusung koalisi PKB, PKS dan Gerindra. Pilwalkot Malang sendiri akhirnya dimenangkan oleh Sutiaji dan Sufyan Edi Jarwoko.

Sebagai pemberi suap, Moch Anton disangka melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara selaku tersangka penerima suap, 18 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahu 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam kasus ini, Jarot Edy Sulistyono dihukum dua tahun delapan bulan penjara dan denda Rp100 juta subsider kurungan tiga bulan pada Selasa, 3 April 2018. Sementara Moch Anton divonis dua tahun penjara pada 10 Agustus 2018. Ia juga didenda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan dan dicabut hak politiknya selama dua tahun terhitung setelah menjalani masa hukuman.

Sedangkan Moch Arief Wicaksono sendiri dihukum paling berat, penjara lima tahun dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan dan pencabutan hak politik selama dua tahun setelah masa penahanan selesai.

Sementara 18 anggota DPRD lainnya masih menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, dan 22 anggota DPRD yang baru ditetapkan sebagai tersangka pada Senin (3/9/2018) kemarin masih mendekam di rumah tahanan KPK.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP APBD MALANG atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Abdul Aziz