tirto.id - Kongres Sarekat Islam (SI) menjelang akhir tahun 1920 itu berlangsung panas. Ada dua kubu besar yang terlibat perdebatan sengit, sebutlah kubu putih dan kubu merah. Kubu putih yang merupakan orang-orang dekat sang Ketua Umum SI, H.O.S. Tjokroaminoto, dimotori oleh Abdoel Moeis dan Agoes Salim. Sementara di kubu merah ada para tokoh SI cabang Semarang macam Semaoen serta Darsono.
Agenda kongres yang paling penting dibahas adalah mengenai disiplin partai. Gagasan ini dilontarkan oleh kubu putih, terutama Abdoel Moeis, yang menghendaki anggota SI tidak merangkap sebagai anggota organisasi politik lainnya. Sedangkan kubu merah menolak karena mereka juga berafiliasi dengan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), gerakan beraliran marxisme di Hindia Belanda (Indonesia).
Hingga kongres itu berakhir, belum ada kata sepakat yang dicapai oleh kedua kubu yang berseteru terkait penerapan aturan disiplin partai di SI tersebut.
“Membersihkan” Sarekat Islam
Wacana disiplin partai kembali diangkat dalam kongres SI berikutnya, yakni pada awal Oktober 1921 di Surabaya. Kubu Moeis semakin di atas angin karena didukung oleh orang-orang Muhammadiyah yang juga menjadi anggota SI, termasuk sang pendirinya, KH Ahmad Dahlan. Takashi Shiraishi (1997:314) dalam Zaman Bergerak bahkan menyebut Muhammadiyah sebagai “benteng pertahanan SI” saat itu.
Kebijakan disiplin partai tidak berlaku untuk orang-orang Muhammadiyah yang juga bernaung di SI. Muhammadiyah dianggap bukan organisasi politik, cenderung bergerak dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Berbeda dengan ISDV yang disebut kerap memperlihatkan kepentingan-kepentingan beraroma politis dalam gerakannya.
Keputusan tegas terkait disiplin partai baru diambil pada kongres SI pada pertengahan Februari 1923. Selain mengubah nama SI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), kongres ini juga mengumumkan pemecatan Semaoen dan kawan-kawan yang tetap tidak sepakat dengan penerapan disiplin partai.
Orang-orang pecatan ini lalu membentuk SI Merah yang kemudian berganti nama menjadi Sarekat Rakyat (M. Nasruddin Anshoriy Ch., Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan, 2008:108). Hubungan Sarekat Rakyat dengan ISDV pun kian mesra dan lahirlah Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1924 (G. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952:77).
Di sisi lain, Abdoel Moeis tersenyum puas karena berhasil mendepak orang-orang kiri demi terjaganya kemurnian SI.
Islam-Nasionalis Pembenci Komunis
Abdoel Moeis memang salah satu orang yang sangat gigih menentang komunisme dan telah ditunjukkannya selama proses “pembersihan” SI melalui gagasan disiplin partai. Ia sejak lama memang tidak suka dengan kehadiran ISDV yang dibawa Henk Sneevliet dari Belanda, yang kemudian mempengaruhi Semaoen dan kawan-kawan yang kala itu masih menjadi anggota SI.
Dalam berbagai kesempatan, Abdoel Moeis menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Sneevliet dan ISDV. Bahkan, dalam tulisannya yang dimuat di surat kabar Neratja (1917), ia menyebut bahwa Sneevliet seakan-akan dikirim ke Hindia Belanda untuk memecah gerakan rakyat yang selama ini menjadi diampu oleh SI.
“Ia [Sneevliet] berbahaya besar bagi kami dan tanah air kami,” tulis Abdoel Moeis sembari meminta kepada pemerintah di Batavia supaya menyingkirkan Sneevliet dari wilayah Hindia Belanda.
Melalui surat kabar lainnya pada tahun yang sama, Abdoel Moeis menunjuk langsung ke hidung Sneevliet dengan menuding bahwa orang Belanda inilah yang menjadi sumber kerusakan SI karena sangat masif mempengaruhi anggota-anggota SI cabang Semarang, terutama Semaoen.
Siasat infiltrasi seperti itu pula, lanjut Abdoel Moeis, yang juga diterapkan Sneevliet terhadap Vereeniging voor Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP), perhimpunan serikat buruh kereta api dan trem pimpinan Semaoen.
Dalam artikel yang dimuat pada 2 Oktober 1917 itu, Abdoel Moeis menulis, “SI Semarang masih kuat melekat pada Sneevliet, karena jiwanya SI Semarang adalah Semaoen, sedangkan tulang punggung Semaoen adalah Sneevliet.”
“Bukankah kita tahu [bahwa] penghidupan Semaoen ialah dari perkumpulan VSTP, sedangkan jiawanya VSTP adalah Semaoen,” lanjut Abdoel Moeis (Soewarsono, Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen, 2000:52).
Tulisan keras Abdoel Moeis itu termuat di Sinar Djawa, media propaganda milik VSTP yang dikelola langsung oleh Semaoen.
Diasingkan, Jadi Sastrawan
Meskipun membenci komunisme, Abdoel Moeis ternyata sangat dekat dengan kaum buruh, golongan rakyat yang selama ini menjadi basis utama gerakan kiri. Bagi Moeis, kaum buruh dan pekerja tak melulu harus lekat dengan aliran merah. Yang terpenting adalah tujuan gerakan itu, yakni menuntut keadilan.
Abdoel Moeis adalah Ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera (PPPB) yang memimpin pemogokan buruh besar-besaran di Yogyakarta pada 11 Januari 1922 (Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, 1984:263). Aksi mogok kerja massal itu dilakukan sebagai reaksi atas dipecatnya pekerja pribumi secara sepihak oleh pemerintah kolonial.
Tak hanya di Yogyakarta saja, aksi mogok kerja yang diprakarsai Abdoel Moeis meluas hingga ke daerah-daerah lain, termasuk Cirebon, Pekalongan, Semarang, Kedu, Rembang, Kediri, hingga Surabaya, dan melibatkan lebih dari 1.000 orang pekerja dari kaum buruh.
Selain menggerakkan kaum buruh di Jawa, Moeis dituding pula telah menyebabkan terjadinya kerusuhan di Toli-Toli, Sulawesi Tengah, pada 1919. Propagandanya disebut telah membuat kaum buruh di wilayah tersebut melakukan aksi mogok kerja hingga pecah huru-hara dan menyebabkan seorang pejabat Belanda tewas.
Abdoel Moeis juga dituduh telah menghasut orang-orang di tanah kelahirannya, Sumatera Barat, untuk menentang penerapan pungutan pajak. Pemerintah kolonial yang sudah tidak tahan akhirnya menangkap Abdoel Moeis pada 8 Februari 1922. Ia kemudian diadili dan harus menjalani hukuman pengasingan alias dibuang ke Garut, Jawa Barat.
Di Garut inilah, Abdoel Moeis yang dipaksa menyepi dari hingar-bingar pergerakan nasional, menghasilkan karya sastra yang kemudian melegenda, novel berjudul “Salah Asuhan”, pada 1928.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan kemudian terlibat perang melawan NICA/Belanda, Abdoel Moeis membentuk laskar perjuangan di Jawa Barat bernama Persatuan Perjuangan Priangan, untuk turut membantu mempertahankan kemerdekaan.
Putra daerah Minangkabau ini meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959, tepat hari ini 61 tahun lalu. Abdoel Moeis adalah Pahlawan Nasional Indonesia pertama yang gelarnya langsung ditetapkan Presiden Sukarno kurang dari dua bulan setelah ia menutup mata.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 Juni 2017 dengan judul "Sepak Terjang Abdoel Moeis yang Anti-komunis". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan