tirto.id - Hampir setiap berhadapan dengan Thailand, Timnas Indonesia sering seperti diajari cara bermain bola yang benar. Siang itu, Tony Sucipto berusaha memberikan penjelasannya kepada saya. Tangannya mempraktikkan perbedaan cara bermain Thailand dan Indonesia.
“Thailand itu mainnya tep, tep, tep, tep,“ kata Toncip, sapaan akrab Tony Sucipto, sambil mempraktikkan dengan kedua tangannya. “Kalau Indonesia itu blas, blas, blas, tetapi 75 menit sudah habis.”
Ia menambahkan, “Thailand bisa main lebih sabar. Namun, mereka juga bisa meledak, meski hanya sekejap. Blas, blas, blas. Selesai.”
Kata “tep” dan “blas” memang tak mempunyai makna harfiah. Meski begitu, lewat gerakan Toncip, saya bisa dengan mudah memahami penjelasannya.
Pikiran saya mundur ke belakang ketika timnas Indonesia bertanding melawan Thailand pada semifinal SEA Games 2015. Saat itu pertandingan sudah berlangsung lebih dari 75 menit dan Indonesia tertinggal 0-4.
Menjelang menit ke-89, pemain-pemain Thailand melakukan build-up serangan dari lini belakang. Seperti kata Toncip, mereka memainkan bola dengan amat sabar. Tep, tep, tep. Namun, setelah bola sampai di lini tengah, kecepatan umpan pemain-pemain menjadi lebih cepat. Ada umpan satu-dua sentuhan. Ada umpan kombinasi yang menawan. Dan, setelah bola sampai di daerah pertahanan Indonesia, kecepatan umpan itu disetel mentok hingga gigi empat. Blas, blas, blas.
Maka, bola sampai di kaki Chanathip Songkrasin, pemain andalan Thailand, di dekat kotak penalti Indonesia. Ia lalu membidikkan bola ke sudut kanan gawang dengan kaki kirinya. Teguh Amiruddin, kiper Indonesia, berusaha sekuat tenaga untuk melakukan penyelamatan tapi gagal: Indonesia 0, Thailand 5.
Gol itu benar-benar berkelas. Gol itu berlangsung lewat 22 operan yang tak terputus, dari lini belakang hingga lini depan. Gol itu juga hampir melibatkan semua pemain Thailand, termasuk kiper.
Sementara pemain-pemain Indonesia tak tahu bagaimana cara membendungnya. Kelelahan dan tampak seperti sekelompok ayam yang tak tahu jalan pulang karena hari sudah gelap.
“Menurut Tony, skill dan kualitas individu pemain-pemain kita sebenarnya tak kalah dari Thailand. Kita juga punya kecepatan. Tetapi pola permainan kita jauh tertinggal,” ujar Toncip, menyadarkan lamunan saya.
Dan kelak, di ujung percakapan kami, Anda bisa tahu mengapa Toncip berkata seperti itu.
Sriwijaya FC, Persija, Persib Bandung, dan Bonek
Tony Sucipto lebih senang menyebut namanya sendiri sebagai kata ganti orang pertama. Bagi sebagian orang, gaya bahasanya itu terdengar kekanak-kanakan, atau mungkin kenes. Namun, saya justru mempunyai pendapat lain: Ia sebenarnya berusaha untuk menghormati lawan bicaranya. Setidaknya perjalanan kariernya sejauh ini bisa menceritakan semuanya.
Kisah Toncip bermula dari Kota Surabaya. Toncip mengisi masa kecilnya bermain bola di jalanan, sampai akhirnya ia membaca koran dan mendapatkan sebuah petunjuk untuk menjadi pemain sepakbola profesional. Saat itu ia berusia 11 tahun.
“Pas baca koran, ada sebuah SBB di Surabaya. Namanya Indonesia Muda. Bejo Sugiantoro, Anang Ma’ruf, hingga Sujatmiko jebolan dari SSB itu. Mengapa bakat Tony tidak disalurkan di situ?”
Toncip kemudian masuk Indonesia Muda dan mendapatkan dukungan penuh dari orangtuanya. Terlebih, almarhum ayah Toncip sempat bercita-cita menjadi pesepakbola. Tetapi, karena kakek dan nenek Toncip melarang, ayahnya gagal menjadi pesepakbola.
Tak ingin kejadian yang menimpanya berulang, ayahnya mendorong penuh Toncip: antar-jemput latihan sepakbola menjadi sama pentingnya dengan membuat dapur rumah tangga tetap ngebul.
Berkat dukungan orangtuanya dan kerja keras, karier Tony menanjak setapak demi setapak. Dari SSB Indonesia Muda, ke Liga Bogasari U-15, ke Timnas U-17, hingga akhirnya ia mampu menjadi pemain profesional saat dipinang Persijatim pada 2004.
Toncip mulai mendapatkan perhatian dari publik sepakbola Indonesia saat ia membela Sriwijaya FC pada musim 2007. Saat itu ia berhasil mempersembahkan dua gelar untuk Sriwijaya FC, gelar liga musim 2007-2008 dan gelar Piala Indonesia 2007-2008. Namun, jauh hari sebelum itu terjadi, seperti klubnya, ia sebenarnya sempat diremehkan banyak orang.
“Kalau lawan Sriwijaya,” kata Tony, “tim lain pasti meremehkan: ‘Ah, tidak usah [lihat] kondisi. Main santai saja.’”
Lawan-lawan Sriwijaya FC mempunyai alasan untuk berlagak seperti itu. Saat itu Sriwijaya FC terbilang klub bau kencur: langsung berkompetisi di divisi tertinggi Liga Indonesia karena pemerintah Sumatera Selatan mengakuisisi Persijatim pada 2005. Hasilnya: Sriwijaya seringkali dibuat babak belur oleh tim lawan.
Pada musim perdananya, Sriwijaya pernah hanya memperoleh satu angka dalam 8 pertandingan berurutan. Pada musim 2006, mereka pun hanya menjadi penghuni papan bawah.
Lantas, datanglah Rahmad Darmawan pada awal musim 2007. Skuat Sriwijaya dirombak total, hanya Tony Sucipto, Ferry Rotinsulu, dan Wijay yang dipertahankan. Kabar miring pun terdengar: mereka bertiga dipertahankan untuk pantas-pantas saja.
Namun, Toncip, Wijay, dan Ferry justru menjadi andalan Sriwijaya FC. Saat nama-nama seperti Charis Yulianto, Zah Rahan, Carles Renato Elias, hingga Keith Kayamba Gumps menjadi bintang, ketiga pemain itu merupakan ruh tim. Mereka adalah alasan mengapa Sriwijaya FC tak kehilangan identitasnya.
Dari sana, karier Toncip semakin terang. Rahmad Darmawan selalu mempercayainya, dan kemana pun Rahmad Darmawan pergi, Toncip selalu direkomendasikan untuk direkrut.
“Apakah Rahmad Darmawan pelatih yang berpengaruh dalam karier Mas Tony?” tanya saya.
“Bisa dibilang begitu. Tony banyak belajar cara bermain dari beliau. Selain itu, saat di luar lapangan, beliau juga tidak ikut campur urusan pemain. Apa pun yang kita lakukan, beliau akan diam, karena pemain seharusnya tahu baik dan buruknya dari sebuah tindakan. Namun, saat di dalam lapangan, ia selalu mendorong para pemainnya untuk memberikan semua kemampuannya.”
Selepas bermain untuk Sriwijaya, Toncip hanya memperkuat dua klub: Persija dan Persib Bandung.
Ia bermain untuk Persija pada musim 2010-2011, pindah ke Persib dari musim 2011-2018, lantas pindah lagi ke Persija menjelang Liga 1 2019.
Mengingat rivalitas antara Persija dan Persib begitu intens, bermain untuk kedua klub itu secara bergantian tentu tidak mudah. Namun, Toncip menganggap tekanan dari suporter karena pindah ke klub rival merupakan konsekuensi dari pemain profesional.
“Rivalitas itu terjadi di kalangan suporter. Kalu Tony, asalkan ada yang membuhkan tenaga Tony, mengapa tidak?,” ujarnya.
Ia bisa memakluminya. Ia tahu suporter berhak menuntut karena perjuangan yang mereka lakukan terhadap klub. Menurutnya, menjadi pemain ke-12 bisa berarti bahwa “panas-panasan di stadion, mengobarkan waktu dan tenaga, sekaligus menjual jiwanya untuk klub.”
Dan Toncip pernah melakukan itu semua saat ia sering diajak almarhum ayahnya untuk menonton Persebaya.
“Tony awalnya dulu dari suporter. Apa yang suporter pernah lakukan, aku juga pernah lakukan. Aku ini Bonek. Kalau orang Surabaya, ya pasti dukung Persebaya. Tapi sampai sekarang malah belum pernah main untuk Persebaya,” katanya, diikuti tawa.
“Kalau ada kesempatan, mau main di Persebaya?”
“Kita, sih, tidak tahu. Aku tidak mau berpikir ke depan dulu. Kalau saat ini main di Persija, ya, fokusnya untuk Persija dulu.”
Pemain Multi-Fungsi
“Waktu di Persijatim bermain di posisi mana?” tanya saya.
“Awal mula menjadi salah satu stopper dalam formasi tiga bek, bisa di kanan atau di kiri. Tugasnya, ya, mengawal penyerang lawan. Ke mana pun mereka pergi harus diikuti. Man-to-man marking.”
“Itu posisi asli?”
“Tidak. Tony tidak tahu posisi aslinya mana. Aku tidak pernah mau main di satu posisi. Selama dipercaya pelatih, di mana pun posisinya, ya, harus siap. Yang penting bisa membantu tim.”
Sebagai stopper debutan di Liga Indonesia, Toncip langsung mendapatkan tantangan berat: ia harus mengawal penyerang-penyerang tangguh. Terlebih, posisi penyerang biasanya ditempati oleh pemain asing. Para bek menguji kemampuan, kecerdikan, jago diving, hingga kepintaran penyerang memprovokasi agar menurunkan mental bertanding.
Yang menarik, Toncip ternyata tak gentar menghadapi tantangan seperti itu. Dan dari semua penyerang yang ia hadapi, Toncip mengaku hanya Emanuel De Porras [Persija Jakarta] satu-satunya penyerang yang bisa membuatnya geleng-geleng kepala.
“Dia [De Porras] sangat kuat, juga ngotot. Hajar, jatuh, bangun, hajar lagi, jatuh lagi, bangun lagi. Secara sportif, ya, menghajarnya. Dari sana, Tony jadi mikir: ini penyerang keren banget. Kelas.”
Posisi Toncip sebagai stopper kemudian mulai bergeser saat Peter Withe menangani timnas SEA Games pada 2005. Waktu itu Toncip dimainkan sebagai full-back kiri dalam formasi empat bek. Namun, sekitar dua tahun setelah itu, saat ia bermain untuk Sriwijaya FC di bawah asuhan Rahmad Darmawan, Toncip menjadi pemain multi-fungsi: ia kadang bermain sebagai full-back kiri maupun full-back kanan, tapi lebih sering dipercaya sebagai gelandang bertahan. Hebatnya, ia tak kikuk sedikit pun dengan perubahan posisinya itu.
“Dalam sepakbola, bermain di posisi mana saja itu sebetulnya sama. Yang penting harus paham posisi. Sebagai penyerang harus bagaimana, gelandang bagaimana, sebagai bek harus bagaimana. Kita harus ada imajinasi sama contoh. Kalau main di posisi gelandang biasanya Steven Gerrard menjadi contoh, kalau sebagai bek kanan, ya, Dani Alves,” ujarnya.
Bermain di berbagai macam posisi tidaklah mudah bagi seorang pemain. Selain pemahaman posisi, kaki terkuat juga akan sangat berpengaruh. Karena pemain yang gemar menghabiskan waktu luang untuk menonton film di bioskop itu akhir-akhir ini seringkali bermain sebagai full-back kiri, saya penasaran: “Apakah kaki kiri merupakan kaki terkuat Mas Tony?”
Tony lantas menjawab bahwa kaki kiri sebetulnya bukan kaki terkuatnya. Ia sebenarnya belajar menggunakan kaki itu karena musibah. Suatu kali, engkel kaki kanannya cedera parah. Dari sana, ia kemudian ingat pesan yang pernah disampaikan oleh almarhum ayahnya.
“Ayah pernah bilang, ‘Kamu kalau bisa jangan cuma pakai kaki kanan. Kamu harus belajar pakai kaki kiri juga. Pasti suatu saat itu akan berguna.’ Nah, setelah cedera itu, aku baru belajar menggunakan kaki kiri. Sampai sekarang malah lebih kuat pakai kaki kiri meski masih bisa pakai kaki kanan.”
Toncip juga menceritakan pengalamannya sewaktu menjalani pelatihan Asian Games di Belanda. Ia mengisahkan bagaimana musim dingin tiba, istimewanya fasilitas latihan, hingga terlihat kakunya pemain-pemain bola Belanda.
Namun, dari semua pengalamannya itu, hanya satu hal yang benar-benar mematung dalam ingatannya: sebuah sesi latihan yang diterapkan oleh Foppe de Haan, pelatih timnas Indonesia saat itu.
“Hari itu latihan gim, tapi hanya berlangsung sekitar 10-15 menit. Kata De Haan: ‘Kalian main seperti ayam yang baru dikasih makan,’” ujar Toncip.
Toncip menjelaskan maksud ucapan de Haan. Saat itu ia dan rekan-rekan hanya fokus terhadap bola, tidak peduli ruang maupun posisi pemain lawan. Bola ke sana, mereka kejar. Bola ke mari, mereka juga kejar. De Haan geleng-geleng kepala. Pelatih yang pernah berhasil membawa timnas U-21 Belanda menjadi jawara Eropa itu kemudian sadar bahwa kualitas umpan yang buruk membuat pemain-pemain Indonesia bermain seperti itu.
Hari-hari yang membosankan pun tiba: seperti anak-anak SSB, pemain-pemain Indonesia diajari bagaimana caranya melakukan umpandengan baik dan benar.
“Kalau di sini, umpan bisa sampai terus dapat dikontrol dengan baik itu sudah dianggap benar. Padahal umpan itu punya pesan. Kadang keras, kadang pelan, tergantung posisi pemain lawan juga. Mengapa umpan diarahkan ke kaki kiri? Mengapa umpan harus diarahkan ke kaki kanan? Itu semua ada maksudnya,” kata Toncip, sambil menunjuk tiang bendera di depan kami, mengibaratkan tiang itu sebagai sasaran umpan.
Toncip memperkaya bahasannya itu sampai ke ranah pola permainan, bahwa umpan itu sebetulnya bisa sangat berpengaruh terhadap pola permainan sebuah tim. Dari sana, ia mulai membicarakan timnas Thailand, tentang bagaimana cara pemain-pemain Thailand dalam mengumpan hingga level cara bermain Thailand yang sudah berjarak amat jauh dengan Indonesia.
Saya hanya bisa mengangguk. Tersenyum. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul empat sore. Itu artinya, ia harus segera latihan dan pembicaraan menarik ini juga harus disudahi.
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Fahri Salam