tirto.id - Fredrich Yunadi berang. Ia tak terima dengan vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 500 juta yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, terkait kasus merintangi penyidikan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik yang melibatkan Setya Novanto.
Yunadi tak terima caranya membela Novanto saat menjalani penyidikan, dianggap salah oleh majelis hakim. “Siapa pun nanti yang memperjuangkan kliennya akan dijerat dengan Pasal 21 [UU Tipikor],” kata Fredrich usai menjalani sidang, Kamis (28/6/2018).
Yunadi kian bersungut-sungut. Putusan hakim itu dianggapnya membunuh profesi advokat. “Apakah koruptor tak boleh didampingi advokat?” lanjut Yunadi.
Ia lantas mengajak Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) untuk menolak klien yang terjerat perkara korupsi.
“Saya akan bicara dengan teman-teman advokat lainnya. KAI atau Peradi. Lebih baik advokat memberikan sikap tidak membela perkara korupsi. Kami akan deklarasi tidak akan membela. Jadi silakan mencari pembela lain di luar Peradi maupun KAI. Nanti ndak perlu lagi lah advokat untuk membela korupsi dalam hal ini,” kata Yunadi. “Silakan koruptor bela diri sendiri. Kami advokat tidak akan membela.”
Peradi: Cara Fredrich Membela Novanto Memang Salah
Ajakan Yunadi kepada advokat untuk tak membela koruptor tak lepas dari kasus yang menimpanya. Selama menjadi pengacara Setya Novanto, Yunadi membuat sejumlah tindakan yang kemudian dikualifikasi KPK sebagai upaya merintangi penyidikan.
Menurut Lamria Siagian, Wakil Sekretaris Jenderal DPN Peradi Kubu Luhut MP Pangaribuan, cara yang dilakukan Fredrich saat membela Novanto justru berpotensi mencederai profesi advokat dan melanggar sumpah advokat. Ia mencontohkan pemesanan kamar di Rumah Sakit Permata Hijau yang dilakukan Fredrich sebelum Novanto kecelakaan.
“[Itu] bukanlah bagian dari pembelaan. Begitu pula dengan kecelakaan yang menimpa Novanto diduga sarat dengan rekayasa,” kata Lamria kepada Tirto, Jumat (29/6/2018).
Lamria menyitir sejumlah Pasal 4 Ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Advokat. Dalam pasal tersebut dijelaskan advokat harus mematuhi Undang-undang dan Pancasila, tidak memberikan atau menjanjikan apa pun kepada instansi peradilan demi memenangkan perkara, memberikan jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan, menjaga perilaku, serta melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara.
Pendapat serupa dikatakan Luthfi Hakim, Wakil Ketua Umum Peradi Kubu Juniver Girsang. Ia menganggap, vonis yang diberikan hakim kepada Yunadi berkaitan dengan cara Yunadi membela klien, bukan terkait status sebagai advokat. Ia menyindir kasus advokat yang menyuap pegawai Mahkamah Agung, yang pernah melibatkan Mario Bernardo, advokat sekaligus keponakan Hotma Sitompul, serta Awang Lazuardi.
“Yang didakwakan kepada rekan Fredrich Yunadi itu bukan tentang posisinya selaku penasihat hukum terdakwa, tetapi tentang tata cara dia menjalankan profesinya selaku penasihat hukum,” kata Luthfi kepada Tirto.
Hanya Sensasi Tak Berdasar
Selain masalah cara, ajakan Yunadi kepada advokat untuk tak membela tersangka atau terdakwa kasus korupsi sebenarnya tak punya dasar. Luthfi menyebut advokat terikat sumpah profesi untuk membela klien.
“Lah wong kami itu punya sumpah sebagai advokat untuk membela orang tanpa memandang berbagai hal, sepanjang kami punya keyakinan untuk dibela,” kata Luthfi.
Pendapat ini juga dikuatkan Fauzie Yusuf, Ketua Umum Peradi Kubu Otto Hasibuan. Fauzie mengatakan advokat tidak boleh menolak perkara yang datang kecuali sejak awal sudah menolak.
“Fredrich Yunadi boleh dia ngomong seperti itu, tapi semua orang berhak mendapat bantuan hukum dan itu merupakan hak asasi dan advokat tidak boleh menolak perkara,” kata Fauzie kepada Tirto.
Fauzie menerangkan, pendampingan hukum terhadap seseorang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Advokat, dan Kode Etik Advokat. Dalam undang-undang disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk dibela.
Selain itu, fungsi dan tugas advokat di seluruh indonesia adalah membela. Apabila seorang advokat menolak membela dengan alasan tertentu, termasuk tidak mau membela koruptor, sang advokat bisa dikenakan permasalahan etik. “Walaupun dia [advokat] tidak dibayar honornya, [klien] tetap harus dibela [saat advokat menyetujui membela],” kata Fauzie.
“Jadi pertimbangan [Yunadi] tidak bisa digeneralisasi,” kata Fauzie menegaskan.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjamin KPK tidak akan memperkarakan advokat selama proses pembelaan yang mereka lakukan sesuai dengan koridor, yang dalam hal ini tidak menghalangi penyidikan.
“Membela koruptor enggak ada risiko dari sisi pidana karena itu dijamin UU. Berisiko itu kalau menghalangi kerja-kerja KPK, sebagaimana dicantumkan dalam UU. Pasal 21 itu kan unsurnya menghalangi-halangi, bukan mendampingi,” kata Saut kepada Tirto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih