Menuju konten utama

Sengketa Pulau Pari: Warga Gagal Bertemu Pejabat BPN

Warga Pulau Pari gagal bertemu pejabat BPN karena alasan rapat.

Sengketa Pulau Pari: Warga Gagal Bertemu Pejabat BPN
Ilustrasi demo nelayan Pulau Par. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Warga Pulau Pari kembali melakukan aksi unjuk rasa di depan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Rabu (5/9/2018). Mereka berharap bertemu dengan pejabat Direktorat Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah.

“Kami malah dipertemukan dengan bagian Tata Usaha,” ujar koordinator warga Pulau Pari, Edy Mulyono, ketika dihubungi Tirto, Kamis (6/9/2018).

Dalih, lanjut Edy, mereka tidak menemui warga dengan jajaran pejabat tersebut karena pejabat sedang ada rapat dan tidak ada di lokasi.

Edy mengatakan pihak BPN akan menindaklanjuti temuan Ombudsman Republik Indonesia soal penyimpangan dan maladministrasi dalam kasus Pulau Pari yakni dalam penerbitan 62 Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 14 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di Pulau Pari.

Pria yang juga menjadi Ketua RT 01 itu menyatakan warga akan kembali berunjuk rasa pada Senin (17/9/2018) di Balai Kota DKI Jakarta dan menyurati DPRD Provinsi DKI Jakarta dengan tuntutan kembalikan peruntukan Pulau Pari menjadi kawasan pemukiman dan berikan hak kelola untuk masyarakat.

Pada penyimpangan SHM, penerbitan 62 SHM tidak mengikuti prosedur yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat 1, 2, 3, dan 4 serta Pasal 26 Ayat 1, 2, dan 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Penyalahgunaan wewenang ini menyebabkan monopoli kepemilikan hak atas tanah dan peralihan fungsi lahan di Pulau Pari dan bertentangan dengan Pasal 6, 7, dan 13 Ayat 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Sementara itu, terkait penerbitan 14 SHGB, penerbitan itu bertentangan dengan Pasal 6, 7, dan 13 Ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; Pasal 2 Huruf g Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Pasal 171 Ayat 1 dan ayat 2 huruf e Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030; Ketentuan Pasal 10 Ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Sehingga terjadi pengabaian fungsi sosial tanah, adanya monopoli kepemilikan hak, mengabaikan kepentingan umum dalam pemanfaatan ruang, melanggar RTRW (kawasan permukiman), serta melanggar asas-asas pemerintahan yang baik.

Baca juga artikel terkait SENGKETA LAHAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Yantina Debora