tirto.id - Linimasa media sosial sedang dipenuhi potret seorang balita yang sulit membuka mata akibat dipenuhi ruam di bagian mata dan dahi. Kalimat peringatan pada keterangan gambar itu terdengar sangat mengerikan. Sang balita mendapat ruam akibat digigit serangga berwarna hitam-oranye dengan ekor lancip yang mereka sebut sebagai 'Semut Charlie'.
Kata kunci ‘Semut Charlie’ langsung banyak dicari di mesin Google. Di sisi lain, Kementerian Informasi dan Informasi (Kominfo) telah mengonfirmasikan bahwa berita yang disebarkan adalah hoaks. Potret itu merupakan gambar lama seorang bayi dengan sindrom linear nevus sebaceous (penyakit akibat mutasi gen) yang pernah beredar namun kembali diramaikan. Sementara itu, serangga yang diklaim membikin ruam lebih populer disebut tomcat.
Serangga ini sejatinya merupakan golongan kumbang dengan nama latin Paederus spp. Curt. Setidaknya ada 600 spesies kumbang ini di dunia dan yang berada di Indonesia ialah Paederus fuscipes. Kumbang Paederus lebih dikenal dengan nama ‘rove beetle’ atau kumbang penjelajah karena selalu aktif berjalan-jalan. Masyarakat Indonesia sering menyebutnya tomcat, kemungkinan lantaran bentuknya sepintas mirip pesawat tempur Tomcat F-14.
“Tomcat memiliki hemolimfa berisi pederin, zat kimia iritan kuat, yang menimbulkan reaksi gatal dan rasa terbakar ketika kontak dengan kulit,” tulis Ahsol Hasyim, Pakar Hama Dan Penyakit Tanaman dalam laman Kementerian Pertanian.
Produksi pederin dalam tubuh Paederus bergantung pada keberadaan bakteri Pseudomonas sp. yang bersimbiosis dalam tubuh kumbang betina. Kumbang betina yang memiliki bakteri akan menghasilkan pederin lebih banyak dibanding kumbang yang tidak bersimbion dengan bakteri. Pederin disirkulasikan melalui darah di tubuh kumbang, sehingga mengalir melalui metamorfosis selanjutnya (telur, larva, pupa, dan kumbang dewasa).
Ketika terkena kontak dengan tomcat, kulit mulai mengeluarkan gejala ruam 12-36 jam pasca-kontak, dan iritasinya dapat bertahan hingga hitungan minggu. Hasyim menyarankan tindakan preventif untuk mengurangi cahaya, memasang kasa di jendela dan kelambu pada tempat tidur guna menghindari tomcat. Serangga ini cenderung berkumpul pada malam hari dan pergi ke arah cahaya.
Jika tomcat hinggap di permukaan kulit, pindahkan ke lembaran lain (seperti kertas) dengan perlahan. Segeralah cuci area tadi dengan sabun dan air mengalir. “Menepuk tomcat berpotensi menghasilkan lebih banyak cipratan toksin pederin pada permukaan kulit.”
Sebuah studi yang terbit di Jurnal Venom Anim Toxins (2015) menyebut bahwa Paederus lazim ditemui di wilayah tropis dan subtropis. Pengamatan yang dilakukan pada desa-desa di Pakistan ini menyimpulkan pada bulan Juli-Agustus, ketika musim hujan tiba, kumbang ini mencapai populasi puncak (36,2 persen). Sementara selama kemarau Mei-Juni, populasi Paederus berada di titik terendah (7,85 persen) karena kekeringan tanah.
Dari 980 penduduk desa yang diamati, sebanyak 26,4 persen menderita dermatitis karena kontak dengan Paederus. Gejala dermatitis kebanyakan ditemui di leher dan wajah. Sekitar 70 persen kasus iritasi tersebut berasal dari individu yang tinggal di desa pertanian. Rumah mereka kebanyakan (80 persen) rusak pintunya dan tak memiliki penutup jendela.
“91 persen kasus berada di desa atau kota kecil, lalu 24 persen kasus dari daerah kota,” tulis Shabab Nasir, dkk.
Dampak Perubahan Ekosistem
Surabaya dan Ponorogo pada 2012 lalu pernah dibuat geger dengan serangan tomcat skala besar. Wabah serupa kembali terulang di Surabaya dua tahun setelahnya. Selain Indonesia, negara lain yang pernah mengalami fenomena wabah tomcat adalah Okinawa-Jepang (1966), Iran (2001), Sri Lanka (2002), Pulau Pinang- Malaysia (2004 dan 2007), India Selatan (2007), dan Iraq (2008).
Kumbang Paederus memiliki ciri-ciri kepala hitam, sayap biru kehitaman dan hanya menutupi bagian depan tubuh. Ukuran tubuhnya berkisar 7-10 mm dan lebar 0,5-1,0 mm dengan bagian toraks dan abdomen berwarna orange atau merah.
Larva kumbang Paederus berkembang di daerah lembab seperti rawa-rawa, lahan pertanian beririgasi, dan lahan sawah. Metamorfosisnya berakhir ketika menjadi kumbang, keluar dari dalam tanah, dan hidup pada tajuk tanaman.
“Serangga ini predator serangga lain. Cukup potensial menjadi musuh alami hama pertanaman padi,” jelas Hasyim.
Kumbang Paederus biasanya memangsa kelompok hama wereng, antara lain wereng padi, wereng jagung, wereng kedelai, wereng kacang tanah dan kacang hijau. Ia juga memakan telur Helicoverpa armigera yang terdapat pada tanaman kacang-kacangan (terutama kedelai) dan cabai. Beberapa serangga hama kecil lain seperti kutu dan aphid juga masuk menjadi rantai makanannya.
Mirisnya, potensi menguntungkan tomcat sebagai pemusnah hama justru menjadi bumerang bagi manusia ketika perubahan ekosistem terjadi. Kiwari, daerah persawahan dan rawa yang jadi habitat Paederus banyak beralih menjadi pemukiman. Selain itu, penggunaan pestisida juga membikin populasi mangsa berkurang. Akibatnya, kumbang ini mengembara ke pemukiman penduduk untuk mencari mangsa lain.
Editor: Maulida Sri Handayani