tirto.id - Perempuan tua itu duduk di kursi rodanya saat memasuki ruangan upacara wisuda. Ia kemudian bangkit, dituntun oleh anak di sampingnya ketika beberapa orang menyalaminya dan memberinya selamat atas kelulusannya mendapat gelar sarjana.
Ia adalah Kimlan Jinakul, seorang nenek berusia 91 tahun dari Phayao, Thailand Utara. Pada Rabu (9/8/2017), ia diwisuda bersama ribuan mahasiswa lain yang jauh lebih muda dibanding dirinya. Kimlan Jinakul mendapat gelar sarjana dari Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat setelah menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun untuk belajar.
Sang nenek mengambil studi Human Ecology, sebuah studi mengenai pembangunan manusia dan keluarga. Kimlan tertarik mengambil kuliah di Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat University ketika usianya sudah 72 tahun, bersama salah seorang putrinya yang kuliah di universitas yang sama.
Studi Kimlah terhenti beberapa tahun setelah putrinya meninggal dunia. Ia baru melanjutkan lagi kuliahnya saat berusia 85 tahun.
"Tidak pernah terlambat untuk belajar. Pikiran saya selalu bangun untuk belajar. Setelah pulih dari kesedihan dan kehilangan putri saya, saya mendorong diri sendiri untuk menyelesaikan program studi ini dengan harapan roh putri saya senang," ungkapnya kepada BBC.
Baca juga: A.H. Nasution dan Tan Malaka, Alumni Sekolah Guru
Mahasiswa yang diwisuda saat berusia lanjut juga ada di Indonesia. Tahun 2014 lalu, Universitas Padjajaran telah meluluskan wisudawan Hermain Tjiknang, saat berusia 91 tahun 7 bulan.
Setelah melalui proses yang panjang, Hermain pun berhasil meraih gelar Doktor pada Sidang Terbuka Promosi Doktor pada 17 Januari 2014 lalu. Disertasinya berjudul “Perlindungan Hukum Atas Pekerja Alih Daya (Outsourcing) Berdasarkan Keadilan dalam Perselisihan Hubungan Industrial Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak”.
Di usia yang tidak lagi muda, ia mampu menyelesaikan program Doktornya dalam waktu 5 tahun. Namun, ia mengakui banyak kendala yang ditemui tatkala menyelesaikan disertasinya.
“Disertasi saya sampai 7 kali direvisi oleh promotor. Namun, saya tidak bisa berhenti mencari ilmu. Sebagai seorang dosen wajib untuk menambah ilmu lalu menuangkannya kembali ke para mahasiswa. Meskipun sudah tua, jangan lupa belajar,” cerita Hermain.
Sebelumnya pada 23 November 2010, Unpad juga mewisuda Siti Maryam Salahuddin yang meraih gelar doktor pada usia 83 tahun.
Sementara, pemilik Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo pernah tercatat sebagai peraih gelar doktor tertua di Indonesia menurut Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) ketika lulus S3 dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2007, atau ketika berusia 79 tahun. Jika tidak ada data baru lagi, maka Hermain Tjiknang adalah peraih gelar doktor tertua di Indonesia saat ini.
Baca juga: Berburu Beasiswa LPDP
Motivasi Orang Tua Melanjutkan Sekolah
Kebanyakan orang yang sudah berusia lanjut tidak lagi banyak beraktivitas, dan hanya ingin menikmati masa-masa tuanya. Hanya segelintir orang yang masih gigih untuk mencari ilmu setinggi-tingginya, seperti contoh di atas.
Sri Sukaesih, seorang magister pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia yang kini menjadi dosen di Universitas Negeri Semarang menjelaskan kepada Tirto bahwa secara umum terdapat beberapa alasan berbeda yang memotivasi seseorang untuk melanjutkan kuliah.
Beberapa di antaranya adalah untuk meningkatkan karier atau jabatan, tuntutan lembaga tempat seseorang tersebut bekerja, mencapai keinginan pribadi untuk memenuhi target tertentu, dan semangat belajar tinggi dalam memperdalam bidang keilmuan yang dimiliki.
“PNS, terutama dosen yang berstatus PNS memang dituntut untuk melanjutkan kuliah sampai dengan doktoral. Bagi mereka pribadi, kuliah adalah salah satu persyaratan untuk naik jabatan dan naik gaji, sedang bagi lembaga atau kampus sendiri, status tersebut diperlukan untuk kebutuhan akreditasi universitas. Semakin banyak dosen yang jadi doktor, tentu akreditasi kampus menjadi semakin tinggi,” terang Sukaesih.
Namun, menurut Sukaesih, melanjutkan kuliah tidak hanya semata-mata untuk meningkatkan jabatan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi juga kepuasan dan semangat pribadi untuk mengejar target seorang pembelajar dalam memperdalam keilmuan yang ia miliki.
“Teman saya, seorang dosen matematika bahkan melanjutkan kuliah doktoralnya di usianya yang ke-60. Setelah lulus wisuda, ia hanya sempat melakukan pengabdian (mengajar di universitas) selama setahun, dan setelahnya beliau diharuskan pensiun,” cerita Sukaesih.
Terlepas dari hal tersebut, Sukaesih juga menjelaskan bahwa pendidikan tetap merupakan satu hal penting untuk dilakukan sepanjang hidup, baik itu mendapat gelar ataupun tidak. Karena sejatinya pendidikan adalah proses belajar seseorang untuk mempertinggi kualitas hidupnya sebagai manusia.
Baca juga: Menggugat Full Day School
Sarjana di Indonesia
Di ranah pendidikan formal, Hermain Tjiknang dan Kimlan Jinakul adalah sosok yang mempunyai semangat dalam menempuh Pendidikan Tinggi. Pendidikan Tinggi sendiri menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikan tinggi ini diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi.
Program sarjanamerupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah.
Di Indonesia sendiri tidak ada batasan umur untuk melanjutkan Pendidikan Tinggi. Sama seperti Hermain Tjiknang dan Mooryati Soedibyo yang masih bisa melanjutkan pendidikan saat sudah lanjut usia.
Hanya saja, terdapat aturan khusus untuk bidang studi yang terkait dengan pengabdian masyarakat. Misalnya untuk Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, batas usia peserta maksimal dihitung saat mulai pendidikan pascasarjana (S2) adalah maksimal 35-40 tahun, (bergantung program studi yang diminati). Hal tersebut bertujuan agar setelah menempuh masa studi, mahasiswa dapat melanjutkan pengabdian masyarakat, dalam hal ini sebagai dokter, sebelum masa pensiun.
Yang diatur di Indonesia adalah batas lama belajar atau masa studi maksimum Perguruan Tinggi. Masa studi dan beban belajar penyelenggaraan program pendidikan tersebut diatur dalam Pasal 16 Permenristekdikti 44 tahun 2015.
Dalam aturan tersebut ditentukan bahwa untuk D1 masa studi adalah selama dua tahun akademik dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 36 SKS. Untuk D2, paling lama tiga tahun akademik, dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 108 SKS. Sedangkan untuk program sarjana, paling lama tujuh tahun, dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 144 SKS. Untuk program magister, paling lama empat tahun akademik, dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 36 SKS, dan untuk doktor, paling lama tujuh tahun akademik dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 42 SKS.
Seorang mahasiswa dapat dihentikan studinya atau drop out apabila tidak memenuhi ketentuan akademik yang ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Untuk itu, kita perlu melihat lagi pada peraturan akademik masing-masing perguruan tinggi.
Baca juga: Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita
Seperti yang dikatakan oleh Sukaesih, seorang PNS akan dibebani tugas belajar atau tugas melanjutkan pendidikan. Hal ini dilakukan dalam rangka mengembangkan potensi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.
Terkait hal tersebut, terdapat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.
Dalam peraturan tersebut, batas usia maksimal pegawai pelajar adalah 25 tahun untuk Diploma I, Diploma II, Diploma III, dan Sarjana atau Diploma IV, 37 tahun untuk Magister atau yang setara, dan 40 tahun untuk Doktor.
Aturan-aturan tersebut sejatinya merupakan usaha pemerintah untuk memberi semangat dan mendukung masyarakatnya melanjutkan pendidikan. Karena seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, pendidikan adalah hak segala bangsa. Terlepas dari kepentingan institusional dan upaya prestisius untuk mendapatkan gelar, pendidikan sejatinya adalah hal yang sudah seharusnya dinikmati seseorang sampai di akhir hayatnya.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti