tirto.id - Tiga tahun lalu, Mariana, 40 tahun, bingung saat harus memilih sekolah untuk putri keduanya. Sebab, buah hatinya adalah anak yang sulit menerima pelajaran di sekolah umum.
“Anaknya gampang bosan, jadi kalau dia mulai jenuh di kelas, dia pasti malas sekolah,” ungkap perempuan yang akrab dipanggil Ana ini.
Masalahnya, penurunan semangat ini membuat sang putri sering membolos dan nilai sekolahnya menurun. “Selain itu dia juga stres, kalau aku paksa, di rumah atau di sekolah pasti jadi banyak diam,” ujarnya.
Mulanya, Ana berpikir bahwa putrinya memiliki masalah di sekolah, entah itu dengan guru atau dengan teman. Namun kemudian ia sadar, jika sang anak tak hanya sekali-dua kali mengatakan tak suka dengan model belajar yang hanya mendengarkan dan mencatat. Putri Anak memang termasuk siswi yang aktif.
“Kebetulan di dekat rumahku ada sekolah alam. Aku penasaran, aku cari tahu tentang sistem pembelajaran sekolah alam, terus aku ke sana. Kok, enak sekolahnya, suasananya nyenengin,” tuturnya.
Setelah survei dan bertanya langsung kepada para guru, Ana pun mengajak anaknya untuk melihat langsung. Jadilah sang putri masuk sekolah tersebut.
Sejak itu, anak gadis Ana lebih mudah menangkap pelajaran. Sosialisasi dengan kawan-kawan di sekolah dan orang lain pun lebih baik daripada di sekolah sebelumnya. Yang pasti, putrinya jadi lebih bersemangat untuk sekolah.
Sejarah Sekolah Alam
Sekolah alam merupakan barang baru di dunia pendidikan Indonesia. Usianya mungkin baru sekitar satu dekade. Kepopuleran metode pembelajaran ini memang dimulai dari Inggris, tapi sebuah tulisan menyebut penggagasnya adalah orang Denmark.
Pada 1950, Ella Flatau mencoba menciptakan sebuah taman kanak-kanak pertama yang berada di hutan. Ide itu muncul karena ia kerap menghabiskan waktu bersama dengan anak-anaknya dan anak tetangganya di hutan terdekat. Akhirnya, ia mulai memasukkan jalan-jalan ke hutan sebagai bagian dari kurikulum dan menamai sekolahnya “Taman Kanak-Kanak Berjalan”.
Metode Flatau rupanya disambut hangat oleh para orangtua yang akhirnya mulai membujuk putra-putrinya untuk pindah ke perdesaan. Bentuk model pendidikan ini pun diadopsi oleh beberapa sekolah di Demark sekitar 1970-1980. Kini, lebih dari sepuluh persen taman kanak-kanak di Denmark berada di hutan atau alam terbuka lainnya.
Situs resmi Asosiasi Sekolah Hutan di Britania Raya membeberkan bahwa bentuk sekolah alam yang populer di Denmark itu menarik sekelompok calon perawat dan dosen di Bridgewater College, Somerset, pada 1993. Lalu mereka mempelajari sistem pendidikan tersebut dan mengembangkannya di Britania Raya.
Pada 2002, para praktisi menyelenggarakan konferensi nasional untuk merumuskan definisi Sekolah Hutan di sana, yaitu sebuah proses yang menawarkan kesempatan reguler kepada anak-anak, remaja, dan orang dewasa untuk menemukan dan mengembangkan kepercayaan diri melalui sebuah pengalaman belajar langsung di hutan setempat.
Melebarkan Ruang Gerak Anak
Seperti diberitakan The Guardian, sebagian besar orangtua memilih sekolah hutan karena ingin melihat putra-putrinya menikmati kebebasan di alam. Meski pada kenyataannya, ada juga bocah yang lebih menikmati permainan di dalam ruangan.
Namun, Emma Harwood, seorang guru sekolah dasar yang berpengalaman mengatakan bahwa pembelajaran di luar ruangan membawa dampak yang positif bagi para murid. Ia melihat ada perbedaan besar dalam kemampuan siswa menilai risiko dan mengambil keputusan.
Pernyataan Harwood ini dapat dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian yang dilakukan oleh Janine K. Coates dan Helena Pimlott-Wilson berjudul “Learning while playing: Children’s Forest School experiences in the UK” (PDF, 2018). Melalui sebuah wawancara semi-terstruktur dengan 33 anak, mereka berusaha menjajaki pengalaman anak dalam pembelajaran di kelas dan keterlibatan mereka di luar ruangan, serta sekolah alam. Wawancara tersebut menggunakan pertanyaan terbuka, sehingga mereka bebas membeberkan pengalamannya.
“Temuan menunjukkan bahwa perpaduan sekolah hutan dengan gaya pengajaran arus utama berkontribusi pada pengembangan keterampilan sosial, kognitif, emosional, dan fisik anak-anak melalui pengalaman belajar sambil bermain,” tulis Coates dan Pimlott-Wilson dalam laporannya.
Kepada The Guardian, Emma Harwood menyampaikan bahwa kemampuan itu bisa terbentuk karena dalam pembelajaran sekolah alam anak menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri. Selain itu, anak-anak juga diajarkan untuk menggunakan semua indera mereka.
Di alam bebas, anak akan terdorong untuk berpikir kreatif, sebab mereka akan menjumpai berbagai rintangan tak terduga. Anak akan memikirkan solusi dengan risiko minimal untuk menyelamatkan diri dari berbagai rintangan.
Editor: Windu Jusuf