tirto.id - Beberapa hari terakhir beredar dua video yang memperlihatkan adegan kekerasan fisik terhadap belasan pemuda yang masing-masing berdurasi 1 menit 48 detik dan 27 detik. Mereka berposisi tengkurap dipukuli menggunakan sandal. Ada yang dipukul di bagian badan, ada pula yang di kepala.
Beberapa ibu-ibu yang merekam mempertanyakan mengapa ada kegiatan seperti itu. “Eh, jangan kepala,” kata salah satu dari mereka. “Itu tentara, kah?” “Bukan, itu ada tulisan Pendidikan Ekonomi.”
Belakangan diketahui bahwa kejadian perpeloncoan itu terjadi di Pantai Nambo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo (FKIP UHO). Ketua Himpunan Pendidikan Ekonomi FKIP UHO, Ilon Saputra, membenarkan kejadian itu.
Awalnya ia meminta maaf kepada publik. Namun dia berdalih bahwa kegiatan itu semata-mata “untuk membentuk karakter dan mental adik-adik,” bukan untuk mencederai, kata Ilon dalam video klarifikasi, Rabu (3/3/2021),
Dalam video yang sama, ketua panitia kegiatan tersebut, Sahdan, dan perwakilan mahasiswa angkatan 2020 yang menjadi korban, Agung Darma Triadi, juga berkomentar. Komentar keduanya juga lebih seperti pembelaan diri dan normalisasi atas nama “karakter dan mental”.
“Jangan disalahartikan, karena video yang beredar hanya sepotong dari kegiatan yang kami lakukan,” kata Sahdan. “Video yang bereda itu bukan penganiayaan, tapi pembentukan karakter dan mental. Saya juga terima kasih kepada kakak-kakak saya, karena telah membentuk kegiatan tersebut. Dengan demikian terbentuk karakter dan mental kami sebagai mahasiswa,” tambah Agung.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengkritik keras kaderisasi model seperti ini. Menurut dia, “pembentukan karakter dan mental” tak bisa dibenarkan jadi alasan melakukan kekerasan.
Apalagi para mahasiswa itu notabene para calon guru. “Calon guru malah karakternya buruk. Bagaimana nasib anak-anak kita kalau dididik oleh guru-guru semacam ini?” kata Ubaid kepada wartawan Tirto, Kamis (4/3/2021) siang.
Kata dia kasus perploncoan kepada mahasiswa baru di perguruan tinggi selalu berulang setiap tahun. Ubaid ragu jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan kampus UHO tidak mengetahui kejadian ini. Oleh karena itu dia mendesak kasus segera diinvestigasi. “Siapa pun yang terlibat harus diberikan sanksi. Jangan-jangan bisa jadi ini adalah pembiaran. Kalau benar pembiaran, berarti semua pihak bisa saja terlibat.”
Para aktivis pendidikan dari luar bisa dilibatkan. “Tim investigasi harus independen, jangan orang dalam kampus [karena] nanti bisa bias. Melibatkan pihak-pihak dari luar kampus supaya bisa independen dan lebih obyektif.”
Menunggu Sanksi Kampus
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam mengaku sudah menghubungi sang rektor langsung agar ia melakukan investigasi dan kebijakan lanjutan yang tepat. “Menurut informasi dari rektor, kegiatan tersebut tidak berizin,” kata Nizam saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Kamis siang. Dia juga berpesan bahwa hal tersebut tak boleh terulang lagi.
Rektor Universitas Halu Oleo Muhammad Zamrun menjelaskan bahwa kegiatan tidak berizin tersebut berlangsung selama dua hari, 27-28 Februari lalu, dengan jumlah peserta mencapai 79 mahasiswa. Ia sudah memanggil dan menegur dekanat FKIP.
“Kami juga menegur panitia dan akan diberikan sanksi sesuai aturan. Panitia telah membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Dan jika di kemudian hari terjadi kesalahan serupa maka akan dikenakan sanksi yang lebih berat,” kata Zamrun saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis sore.
Zamrun mengatakan hingga dihubungi dirinya masih menunggu investigasi dari internal fakultas mengenai kejadian yang sebenarnya dan sanksi yang akan dijatuhkan kepada mahasiswa yang terlibat. “[Sanksi] akan ditetapkan oleh jurusan dan fakultas. Kami berusaha dan berkomitmen bahwa kampus harus bebas perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi,” katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino