Menuju konten utama

Sejumlah Pasal RKUHP Dinilai Bisa Mengkriminalisasi Kelompok Rentan

Sejumlah pakar hukum menilai RKUHP masih memuat banyak pasal yang berpotensi merugikan banyak kelompok rentan.

Sejumlah Pasal RKUHP Dinilai Bisa Mengkriminalisasi Kelompok Rentan
Massa yang tergabung dalam Jaringan Kerja Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (JANGKAR PKtPA) membentangkan poster saat menggelar aksi damai menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Surabaya, Kamis (15/2/2018). ANTARA FOTO/Moch Asim.

tirto.id - Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang direncanakan akan disahkan pada Agustus 2018, dinilai berpotensi mengkriminalisasi banyak kelompok rentan.

Pakar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Ni Made Martini Putri mencatat ada 8 pasal di RKUHP yang mengancam berbagai kelompok rentan, seperti warga miskin, perempuan, anak, indigenous people atau komunitas adat, minoritas seksual, minoritas agama dan minoritas lainnya.

Dia mencontohkan pasal 437 RKUHP mengatur pidana denda kategori II bagi warga yang tidak melaporkan data kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian. Menurut Ni Made, pasal ini tidak tepat sebab banyak warga tidak melapor karena terkendala faktor geografis dan biaya. Apalagi, selama ini banyak pasangan di rumah tangga miskin tidak memiliki akta nikah. Sebagian juga tidak memiliki akta cerai saat memutuskan berpisah dari pasangannya.

"Sudah miskin, dihukum pula. Harusnya pemerintah membuat layanan keliling pencatatan pendudukan. Pencatatan pendudukan adalah hak bukan kewajiban warga negara," kata Ni Made dalam sebuah diskusi panel di Jakarta, pada Kamis (3/5/2018).

Ni Made juga mengkritik pasal 446 RKUHP yang mengatur pidana penjara untuk perbuatan zina. Dia berpendapat banyak warga miskin dan minoritas agama lokal berpotensi dikriminalisasi oleh pasal ini sebab kalangan tersebut kerap kesulitan membuat surat nikah.

Ni Made juga menyoroti pasal RKUHP yang melarang aborsi aman. "Jika akses aborsi diperketat, akan muncul metode-metode aborsi ilegal yang tidak aman. Hal ini akan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi," kata Ni Made.

Pasal terkait pidana penghinaan agama di RKUHP, menurut Ni Made, juga berpotensi memenjarakan orang-orang yang menganut agama minoritas.

"Terdapat frasa 'Agama di Indonesia,' yang berarti agama yang dicatat oleh pemerintah. Ketika pasal ini mengatur tentang penghinaan agama minoritas, agama mana yang kemudian akan dijadikan tolak ukur penghinaan? Agama mayoritas, pastinya," kata dia.

Di acara yang sama, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah menilai RKUHP belum memberikan definisi jelas tentang kata "penghinaan" dan "agama". Dia khawatir definisi penghinaan agama kemudian berpatokan pada pendapat kelompok mayoritas.

"Dampaknya, negara mengabaikan hak-hak kelompok agama minoritas, bahkan juga hak pemeluk agama mayoritas dengan denominasi berbeda, misalnya syiah," kata Abdullah.

Direktur Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi menambahkan RKUHP juga masih melanggengkan diskriminasi sistem hukum Indonesia terhadap difabel. Eko mencontohkan penyandang disabilitas mental tidak seharusnya dianggap terbebas dari tanggung jawab pidana dan tidak bisa dimintai keterangan oleh penegak hukum.

"Ada penyandang disabilitas mental yang mampu bertanggung jawab [secara pidana dan bisa memberi kesaksian], siapa yang tahu itu? Psikiater dan psikolog [bisa memastikan]," kata Eko.

Dia juga menyayangkan RKUHP masih menyebut penyandang disabilitas mental sebagai “orang yang menderita”.

"Penyandang disabilitas bukan orang yang menderita, mereka orang yang berbeda. Dulu, undang-undang melihat penyandang disabilitas sebagai orang yang rusak fisiknya. Sekarang, undang-undang harus melihat mereka sebagai orang yang memiliki hambatan sosial," dia menambahkan.

Eko menjelaskan banyak penyandang disabilitas rentan menjadi korban tindak pidana. Namun sistem hukum di Indonesia belum memberikan keadilan pada kelompok rentan ini.

"Dalam undang-undang yang ada saat ini, tidak ada hak korban untuk memperoleh pendamping [dalam proses hukum], misalnya untuk memperoleh juru bahasa isyarat untuk rekan-rekan disabilitas [bisu]," kata Eko.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom