tirto.id - Perundingan Hoge Veluwe pada tanggal 14-24 April 1946 adalah salah satu upaya diplomasi yang ditempuh oleh pemerintah Republik Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Perundingan ini berlangsung di Belanda.
Hasil perundingan Hoge Veluwe (disebut juga Hooge Veluwe) tidak berujung pada kesepakatan di antara pemerintah Belanda dan Indonesia. Meskipun demikian, akibat perundingan Hoge Veluwe di tanah air cukup signifikan. Salah satu dampak perundingan Hoge Veluwe adalah perpecahan politik di Indonesia yang semakin bergolak.
Latar belakang perundingan Hoge Veluwe secara garis besar berkaitan dengan upaya Belanda yang berniat kembali berkuasa di Indonesia. Tak lama usai proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, tentara Sekutu tiba di tanah air dengan alasan melucuti senjata pasukan Jepang yang sudah kalah di Perang Dunia II.
Kedatangan tentara Sekutu di bawah komando Inggris itu ternyata diikuti oleh NICA (Netherlands-Indies Civil Administration). Itulah kenapa kehadiran Sekutu di Indonesia sejak akhir September 1945 menuai penolakan dari banyak pejuang kemerdekaan RI. Konflik segera meletup di berbagai wilayah, termasuk yang paling mematikan dalam perang 10 November Surabaya.
Latar Belakang Perundingan Hoge Veluwe
Pasukan Sekutu yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan para tahanan Dai Nippon di Indonesia mendarat di Tanjung Priok, Jakarta pada 29 September 1945. Rombongan tentara Sekutu itu di bawah koordinasi Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI).
Sekitar awal Oktober 1945, Wakil Gubernur Jenderal Belanda yang secara de facto bertugas selaku Gubernur Jenderal, Hubertus Johannes van Mook turut masuk ke Indonesia. Van Mook tiba bareng sejumlah aparatur sipil Hindia Belanda (NICA).
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang begitu dahsyat menyadarkan van Mook bahwa pendukung Republik sangat serius mempertahankan kemerdekaan RI. Dalam buku Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004), Rosihan Anwar menulis, pertempuran sengit pada 10 November bahkan membikin van Mook menilai, "bangsa Indonesia telah melakukan revolusi yang melebihi Revolusi Perancis tahun 1789.”
Kenyataan yang ditemui van Mook membantah laporan intelijen Belanda yang menilai Soekarno-Hatta tidak memiliki pengaruh besar di kalangan rakyat Indonesia. Lantaran itu, van Mook makin realistis ketika berhadapan dengan kaum Republiken pada 1946.
Dia pun bersedia membuka ruang perundingan dengan pemerintah RI. Gayung bersambut karena Sutan Sjahrir yang menjabat Perdana Menteri Indonesia sejak 14 November 1945 lebih condong pada strategi diplomasi. Dalam penilaian van Mook, Sjahrir pun lebih moderat daripada Soekarno-Hatta sehingga dia lebih nyaman bernegosiasi dengan sang perdana menteri.
Dengan dukungan Inggris yang mengirim diplomatnya, Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah, sejumlah pertemuan antara wakil Indonesia dan Belanda digelar sejak Februari 1946. Perundingan ini sebenarnya telah dirintis dalam pertemuan informal Sutan Sjahrir dengan van Mook di Jakarta, yakni kediaman pemimpin AFNEI, Letnan Jenderal Philip Christison, pada 23 Oktober 1945.
Pertemuan Sjahrir dan van Mook pada 10 Februari 1946 tidak melahirkan kesepakatan. Kebuntuan itu mendorong van Mook mengambil inisiatif tanpa meminta persetujuan pemerintah Belanda lebih dahulu.
Mengutip buku Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek (2016:37-38) karya Agus Haryanto dan Isman Pasha, inisiatif van Mook berupa usulan yang mengadopsi model skema penyelesaian konflik Prancis-Vietnam. Ada 4 poin yang ditawarkan oleh van Mook.
Inti 4 poin usulan van Mook adalah:
(1) Jawa dan Madura diakui sebagai wilayah RI, tetapi RI menjadi bagian Negara Indonesia Serikat yang merupakan mitra Kerajaan Belanda, bersama Suriname dan Curacao;
(2) RI mengizinkan pendaratan pasukan Belanda yang melaksanakan tugas bersama Sekutu;
(3) RI bersedia menghentikan segala bentuk permusuhan;
(4) RI bersedia untuk berembug dengan wakil-wakil wilayah Hindia-Belanda maupun minoritas di dalam pembahasan bentuk Negara Indonesia dan hubungannya dengan Kerajaan Belanda.
Perdana Menteri Sutan Sjahrir tidak menolak mentah-mentah usulan van Mook ini. Namun, ia juga mengajukan koreksi atas sejumlah poin di atas yang disampaikan pada 27 Maret 1946.
Adapun inti 4 poin yang diusulkan Sjahrir sebagai berikut:
(1) Belanda mengakui kekuasaan RI atas Sumatera, Jawa, dan Madura, kecuali kantong-kantong yang dikuasai Sekutu. RI bersedia terlibat dalam pembentukan Negara Indonesia Serikat di Hindia-Belanda yang akan menjadi mitra dalam Uni Kerajaan Belanda (Belanda, Suriname, Curacao);
(2) RI akan mengizinkan kehadiran pasukan Sekutu dan Belanda di Sumatera, Jawa, Madura;
(3) RI bersedia mengakhiri permusuhan, segera setelah lahir kesepakatan;
(4) RI akan menjunjung tinggi hak-hak golongan minoritas.
Pada akhirnya memang tercipta kesepakatan antara van Mook dan Sutan Sjahrir. Dalam negosiasi itu, Sutan Sjahrir juga diakui sebagai wakil pemerintah republik yang sederajat dengan Belanda.
AH Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 4: Periode Linggarjati (1994:4) mencatat, naskah kesepakatan itu resmi ditandatangani van Mook dan Sjahrir pada 30 Maret 1946. Naskah kesepakatan ini lantas disebut dengan istilah "Batavia Concept" atau Rumusan Jakarta.
Namun, negosiasi itu belum selesai. Kesepakatan antara van Mook dan Sjahrir harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah Belanda. Maka dari itu, digelar pertemuan tatap muka antara delegasi Republik Indonesia dan wakil Kerajaan Belanda dalam perundingan Hoge Veluwe.
Hasil Perundingan Hoge Veluwe
Perundingan Hoge Veluwe digelar selama 10 hari pada 14-24 April 1946 bertempat di St. Hubertus yang merupakan istana peristirahatan bangsawan Belanda. Tempat perundingan ini berada di Hoge Valuwe, suatu daerah dekat Kota Arnhem, Belanda. Karena itu, pertemuan ini disebut Perundingan Hoge Valuwe.
Dalam perundingan Hoge Valuwe, pemerintah Republik Indonesia mengirim delegasi yang terdiri atas Menteri Kehakiman Mr. Suwardi, Menteri Dalam Negeri Dr. Sudarsono, dan Sekretaris Kabinet Mr. A.K. Pringgodigdo. Mereka tiba di Belanda bersama van Mook dan Archibald Clark Kerr pada 8 April 1946.
Sementara itu, dalam perundingan yang sama, pemerintah Belanda diwakili oleh Perdana Menteri Willem Schermerhorn, Wakil PM Willem Drees, Menteri Luar Negeri Jan Herman van Roijen, Menteri Urusan Tanah Jajahan JHA Logemann, sekretaris delegasi Mr. P. Sanders, dan van Mook.
Saat itu delegasi Indonesia berpegang pada kesepakatan yang dibuat dengan Van Mook di Jakarta. Namun, perundingan Hoge Valuwe buntu. Pemerintah Belanda bahkan menolak kesepakatan van Mook dan Sutan Sjahrir di Jakarta.
Kembali menukil dari Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek (2016:39-41), terdapat 4 pokok perdebatan Indonesia dan Belanda yang tidak mencapai titik temu di perundingan Hoge Veluwe.
Inti dari 4 perbedaan pendapat dalam perundingan Hooge Valuwe itu adalah sebagai berikut:
1. Bentuk hasil perundingan
Indonesia menuntut bentuk perundingan berupa Perjanjian karena ini mengisyaratkan kesetaraan, dan menyerupai kerangka model Vietnam-Prancis. Hal ini sesuai dengan apa yang diusulkan oleh van Mook saat berunding di Jakarta.
Sebaliknya, pemerintah Belanda ngotot menginginkan hasil perundingan berupa Protokol. Alasan Belanda, bentuk Perjanjian lebih sulit diratifikasi oleh parlemen Belanda. Di sisi lain, pemerintah Belanda menolak hal tersebut karena van Mook membuat konsep perjanjian tanpa berkoordinasi lebih dulu dengan mereka.
Pendapat delegasi Belanda ini ditolak oleh kubu Indonesia. Apalagi, Belanda mengusulkan bentuk Protokol juga karena menganggap pemerintah RI sebagai pemerintahan sementara di Jawa, yang nantinya akan berubah selevel dengan provinsi.
2. Bentuk negara dan persemakmuran
Belanda menginginkan Indonesia sebagai negara persemakmuran atau negara merdeka dalam suatu federasi. Wilayahnya hanya terbatas di Jawa yang statusnya setara dengan provinsi dalam federasi anggota persemakmuran Kerajaan Belanda.
Yang dimaksud negara persemakmuran adalah Indonesia memiliki pemerintahan sendiri untuk mengurus urusan dalam negeri. Namun, urusan luar negeri ditangani oleh pemerintah Belanda.
Sebaliknya, Republik Indonesia menuntut diakui sebagai negara yang merdeka dan mandiri. Meski nantinya Negara Indonesia Serikat yang berbentuk federasi berdiri, dengan RI berstatus merdeka dan mandiri, ada kemungkinan wilayah lain (dalam satu federasi) bergabung dengan Republik Indonesia. Hal inilah yang ditentang keras oleh pemerintah Belanda.
3. Bentuk Negara Federasi
Belanda menghendaki agar proses pembentukan negara federasi lebih bersifat "konsultasi" dan bukan melalui perundingan. Hasil dari konsultasi itu hanya akan bersifat "pemberitahuan" yang disampaikan kepada pihak Indonesia.
Namun, konsep ini ditentang keras oleh delegasi dari Indonesia. Apalagi, dengan alasan mencegah jawa-sentris, Belanda ingin Republik Indonesia hanya meliputi Pulau Jawa dan memiliki posisi yang setara provinsi dalam negara federasi anggota persemakmuran.
4. Batas wilayah kekuasaan RI
Delegasi RI menuntut agar Belanda mengakui wilayah Sumatra, Jawa dan Madura sebagai bagian dari Republik Indonesia secara de facto. Penekanan delegasi RI tertuju kepada pengakuan Belanda atas Sumatra sebagai wilayah Republik Indonesia.
Tuntutan itu disampaikan karena sepanjang perundingan Hoge Veluwe, pemerintah Belanda hanya menyinggung Pulau Jawa sebagai wilayah RI. Padahal, pada tahun 1946, Republik Indonesia sudah mulai mengatur administrasi pemerintahan RI di Sumatra di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin.
Di sisi lain, Belanda hanya mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah RI secara de facto. Belanda berdalih, saat itu masih banyak kelompok di Sumatra yang tidak mendukung Republik Indonesia.
Menanggapi tuntutan delegasi RI, perwakilan Belanda hanya menawarkan solusi agar penyelesaian masalah Sumatra dilakukan secara demokratis. Alasan mereka, masuknya Sumatra dalam wilayah kekuasaan RI harus selaras dengan keinginan masyarakat di pulau tersebut.
Dampak Perundingan Hoge Veluwe Bagi Indonesia
Perdana Menteri Sutan Sjahrir, seperti tercatat dalam Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek (2016:44), mengaku tidak terlalu kecewa dengan kegagalan Perundingan Hoge Veluwe. Menurut Sjahrir, upaya diplomasi itu memang bukan untuk menghasilkan kesepakatan, melainkan sebagai ruang bertukar pikiran yang berguna mengatasi jurang perbedaan antara kedua kubu.
Meskipun demikian, langkah pemerintahan Sutan Sjahrir bernegosiasi dengan Belanda melalui Perundingan Hoge Veluwe membawa dampak signifikan di perpolitikan Indonesia. Dampak yang lain, tekanan Belanda kepada pemerintahan RI juga semakin menguat karena mereka jelas-jelas tidak mengakui kemerdekaan negara baru bernama Republik Indonesia.
Setidaknya ada 3 dampak negatif Perundingan Hoge Veluwe bagi Indonesia, yakni sebagai berikut:
1. Kondisi politik Indonesia terpecah-belah
Upaya diplomasi pemerintahan Sutan Sjahrir berunding dengan Belanda kenyataannya mendapat penolakan dari banyak kelompok politik di Indonesia, termasuk kalangan militer. Sejak awal 1946, kelompok-kelompok yang beroposisi terhadap pemerintahan Sjahrir itu bergabung dalam wadah bernama Persatuan Perjuangan (PP).
Sikap Persatuan Perjuangan yang dimotori tokoh pergerakan senior saat itu, Tan Malaka, menolak dengan tegas strategi diplomasi RI atau perundingan dengan Belanda. Slogan terkenal dari kubu Tan Malaka ini adalah "Merdeka 100 Persen."
Setelah perundingan Hoge Veluwe mengalami kebuntuan, PP sebagai pihak oposisi semakin tidak mempercayai strategi diplomasi. PP menganggap Sutan Sjahrir terlalu lamban dan lemah dalam menghadapi Belanda.
Polemik itu bahkan berujung pada penculikan Sutan Sjahrir pada 26 Juni 1946 di Solo. Tidak juga berhenti di situ, usai Sjahrir dibebaskan atas desakan Presiden Sukarno, sekelompok tentara yang dikomandoi Jenderal Mayor Sudarsono bersama sejumlah tokoh politik PP mendesak pembentukan kabinet baru. Meski mereka beralasan tuntutan itu didukung Jenderal Soedirman, Soekarno tidak percaya dan menolak permintaan tersebut.
2. Tekanan dari Belanda Menguat
Kegagalan Perundingan Hoge Veluwe juga memunculkan serangkaian upaya diplomasi lain antara Indonesia dan Belanda. Namun, di tengah upaya diplomasi, Belanda juga terus melakukan tekanan dengan melanjutkan pengiriman pasukan militernya ke Indonesia.
Meski upaya diplomasi akhirnya menghasilkan kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947), Belanda tidak berniat berdamai. Hal itu terbukti dengan adanya Agresi Militer Belanda I di Jawa dan Sumatra pada 21 Juli sampai 5 Agustus 1947.
3. Pembentukan negara boneka oleh Belanda
Setelah Perundingan Hoge Veluwe gagal, Belanda menggelar sejumlah konferensi yang berpotensi memecah-belah Indonesia. Salah satunya adalah Konferensi Malino yang diadakan pada 16-25 Juli 1946. Konferensi-konferensi itu digelar untuk membentuk “negara-negara boneka” yang nantinya diharapkan mendukung keputusan Belanda mendirikan negara federasi di Indonesia.
Dengan kemunculan “negara-negara boneka” itu, Belanda berharap agar RI semakin terdesak dan memilih ikut masuk dalam negara federasi di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Addi M Idhom