tirto.id - Kekayaan sejarah berupa ribuan koleksi manuskrip milik Keraton Yogyakarta pernah dijarah oleh orang-orang Inggris di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Hal itu terjadi pada 1811 setelah Inggris berhasil merebut Jawa dari Belanda.
Dikutip dari Anak Bangsawan Bertukar Jalan (2006) karya Budiawan, Belanda—yang saat itu menjadi taklukan Perancis—menyerah kepada Inggris dan harus menyerahkan wilayah kekuasaannya. Lewat Perjanjian Tuntang, Hindia (Indonesia) pun diambilalih Inggris.
Raffles selaku gubernur jenderal di Jawa yang ditunjuk Inggris semula mengajak Raja Yogyakarta, Hamengkubuwana II, untuk bekerjasama. Namun, HB II menolak mentah-mentah. Bagi sultan, Belanda maupun Inggris sama-sama bangsa asing yang ingin menginjak-injak dan menguasai bumi Mataram.
Terlebih lagi, sikap orang-orang Inggris cenderung arogan dan kurang bisa menghargai tradisi keraton saat menemui HB II di Keraton Yogyakarta. Sempat nyaris terjadi insiden lantaran utusan Inggris tidak terima kursi Raffles ditempatkan lebih rendah dari singgasana sultan.
Polemik Inggris dengan HB II semakin memanas ketika Raffles mendesak sang raja agar membubarkan angkatan bersenjata kesultanan. Tentu saja HB II tidak mau. Sebaliknya, sultan justru memperkuat pertahanan istana.
Jatuhnya Istana Yogyakarta
Secara diam-diam, Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta memberikan dukungan kepada Hamengkubuwana II untuk menghadapi Inggris.
Di sisi lain, Inggris mendapatkan bantuan dari keluarga dinasti Mataram lainnya, yakni Kadipaten Mangkunegaran, yang merupakan pecahan Kasunanan Surakarta.
Selain itu, Inggris juga didukung Pangeran Natakusuma. Orang ini adalah putra HB I atau paman HB II. Pangeran Natakusuma sudah sejak lama sering berselisih dengan keponakannya itu.
Menurut Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), sebagai “musuh” dari HB II, Pangeran Natakusuma berusaha sekuat tenaga agar memperoleh status merdeka dari istana. Itulah alasan mengapa Natakusuma bersedia membantu Inggris.
Inggris mengerahkan tidak kurang dari 1.200 orang prajurit berkebangsaan Eropa, ditambah serdadu Sepoy dari India. Selain itu, bantuan juga datang dari Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Adipati Mangkunegara II memerintahkan Pangeran Prangwedana memimpin 800 orang prajurit menuju Yogyakarta.
Pada 18 Juni 1812, Inggris dan pasukan bantuan mengepung Keraton Yogyakarta. Komandan perang Inggris dalam penyerbuan itu, Admiral Gillespie, menyerukan kepada HB II agar meletakkan takhta jika tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Namun, sang sultan menepis dengan tegas.
Tanpa ampun, pasukan gabungan Inggris menghujani istana dengan meriam dan peluru. Angkatan perang Kesultanan Yogyakarta sempat mampu menahan serangan itu. Namun, lama-kelamaan, pasukan HB II mulai kehabisan amunisi dan energi.
Bantuan yang diharapkan dari Kasunanan Surakarta tidak kunjung datang. Pakubuwana IV ternyata tidak berbuat apa-apa kecuali hanya menempatkan pasukannya di seberang jalur-jalur komunikasi Inggris.
Pengepungan dan penyerbuan ini berlangsung selama dua hari. Hingga akhirnya, pada 20 Juni 1812, tulis Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2011), Keraton Yogyakarta jatuh.
HB II dipaksa menyepakati perjanjian yang disodorkan Inggris. Salah satu isinya adalah Kesultanan Yogyakarta wajib menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Natakusuma. Inilah yang kemudian menjadi Kadipaten Pakualaman.
Tak hanya itu, Sultan HB II dimakzulkan dari takhtanya, lantas diasingkan ke Penang (kini wilayah Malaysia). Inggris kemudian menaikkan putra HB II, Raden Mas Surojo, sebagai raja baru dengan gelar Hamengkubuwana III.
Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Kadipaten Pakualaman (1985) menyebutkan, Inggris melantik Pangeran Natakusuma dengan gelar Pakualam I pada 29 Juni 1813. Inggris kemudian mengakui Pakualam I sebagai pangeran merdeka, diberikan tanah, tunjangan, pasukan, hak memungut pajak, serta hak takhta turun-temurun.
Berharap Jarahan Dipulangkan
Setelah menduduki Keraton Yogyakarta pada pertengahan 1812, Inggris dan pasukannya menjarah isi istana. Sejumlah besar uang dan harta diambil. Perpustakaan yang menyimpan berbagai koleksi manuskrip, kitab-kitab lama, foto-foto langka, karya-karya pujangga, serta bermacam arsip dan buku-buku berharga turut dirampas.
“Waktu itu, setiap hari sekitar lima gerobak naskah kuno diambil selama satu minggu berturut-turut dan dibawa ke London,” kata Hamengkubuwana X, raja saat ini sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti dilansir Kompas(15/5/2012).
HB X berharap kekayaan sejarah milik keraton yang dibawa Inggris, juga Belanda, bisa dipulangkan, walau bukan dalam bentuk aslinya.
”Kalau bisa, pada aspek perjanjian kebudayaan, apakah boleh Daerah Istimewa Yogyakarta meminta naskah-naskah kuno di Belanda [dan Inggris]. Paling tidak diberikan dalam bentuk mikrocip jika sewaktu-waktu keraton ingin meneliti,” harap HB X.
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), pernah dilakukan perjanjian pengembalian manuskrip kuno tersebut. Beberapa di antaranya memang sudah dikembalikan kendati masih ada ribuan naskah yang belum dipulangkan.
Hingga 2010, lebih dari 7.000 judul naskah kuno masih berada di British Library, London, Inggris. Sedangkan pada tahun ini, setidaknya ada 600 naskah kuno yang disimpan di Keraton Yogyakarta, antara lain berupa manuskrip tentang pemerintahan dan kesenian.
Untuk pertamakalinya, koleksi manuskrip milik Keraton Yogyakarta dipamerkan pada 8 Februari 2019 dalam rangka peringatan 30 tahun HB X bertahta. British Library ternyata mendukung pameran langka ini.
“Kita tampilkan [manuskrip] milik keraton, di-support oleh 75 manuskrip dari British Library. Dari keraton ada 30 [manuskrip] dalam bentuk aslinya,” jelas G.K.R. Bendoro, putri bungsu HB X, selaku ketua panitia, dalam jumpa pers yang dihadiri Tirto.
Sebanyak 75 manuskrip keraton dari British Library tersebut seluruhnya dalam bentuk digital. Bentuk aslinya belum dapat dibawa ke Indonesia karena masih terbentur masalah kepemilikan dan sudah lebih dari 50 tahun berada di luar negeri.
Selain itu, Inggris dan British Library masih menahan sebagian besar koleksi manuskrip milik Keraton Yogyakarta karena penanganan naskah di Indonesia dinilai belum profesional.
“Kami mengalah dulu karena menyadari belum bisa menangani naskah kuno dengan baik,” kata Pengelola Perpustakaan Widya Budaya K.R.T. Purwodiningrat.
Editor: Ivan Aulia Ahsan