tirto.id - Satu hari pada tahun 1946, Opsir Udara II Soedjono yang merupakan perwira staf khusus dan diperbantukan di Komandan Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta berkunjung ke Markas Tertinggi. Ia bertemu dengan salah satu petinggi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Komodor Muda Abdul Halim Perdanakusumah.
Keduanya bercakap dalam bahasa Belanda. Halim bukan orang asing bagi Soedjono, mereka sempat bertemu sebelumnya dan menempati kamar yang sama di Hotel Merdeka, Yogyakarta.
“Djon, Anda (akan) menjadi komandan paratroop,” kata Halim seperti diingat Soedjono—dalam lampiran suratnya yang bertanggal 29 Juli 1998 yang ditulis di Jakarta—dalam buku Baret Jingga (1999:36-41).
Soedjono mengiyakan saja ketika dirinya ditunjuk memimpin pasukan terjun payung (paratroop) itu, “baik,” katanya.
“Tetapi, sebagai komandan pasukan para kamu harus bisa loncat dulu dengan parasut,” kata Halim.
Soedjono mengiyakan dengan mengatakan “baik”. Halim melanjutkan, “karena tidak ada yang dapat mengajarkan, kamu harus belajar loncat sendiri.”
“Baik,” jawab Soedjono.
Otak Soedjono langsung bekerja untuk menyiapkan diri sebelum terjun payung. Ia menghubungi bagian pelipat payung yang dipimpin Opsir Udara III Amir Hamzah untuk mengetahui detail dari payung parasut untuk terjun. Selain parasut, dia memikirkan sepatu apa yang harus dia pakai. Tentu saja Soedjono berpikir keras bagaimana dan di mana dia harus melompat.
“Saya ingat-ingat lagi hukum Newton tentang gravitasi Bumi dan kecepatan jatuhnya sesuatu benda, dalam hal ini tentunya orang (saya) dengan parasut. Diperkirakan, ketinggian berapakah yang teraman untuk meloncat?” katanya.
Masalah lain adalah tak ada buku soal teknik mendarat yang didapatnya kala itu. Beruntunglah ia bertemu dengan Soekotjo, prajurit Opsir Udara I di AURI. Soedjono mengenal Soekotjo saat mereka dibawa militer Belanda mengungsi di Australia saat tentara Jepang masuk ke Indonesia.
Soedjono awalnya opsir di militer Belanda, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Sementara itu, Soekotjo dari Angkatan Laut Belanda, Koninklijk Marine (KM).
Menurut Soedjono, sosok Soekotjo “sudah pernah dilatih dan dilemparkan in action behind enemy lines dengan parasut untuk silent operations. Dia mengajarkan saya kepada saya teknik pendaratan yang klasik, yakni dengan koprol.”
Selain itu, Soekotjo berbagi ilmu soal bagaimana cara bersembunyi di daerah lawan setelah mendarat dari terjun payung. Dari sini persiapan untuk memulai peristiwa penting percobaan operasi terjun payung prajurit AURI di tengah keterbatasan alat.
Kala itu, AURI tak punya pesawat Dakota C-47 seperti yang dipakai pasukan penerjun Amerika-Inggris di akhir Perang Dunia II.
Komodor Muda Adisoetjipto—yang disapa Mas Tjip oleh Soedjono, hanya bisa menyiapkan pesawat kecil peninggalan Jepang, Curen.
Skenario kala itu, Adisoetjipto menerbangkan Soedjono. Sementara itu Kadet Udara I Gunadi akan menerbangkan Soekotjo. Sebelum naik pesawat, para atasan seperti Halim Perdanakusumah memberi arahan, begitu juga Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara Soeriadi Soerjadarma, yang rupanya was-was akan percobaan terjun payung.
Setelah itu terbanglah mereka, dan terjun pada ketinggian 700 meter. Sebelum terjun, Soedjono melihat payung Soekotjo sobek, akan tetapi ia berhasil mengatasinya. Soedjono pun juga melompat. Ketika payungnya terbuka hatinya mulai plong. Soedjono bahkan berhasil mendarat sempurna tanpa harus koprol di rumput-rumput yang tinggi.
Setelah mendarat, Seodjono baru tahu bahwa Komodor Soerjadarma khawatir dengan aksinya itu, karena Soerjadarma tidak yakin dengan kondisi payung parasut yang tak terurus dengan baik saat dipakai untuk terjun.
Uji coba penerjunan perintis AURI ini dilakukan pada Desember 1946 versi Soedjono seperti tercatat dalam buku Baret Jingga itu.
Sementara itu, buku Bakti TNI Angkatan Udara 1946-2003 (2003:50) menyebut penerjunan pertama AURI terjadi pada 12 Februari 1947, Amir Hamzah, Legino dan Pungut terjun dengan bantuan penerbang Soehodo, Adisoetjipto, dan Iswahjudi.
Sementara itu, menurut buku itu, penerjunan kedua “dilakukan oleh empat pemuda Indonesia yang pulang ke tanah air dari Australia untuk bergabung dengan TRIO (Tentara Repoeblik Indonesia Oedara), masing-masing Soedjono, Soekotjo, Sangkala, dan Mudasir.”
Buku Awal kedirgantaraan di Indonesia: perjuangan AURI 1945-1950 (2008:60-61) juga menyebut rombongan Legino, Amir Hamzah, dan Pungut sebagai penerjun percobaan pertama. Disebutkan dalam buku itu, “meloncatlah Legino untuk pertama kali dalam sejarah penerbangan Indonesia Indonesia.”
Terlepas dari siapa yang pertama kali terjun, nyatanya operasi penerjunan pasukan payung ke Kalimantan, adalah operasi terjun payung pertama yang dilakukan AURI. Operasi terjun payung di Kalimantan adalah operasi penyusupan yang bersejarah karena sebagai yang pertama menggunakan terjun payung. Operasi ini sebagai respons Agresi Militer I pada 21 Juli 1947, untuk tetap menunjukkan eksistensi Indonesia di mata Belanda setelah kemerdekaan.
Pada operasi itu, para penerjun seperti Soedjono dan kawan-kawan penerjunnya menjadi pelatih dari pasukan yang dipimpin Mayor Tjilik Riwut. Penerjun Amir Hamzah jadi jump master yang mengeluarkan para penerjun dari pesawat Dakota yang diterbangkan Bob Freeberg.
Pelatihan kepada pasukan terjun ini pun ala kadarnya saja. Menurut catatan Opsir Moeda Oedara Soehodo, seperti dikutip dari buku Kalimantan Membangun (1993: 172), “mereka ini hanya teoritis mendapat pelajaran terjun payung, latihan di tanah, sedang terbang belum pernah dialami mereka.”
Semenjak AURI berdiri, Pada 9 April 1946, upaya meningkatkan sumber daya manusia mereka terus dikembangkan termasuk soal uji coba terjun payung. AURI juga memulai merintis pembentukan pasukan khusus penerjun, saat itu ada nama pasukan Penembahan Senopati 105.
“Pasukan ini disebut juga pasukan Garuda Mulya,” tulis buku Catur windu TNI-AU, 1945-1977: Sejarah Bergambar (1977:65). Pasukan ini pernah menduduki Sragen dari tangan tentara Belanda.
Pasukan ini dipimpin oleh Atje Wiriadinata, jadi bagian Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP), yang sudah ada sejak awal AURI berdiri. Para anggota PPP kemudian ada yang direkrut dalam pasukan terjun, yang sekolah terjunnya diadakan sejak 1950.
Menurut catatan buku Baret Jingga (2003:30), pasukan Garuda Mulya itu adalah permulaan dari pasukan terjun AURI, Pasukan Gerak Tjepat (PGT). Mereka dilatih oleh perintis penerjunan di Yogyakarta dan pelaku operasi penerjunan di Kalimantan. Pasukan terbentuk pada Febaruri 1952. Komandan pertama dari PGT adalah Wiriadinata.
Pada 1960an, pasukan ini dinamai Resimen Tim Pertempuran PGT (RTP-PGT) lalu pada 1962 Komando Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara (KOPPAU). Era 1965, setelah Komodor Wiriadinata tak lagi memimpin, di masa kepemimpinan Komodor Ramli Sumardi pasukan ini tetap dikenal sebagai PGT.
Sejak 1966 namanya menjadi Komando Pasukan Gerak Tjepat (Kopasgat). Jumlahnya tentu makin bertambah. Pada 1985, namanya sempat Pusat Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (PUSPASKHASAU). Pada 1997 pun menjadi Korps Pasukan Khas TNI AU (KORPASKHASAU).
Editor: Suhendra