Menuju konten utama
Sejarah Kuliner

Sejarah Nasi Liwet Solo: Makanan Khas Jawa Penolak Bala

Sejarah makanan khas Jawa yakni nasi liwet Solo terkait dengan tradisi penolak bala.

Sejarah Nasi Liwet Solo: Makanan Khas Jawa Penolak Bala
Nasi Liwet. FOTO/Istimewa

tirto.id - Nasi liwet merupakan salah satu makanan khas Jawa dari Solo atau Surakarta. Sejarah dan asal-usul riwayat kuliner ini kerap dikaitkan dengan tradisi masyarakat Jawa, termasuk untuk menolak bala ketika terjadi bencana.

Sebenarnya, nasi liwet –atau setidaknya makanan sejenis dengan nama berbeda– juga dikenal di beberapa daerah lain di Indonesia, misalnya nasi liwet Sunda, yang tentunya memiliki ciri khas dan citarasa masing-masing.

Dalam satu paket nasi liwet Solo biasanya terdiri dari beberapa bagian, antara lain nasi gurih, suwiran ayam ungkep, sayur labu siam, telur rebus, sambal goreng ati, tempe dan tahu bacem, serta areh atau hasil rebusan santan yang dimasak hingga mengental.

Nasi yang gurih dan harum menjadi ciri khas kuliner tradisional ini. Rasa gurih berasal dari santan kelapa yang dimasak bersama beras, sementara wanginya dari daun pandan, ditambah daun salam dan batang serai, serta berbagai macam bumbu juga rempah-rempah lainnya.

Riwayat Nasi Liwet Solo

Ada cerita lama mengenai sejarah nasi liwet asal Solo. Cara memasak nasi liwet bahkan tercatat dalam Serat Centhini (1814-1823) yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah Nusantara. Maka tidak mengherankan jika nasi liwet juga dikenal di daerah-daerah lain.

“Proses memasak liwet itu tertulis di Serat Centhini tahun 1819. Kalau produknya tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera, tergantung kearifan lokal masing-masing, beda-beda lauknya,” jelas peneliti Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Murdijati Gardjito, dilansir KompasTravel.

Murdijati Gardjito, dalam buku bertajuk Makanan Tradisional Indonesia Seri 2 (2017) yang disusun bersama Umar Santoso dan‎ Eni Harmayani, juga mengungkapkan, nasi liwet adalah simbol penolak bala ketika terjadi bencana.

Saat Jawa diguncang gempa bumi di masa lalu, misalnya, nasi liwet dihadirkan dengan sebaris doa yang dilantunkan untuk keselamatan seluruh semesta dan harapan agar malapetaka tidak terulang lagi.

Dalam Serat Centhini tercatat pula bahwa Pakubuwana XI, Raja Kasunanan Surakarta periode 1939-1945, pernah menyajikan nasi liwet kepada para penabuh gamelan di keraton sebelum mereka pulang. Alasannya, agar istri mereka tidak repot menyiapkan makanan di rumah.

Nasi liwet memang sudah menjadi sajian khas bagi keluarga istana di Solo, baik Kasunanan Surakarta maupun Kadipaten Mangkunegaran. Kendati begitu, kuliner ini konon justru berasal dari kalangan rakyat biasa, yakni dari Desa Menuran, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Nasi Liwet dan Sekaten

Nasi liwet merupakan nasi menu wajib pada perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. yang digelar di Solo. Inspirasinya dari nasi samin yang konon merupakan makanan kesukaan Nabi. Umat Islam di Solo, dikutip dari Fellacook, berusaha membuat masakan yang mirip dengan nasi samin dan terciptalah nasi liwet.

Maulid Nabi dilakukan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Di lingkungan Keraton Solo, perayaan Maulid Nabi diramaikan dengan tradisi Sekaten atau Grebeg, yang juga berlaku di Kasultanan Yogyakarta, dan berasal dari era Kasultanan Demak pada masa sebelumnya.

Sekaten ditandai dengan dikeluarkannya gamelan pusaka keraton selama sepekan, yang kemudian diiringi dengan dua gunungan bernama Jaler dan Estri yang melambangkan pria dan wanita.

Gunungan Jaler berisi hasil-hasil bumi seperti umbi-umbian, sayur, juga buah-buahan. Sementara gunungan Estri terdiri dari makanan-makanan yang sudah diolah, salah satunya nasi liwet.

Harmanto Bratasiswara dalam buku Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa (2000) memaparkan, nasi liwet juga menjadi sajian khas yang selalu ada dalam setiap perayaan Sekaten.

Kegiatan Sekaten biasanya menggelar pesta rakyat di alun-alun istana yang dikunjungi banyak orang. Berbagai jenis barang dan makanan dijajakan, termasuk nasi liwet.

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Wisnu Amri Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Wisnu Amri Hidayat
Penulis: Wisnu Amri Hidayat
Editor: Iswara N Raditya