tirto.id - Nasi goreng memang menarik, dari sejarah kuliner ini yang konon sudah dikenal sejak zaman kuno alias arkaik, hingga kini dipakai sebagai strategi politik. Usai menjamu Prabowo Subianto pada Rabu (24/7/2019) lalu, Megawati Soekarnoputri berujar tentang politik nasi goreng.
Untuk pertamakalinya pasca Pilpres 2019, Megawati bertemu dengan Prabowo yang tidak lain adalah pasangannya saat maju pada Pilpres 2009 silam. Setelah pertemuan kemarin, Prabowo memuji kelezatan nasi goreng buatan Ketua Umum PDIP yang juga Presiden RI ke-5 itu.
“Bu Mega memenuhi janjinya dengan memasak nasi goreng. Luar biasa nasi gorengnya, saya sampai nambah,” ucap Prabowo setelah dijamu di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Megawati pun bersyukur Ketua Umum Gerindra itu menyukai sajian nasi goreng yang disuguhkannya. Sembari bergurau, sang putri proklamator ini menyebut bahwa politik nasi gorengnya sukses meluluhkan Prabowo.
“Katanya nasi goreng saya enak, untunglah. Kalau seorang perempuan, pemimpin, dan politisi, ada bagian yang sangat mudah meluluhkan hati laki-laki. Itu namanya politik nasi goreng,” ujar Megawati.
Sejarah Nasi Goreng
Nasi goreng menyimpan jejak sejarah panjang. Konon, makanan ini berasal dari Cina dan sudah ada sejak 4.000 Sebelum Masehi (SM).
Namun, dari catatan yang ditemukan, dikutip dari The Thousand Recipe Chinese Cook Book (1966) karya Gloria Bley Miller, nasi goreng mulai cukup dikenal pada era Dinasti Sui (581–618 M), tepatnya di Kota Yangzhou.
Tercetusnya ide nasi goreng berawal dari kebiasaan sederhana. Awalnya, orang-orang Cina pada masa itu ingin memanaskan nasi agar tidak basi dan terbuang percuma. Maka, nasi tersebut diproses ulang dengan cara digoreng.
Agar lebih nikmat dan bercitarasa, maka ditambahkan bumbu dan rempah sebelum disantap. Inilah alasan di balik memanaskan nasi yang kemudian dikenal sebagai nasi goreng dan menjadi makanan yang sangat populer.
Tersebarnya nasi goreng terjadi akibat migrasi yang dilakukan orang-orang Cina. Di Indonesia, nasi goreng yang dibawa bangsa Tionghoa beradaptasi dan berkembang sesuai dengan daerah yang mereka tinggali. Maka tidak heran jika kini ada banyak sekali jenis nasi goreng di tanah air.
Meskipun nasi goreng kerap disebut-sebut berasal dari Cina, namun tidak demikian dengan pendapat Hillary Keatinge dan Anneke Peters yang terungkap dalam buku The Flavour of Holland (1995). Dua penulis kuliner ini yakin bahwa nasi goreng memang berasal dari Indonesia.
Nasi goreng, tulis Keatinge dan Peters, adalah makanan asli Indonesia yang merupakan olahan nasi sisa yang dimasak kembali untuk dihidangkan bersama irisan omelette (telur dadar) dan menjadi menu yang biasanya dinikmati di pagi hari.
Praktis, Terkadang Politis
Buku berjudul Makanan Tradisional Indonesia Seri 2: Makanan Tradisional yang Populer (2019) terbitan Gadjah Mada University hasil karya Umar Santoso, Murdijati Gardjito, dan Eni Harmayani menyebut bahwa nasi goreng adalah makanan yang unik.
Disebut unik karena kuliner ini cocok disantap kapan saja, baik pagi, siang, maupun malam hari, bahkan lewat tengah malam, dalam keadaan hangat atau dingin.
Selain itu, nasi goreng juga sangat mudah dipadukan dengan berbagai jenis bahan makanan tambahan lainnya. Cara memasaknya pun sangat mudah dan praktis.
Nasi goreng gampang ditemukan di mana saja. Bisa menjadi hidangan mewah di restoran ternama atau hotel berbintang, juga kerap dijumpai di tenda kaki lima atau didorong penjualnya dengan gerobak usang.
Boleh dibilang, nasi goreng adalah makanan sejuta umat untuk seluruh kalangan, dari rakyat biasa hingga pejabat negara. Bahkan, nasi goreng kini kerap digunakan untuk hal-hal politis, seperti yang dilakukan Megawati saat menjamu Prabowo kemarin.
Taktik “politik nasi goreng” ala Megawati untuk merajut rekonsiliasi dengan Prabowo usai panasnya Pilpres 2019 ternyata juga pernah diterapkannya kepada Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Megawati yang pernah mendampingi Gus Dur sebagai wakil presiden kerap berselisih pendapat dengan kiai terkemuka Nahdlatul Ulama (NU) itu.
“Biasanya kalau saya berantem dengan beliau [Gus Dur], terus saya tidak mau ketemu, purik (dongkol). Saya tahu pasti nanti saya menang,” gurau Megawati, dikutip dari NU Online.
“Karena apa? Pasti nanti Gus Dur telepon. 'Mbak, lagi opo?', 'Di rumah, mas'. 'Bikinkan saya nasi goreng ya, saya sudah di depan pintu rumah'," lanjutnya sembari tertawa mengenang masa-masa itu.
Sebenarnya tak hanya Megawati. Ada beberapa tokoh nasional lainnya yang juga pernah menerapkan “politik nasi goreng”, termasuk Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga Prabowo Subianto sendiri.
Saat menjamu Prabowo di Cikeas, Bogor, pada 27 Juli 2017 untuk membahas RUU Pemilu yang sedang dirumuskan DPR saat itu, SBY juga menyajikan nasi goreng. Hal ini diakui oleh Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan.
“Saya kira politik nasi goreng yang di Teuku Umar [kediaman Megawati] kemarin bukan suatu yang baru, pernah juga muncul waktu SBY di Cikeas bertemu [Prabowo] dan silahturahminya juga bagus," kata Hinca, seperti dilansir CNN.
Prabowo sendiri pernah melakukan hal serupa kala mengundang Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Hambalang, Bogor, pada 31 Oktober 2016 silam. “Dua jam pertemuan yang banyak makan nasi gorengnya,” ujar Jokowi usai pertemuan itu.
Sekali lagi, nasi goreng memang maha unik lagi menarik, dari sejarahnya yang konon sudah ada sejak zaman arkaik, hingga untuk melancarkan misi politik.
Penulis: Yonada Nancy & Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya