tirto.id - Iman Islam dimulai dengan "La ilaha illa Allah" dan bertujuan untuk kesempurnaannya, dan itulah arah yang kita tuju sekarang.
Khawla Nakata Kaori
Pada abad ke-16, seorang pedagang dari Arab menumpang kapal Portugis yang singgah di perairan Jepang sebelum melanjutkan pelayaran ke Malaka. Pedagang itu cukup lama bermukim di Jepang dan berniaga dengan penduduk setempat, termasuk mengenalkan ajaran Islam.
Saat itu kebijakan isolasi diri tengah diberlakukan Shogun Tokugawa karena kekhawatiran akan dampak asing di wilayah Jepang. Akan tetapi, beberapa pelabuhan tetap dibuka untuk melakukan perdagangan.
Kontak awal dengan dunia Islam yang dibawa pedagang Arab tersebut tidak terlalu mendapat sambutan hangat dari masyarakat Jepang.
Tragedi Kapal Uap Al Tughrul
Pada abad ke-19, setelah Restorasi Meiji, Jepang mulai membuka diri dan terlibat interaksi yang lebih aktif dengan bangsa-bangsa lain. Persinggungan Jepang dengan Islam kembali terjadi dari tetangganya, China, melalui buku-buku yang ditulis bangsa Eropa.
Hubungan dengan Kesultanan Ottoman baru dimulai ketika kedua negara memiliki beberapa kesamaan secara politik, ekonomi, ekspansionis, budaya, dan kemanusiaan. Dalam waktu bersamaan, keduanya juga sedang berada dalam tekanan Barat yang memperluas pengaruh dan kekuatan di berbagai belahan dunia.
Kaisar Jepang, Mutsuhito, mengutus Pangeran Komatsu untuk mengunjungi Khalifah Sultan Abdul Hamid II di Konstantinopel pada tahun 1887. Ini menandai dimulainya hubungan hangat antara Kekaisaran Jepang dan Kekhalifahan Ottoman.
Setelah Pangeran Komatsu kembali ke Jepang, Mutsuhito berkorespondensi lewat surat kepada Sultan Abdul Hamid II.
“Anda dan saya sama-sama berada di bawah tekanan negara-negara kuat. Oleh karena itu, kita harus mendorong bangsa kita untuk belajar satu sama lain. Karena itu, kami ingin Anda mengirimkan beberapa duta besar untuk menjelaskan kepada orang-orang kami siapa Anda dan apa agama Anda,” tulisnya.
Menurut Dr. Salih Mahdi al-Samarrai dalam publikasinya "The Message of Islam in Japan-Its History & Development" (1999), pihak Ottoman kemudian mengirim delegasinya yang terdiri dari ratusan prajurit dan puluhan lulusan akademi laut.
Kapal uap Al Tughrulyang dikemudikan Laksamana Osman Pasha berangkat dari Istanbul melalui Terusan Suez, Jeddah, Aden, Bombay, Kolombo, Singapura, dan Hongkong. Mereka mendapatkan sambutan hangat begitu tiba di Jepang.
Setelah menetap selama tiga bulan, mereka kembali ke Turki. Di tengah perjalanan, kapal dilanda badai hebat yang menyebabkan kehilangan keseimbangan dan beberapa navigasi tidak berfungsi. Akibatnya kapal mengalami kerusakan berat hingga tenggelam di lepas pantai Prefektur Wakayama pada 16 September 1890. Lebih dari 500 penumpangnya dikabarkan tewas dan hanya 60 orang yang dinyatakan selamat.
Musibah yang menimpa kapal uap Al-Tughrulcukup mengejutkan kedua belah pihak. Namun di sisi lain menjadi simbol erat hubungan Jepang dan Turki sekaligus titik terang cahaya Islam di negeri matahari terbit.
Muslim Pertama Jepang
Setelah insiden tenggelamnya kapal Al-Tughrul, seorang jurnalis bernama Shotaro Noda mengumpulkan donasi di Jepang untuk keluarga penyintas. Ia bekerja di Jiji Shinpô, surat kabar bergengsi selain Tokyo Nichinichi Shinbun, Tokyo Shinpô, dan Ôsaka Asahi Shinbun.
Pada masa itu, surat kabar Jepang bersaing ketat untuk mencapai sirkulasi yang lebih besar memaksa mereka memainkan editorial yang harus memancing emosi publik dengan laporan cepat dan seakurat mungkin.
Selama beberapa hari, surat kabar Jepang melaporkan musibah tersebut sebagai tajuk utama. Laporan-laporan insiden juga disajikan dengan ragam cara untuk menyita perhatian pembaca. Tokyo Nichinichi Shinbun dan Jiji Shinpô lantas memelopori penggalangan donasi tertanggal 20 September 1890.
Dalam laporan akhir donasi, Jiji Shinpô berhasil mengumpulkan 4.248.976 yen, kontras dengan surat kabar pesaingnya Tokyo Nichinichi Shinbun, Mainichi Shinbun, dan Ôsaka Asahi Shinbun masing-masing adalah 608.346 yen, 128.534 yen, dan sekitar 154 yen.
Pengumpulan donasi untuk 'Tragedi Al-Tughrul' menjadi pengumpulan donasi asing pertama dalam sejarah Jepang.
Bersamaan dengan itu, Kaisar Jepang memutuskan untuk mengirim bantuan dengan dua kapal perang ke Istanbul. Shotaro Noda ditunjuk mewakili surat kabarnya untuk melakukan liputan perjalanan tersebut.
Mereka berangkat pada 6 Oktober 1890 melalui Pelabuhan Yokosuka. Dalam pelayarannya, ia selalu mengirim berita ke Jiji Shinpô melalui surat setiap kali kapal perang Hiei dan Kongô berlabuh. Ia menginjakkan kakinya di Istanbul pada 2 Januari 1891.
Noda lantas disibukkan dengan berbagai pertemuan, yakni dengan Menteri Angkatan Laut Hasan Paya dan Ryza Hasan Paya, ketua komite bantuan keluarga yang berduka. Ia menjelaskan tentang kampanye pengumpulan donasi, lalu menyerahkan wesel dan surat yang ditandatangani oleh Kinsuke Ito, pemilik Jiji Shinpô Corporation.
Kabar ini menyebar cepat di masyarakat luas di Istanbul, termasuk surat kabar lokal, juga beberapa koran berbahasa Inggris dan Prancis. Kisahnya membawa donasi dan pelayaran selama tiga bulan mencuri perhatian publik.
Sultan Abdul Hamid II memintanya untuk tinggal di Istanbul dan mengajar bahasa Jepang kepada para perwira Ottoman, termasuk Mustafa Kemal Pasha yang kemudian menjadi Presiden Republik Turki.
Noda tinggal di Istanbul selama hampir dua tahun dan mulai tertarik dengan Islam hingga menjadi keyakinannya. Ia mengganti namanya menjadi Abdul Haleem dan dianggap sebagai muslim Jepang pertama.
Tahun 1893, seorang pedagang bernama Torajiro Yamada menyusul ke Istanbul memberikan sumbangan pada korban kecelakaan kapal uap Al-Tughrul yang telah ia kumpulkan di kampung halamannya di Kamakura.
Seperti halnya Noda, ia ditawari untuk menetap yang membawanya tertarik dengan Islam. Yamada mengganti namanya menjadi Abdul Khaleel usai mengucapkan dua kalimat syahadat, menjadikannya orang Jepang kedua yang memeluk Islam.
Perkembangan Islam Pasca Perang
Lahirnya beberapa komunitas muslim di kota-kota Jepang juga menjadi sumbangsih bagaimana posisi Islam di Jepang sebelum Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Tahun 1902, utusan Sultan Hamid II mengunjungi Yokohama untuk membantu pendirian sebuah masjid. Meskipun rencana tersebut tidak pernah terwujud, sebuah musala lantas berdiri di Osaka pada 1905 yang ditujukan bagi tahanan muslim Rusia ketika Perang Jepang-Rusia meletus tahun 1904-1905.
Para tawanan tidak kembali ke negara asalnya dan memilih tinggal di Jepang sambil mengenalkan ajaran Islam. Namun, dikutip dari Kompas, secara resmi Masjid Kobe dianggap sebagai masjid pertama di Jepang berkat dukungan komunitas Turki-Tatar pada tahun 1935.
Selain pertumbuhan masjid, lembaga dan organisasi Islam juga tumbuh di tengah gejolak politik global yang melibatkan Jepang. Begitu juga persilangan budaya pendidikan yang terjadi, sebut saja antara Jepang dan Mesir lewat Universitas Al-Azhar. Kehadiran fakultas bahasa Arab di Universitas Tokyo dan Osaka diimbangi dengan pengenalan bahasa Jepang oleh Universitas Al-Azhar pada warsa 1930-an.
Pasca Perang Dunia II, tepatnya tahun 1953, sejumlah pengajar Islam mendirikan asosiasi muslim pertama di Jepang, Japan Muslim Association.
Interaksi Jepang dengan bangsa Arab saat Krisis Minyak tahun 1970-an berdampak pada orang-orang Jepang yang mempelajari bahasa Arab dan akhirnya tak sedikit yang memeluk Islam.
Pertengahan tahun 1980-an disebut-sebut sebagai masa kejayaan perkembangan Islam di Jepang. Ini terjadi saat meningkatnya jumlah imigran dan pelajar muslim ke Jepang dari wilayah-wilayah seperti Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Iran, Turki, Afrika, dan India.
Para imigran ini berasimilasi, membangung masjid, menjadi warga negara, dan menciptakan lapangan pekerjaan lewat bisnis kuliner maupun produk halal.
Dari perjalanan panjangnya mengenal Islam, Jepang kemudian melahirkan beberapa cendekiawan terkemuka, seperti Umar Yamaoka, Hasan Hatano, Abdur Rasheed Ibrahim, dan Ahmad Ariza.
Cendekiawan Muslimah Pertama Jepang
Dekade 1990-an, seorang cendekiawan muslimah pertama lahir memberi kontribusi dan khazanah keislaman Jepang. Dia adalah Khawla Nakata Kaori, lahir pada 26 Januari 1961 di Shizuoka, Jepang, dan masuk Islam pada Januari 1991 di Prancis.
Dia terinspirasi untuk mengejar beasiswa Islam setelah mengunjungi sebuah masjid di Paris pada tahun 1990. Saat itu Kaori mulai belajar bahasa Arab dan ajaran Islam dari berbagai sumber, termasuk sejumlah buku, kaset, dan majalah.
Kaori lulus dari Fakultas Sastra Universitas Kyoto lewat tesisnya mengenai novel Albert Camus “The Stranger”. Ia kemudian menetap di Mesir dari Agustus 1991 hingga April 1992 dan menikah dengan Nakata Ko, seorang mahasiswa doktoral bidang filsafat di Universitas Kairo.
Hafalan Al-Qur'an didapatkannya usai mendapat ijazah dari Sayyid Abdullah al-Jawhary, termasuk ijazah berbagai kajian Islam tradisional dari ulama-ulama di Suriah dan Arab Saudi. Dia juga berguru kepada ulama-ulama terkemuka di Mesir seperti Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi, Syaikh Muhammad Said Ramadan al-Buthi, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, dan Syaikh Ali Jum'ah.
Juli 1992, dia kembali ke Jepang dan mulai menerbitkan Muslim Shinbun, koran muslim bulanan bersama suaminya. Ia rutin menulis artikel tentang pemahaman Islam dan realita masyarakat saat itu. Koran tersebut terpaksa gulung tikar pada bulan Mei 2006 pada edisi ke-166.
Kaori kemudian berbagi pengetahuan Islam di beberapa situs daring dan kerap menggunakan nama Habiba Nakata Kaori untuk mengenalkan diri.
Pandangan-pandangannya tentang peran perempuan muslim banyak dicurahkan dalam tulisannya, seperti jilbab, pernikahan, kesetaraan gender, dan hak-hak perempuan bekerja. Dalam hal perkawinan misalnya, ia menilai tugas suami dan istri harus berimbang.
“Laki-laki bekerja untuk mendapatkan makanan, perempuan melindungi rumah mereka. Namun, Islam tidak pernah mengenal diskriminasi perempuan dalam masyarakat modern,” ujar Kaori dalam artikelnya di Akademi Arab Islam Jepang.
Ia menambahkan di era modern seperti sekarang, peran aktif perempuan muslim sangat diperlukan di berbagai bidang dan profesi, misalnya sebagai guru atau dokter.
“Dan mereka juga dapat melakukan inisiatif dengan baik tanpa khawatir dengan pengaruh laki-laki,” sambungnya.
Kontribusi terbesarnya, selain membentuk wanita muslim Jepang adalah menerjemahkan Tafsir al-Jalalain ke dalam bahasa Jepang. Menurut Qayyim Naoki Yamamoto, asisten profesor di Sekolah Pascasarjana Studi Turki di Universitas Marmara, Kaori menerjemahkan karya klasik tersebut tanpa mengubah maknanya.
“Pencapaian Kaori tidak hanya mencakup pencarian ʿilm yang sangat bermanfaat bagi komunitas muslim di Jepang, ia juga turut membangun landasan keilmuan Islam bagi komunitas muslim Jepang,” pujinya dalam Traversing Tradition.
Kaori meninggal dunia pada 16 Agustus 2008, mewarisan sejumlah karya dalam berbagai bentuk. Buku Pengantar Islam-nya dianggap sebagai pedoman paling mudah dipahami bagi masyarakat Jepang dalam mengenal dan mendalami Islam. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk dan dasar-dasar ajaran Islam, seperti rukun iman, rukun Islam, akhlak, ibadah, syariah, dan sejarah Islam.
Kontribusi Kaori dalam syiar Islam di Jepang cukup penting bagi muslim Jepang hari ini yang terus menghadapi berbagai tantangan. Mereka masih memiliki kesulitan untuk mengembangkan Islam lebih jauh, seperti kurangnya pendidikan agama, diskriminasi, serta upaya menghadapi kesalahahpahaman dan stereotipe media tentang Islam.
Meski demikian, seturut catatan The Economist tahun 2019, jumlah muslim di Jepang terus tumbuh dengan populasinya mencapai sekitar 230 ribu jiwa lebih atau 0,2 persen dari total penduduk Jepang. Dari angka tersebut, setidaknya 50 ribu masyarakat Jepang telah menjadi mualaf.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi