tirto.id - Jumlah muslim di Jepang, sebagai negara minoritas Islam, terus bertambah. Menurut data pada 2016, terdapat sekitar 120 ribu muslim dari luar negeri dan 10 ribu muslim Jepang yang tinggal di Negeri Sakura tersebut, menurut Waseda University.
Sebagian besar Muslim di Jepang tinggal di tiga wilayah metropolitan seperti area Tokyo, area Metropolitan Chukyo dan wilayah Kinki.
Sejak awal 1990-an di Jepang terjadi peningkatan jumlah masjid yang dibangun di seluruh kepulauan Jepang, dari prefektur Okinawa hingga prefektur Hokkaido. Selain untuk beribadah, masjid ini juga dapat digunakan untuk orang–orang yang ingin mengetahui pemahaman tentang Islam.
Muslim-muslim di Jepang sudah banyak yang menetap dan berkeluarga. Hal ini menunjukkan peningkatan muslim secara turun temurun pada masa depan. Muslim nantinya bisa membantu menjembatani komunitas lokal dengan komunitas muslim atas keragaman latar belakang budaya yang dimiliki.
Pada 2017 seorang WNI bernama Nurina Pratiwi Gumay (Nina), bersama suami dan dua anaknya menceritakan pengalamannya selama tinggal di Tokyo dan rasanya menjalankan puasa di sana.
Dia menceritakan selama puasa di Negeri Sakura tersebut, waktunya lebih lama dibanding berpuasa di Jakarta, yakni sekitar 16–17 jam dimulai dari waktu imsak pukul 02.30 hingga waktu berbuka pukul 19.00. Setiap hari Sabtu, Nina bersama muslim Indonesia lainnya berkumpul untuk buka puasa sembari melepas rindu akan Indonesia.
Selama tinggal disana, dia tidak pernah merasa khawatir akan dikucilkan karena muslim menjadi minoritas disana, justru katanya, teman–teman dan masyarakat yang berkewarganegaraan Jepang sangat menghargai kepercayaan yang diianutnya.
Terlebih di Jepang ada banyak komunitas muslim, setidaknya ada tiga komunitas muslim yang dia ketahui dan aktif di Jepang, baik perantauan Indonesia maupun para pelajar yang sedang melakukan studi disana.
Komunitas muslim tersebut termasuk Keluarga Masyarakat Islam Indonesiia (KMII), Organisasi Perkumpulan Keluarga Pasangan Muslim/Muslimah Indonesiia yang menikah dengan orang Jepang (FGA), dan yang ketiga, Perhimpunan Pelajar Indonesiia (PPI).
Dia juga mengatakan, setiap minggu di masing–masing wilayah selalu digelar pengajian baik ibu–ibu maupun anak–anak dari keluarga muslim Indonesia.
"Tiap wilayah ada kelompok pengajiannya, kaya di tempat gue, ada kelompok pengajian Ayase (PM Ayase)," tutur Nina. Ayase merujuk sebuah distrik di Kota Tokyo, yakni Adachi-ku.
Selain pasangan muslim Indonesia, di Jepang juga banyak orang muslim dari berbagai negara yang menetap dan menikah dengan orang Jepang. Salah satunya adalah seorang warga negara Turki, Ali Gerz yang menikah dengan Yuri, seorang arsitek di Jepang.
Pasangan ini dipertemukan di sebuah restoran yang mereka kunjungi. Percakapan panjang yang telah mereka lalui pada akhirnya berujung pada pernikahan. Yuri, yang merupakan seorang mualaf pada awalnya dia tidak menyadari bahwa Ali adalah seorang muslim.
“Dia tidak mengatakannya. Saya akhirnya bertanya kepadanya setelah menyadari ada beberapa hidangan yang tidak akan dia makan,” kata Yuri, sebagaimana dikutip Nippon.
Pada awalnya, pandangan dia akan Islam sudah terpengaruhi oleh media, namun dengan hubungannya bersama Ali telah memberikan pemahaman yang berbeda tentang agama Islam.
“Saya terkejut melihat betapa murni dan tulusnya dia. Itu membuat saya sadar bahwa muslim berbeda dari cerita yang sering Anda lihat di berita,” tuturnya.
Profesor Hirofumi Tanada dari Waseda University dalam artikel berjudul Ever Growing Muslim Community in the World and Japan menulis, umat muslim yang tinggal di Jepang berasal dari beragam latar kebangsaan, suku, budaya, gaya hidup, pakaian, dan lain sebagainya.
Beberapa muslim secara ketat mengikuti adat dan tradiri seperti salat dan puasa, sementara yang lain lebih bebas dengan tidak mengikutinya. Menurut Tanada, orang yang belum pernah bertemu atau berinteraksi dengan muslim mungkin akan salah paham dan muncul stereotip terhadap mereka.
"Untuk lebih memahami Islam dan muslim, perlu berinteraksi dengan mereka secara pribadi. Namun, karena mereka merupakan komunitas minoritas di Jepang, kesempatan itu jarang kami dapat dalam kehidupan sehari-hari," ujar Tanada.
"Meskipun tidak mudah mengubah kesalahpahaman dan stereotip kami tentang komunitas muslim seperti yang digambarkan media, saya berharap orang-orang bisa mulai dengan menaruh minat pada mereka dan mengunjungi masjid-masjid yang terbuka untuk masyarakat umum," kata Tanada, menambahkan.
Tanada menulis, populasi muslim akan terus bertambah di Eropa dan Jepang. Akan tetapi pertumbuhannya bukan hanya karena imigran muslim. Di Inggris, setengah populasi muslim lahir dan besar di negara tersebut.
Muslim generasi kedua dan ketiga di Jepang akan menjadi "muslim hibrida" yang dihadapkan pada beragam latar budaya. Mereka akan menjadi orang-orang yang membantu menjembatani komunitas lokal dan komunitas muslim.
"Saya berharap ketika kita bertemu mereka dalam waktu dekat, kita dapat blajar dan bekerja sama secara harmonis," ujar Tanada.