tirto.id - Masjid As-Syuro atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Cipari terletak di tengah permukiman warga yang dikelilingi persawahan. Sebelum bagian depannya ditambahi bangunan baru, wujudnya sangat mirip gereja. Menaranya menjulang setinggi dua puluh meter. Pada kanopi penutup ventilasi kubah menara nampak lubang kecil bekas peluru.
17 April 1952, pasukan Darul Islam menyerbu kompleks Pesantren Darussalam, tempat masjid ini berada. Kiai Yusuf Tauziri pimpinan pesantren, dan santri-santrinya berusaha bertahan dari penyerbuan. Masjid Cipari menjadi benteng pertahanan terakhir.
Masjid Cipari terletak di Kampung Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut. Minggu (4/2/2019) saya mencapai masjid ini lewat Cibatu. Para santri tengah istirahat menjelang salat Zuhur. Di atas pintu selatan masjid terdapat plakat bertuliskan:
“Masdjid Sjoero
1355 Sjawal-April 1936
Tjipari”
Menurut Nasyrul Fu’adz, pengurus Yayasan Pesantren Cipari, bangunan masjid termasuk kubah tak berubah sejak awal dibangun pada permulaan 1930-an, kecuali sebagian kecil yang diganti karena sudah tua dan keropos. Bagian-bagian masjid berbahan kayu yang diganti itu meliputi pintu, sejumlah jendela, dan lantai menara.
Ada pula bagian tambahan meliputi kanopi jendela luar, kaca penutup ventilasi atas, tempat wudu dan jamban, serta bangunan di bagian depan masjid untuk jamaah santri putri yang letaknya di sebelah timur.
Mulanya, saya kesulitan menemukan lubang bekas peluru itu. Ternyata menurut keterangan Nasyrul Fu’adz, lubang-lubang peluru di bangunan utama masjid telah lama diperbaiki, sementara di bagian menara sudah ditambal, yang tersisa hanya pada lempengan seng penutup ventilasi menara.
Puluhan anak tangga kecil menuju puncak manara dilapisi karpet hijau. Sebuah jendela kaca yang telah pecah tergelak di lantai menara. Dari atas menara, nampak barisan pergunungan, hamparan sawah, dan permukiman penduduk.
Menurut Iim Imadudin dalam “Peranan Kiai dan Pesantren Cipari Garut Menghadapi DI/TII 1948-1962” pada jurnal Patanjala Vol. 2 No. 1, Maret 2010, yang diterbitkan oleh Balai Pelestari Sejarah dan Tradisional Bandung, masjid ini dirancang oleh Abikoesno Tjokrosoejoso, adik dari tokoh Sarekat Islam, Tjokroaminoto.
Bangunan bergaya art deco ini tampak mencolok. Pelbagai aksen pada bagian luar berupa garis-garis lurus memanjang pada ventilasi udara dan sudut-sudut bangunan menguarkan kesan yang khas.
Penyerbuan yang dilakukan pasukan Darul Islam 67 tahun lalu adalah yang terbesar dalam usaha membumihanguskan Pesantren Darussalam. Solahudin dalam The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jema’ah Islamiyah (2013) mencatat, pesantren ini sejak 1949 sampai 1958 diserang sebanyak 47 kali. Penyerangan pada 1952 adalah yang terbesar.
Serbuan selama delapan jam pada 17 April 1952 tersebut menghancurkan bangunan pesantren dan merusak masjid, tapi tak mampu membunuh Kiai Yusuf Tauziri. Ia dan para santrinya bertahan dengan menggunakan tujuh pucuk senapan dan dan dua peti granat. Sebelas santri tewas dan lebih dari 10 pasukan Darul Islam binasa.
Hiroko Horikoshi penulis The Darul Islam Movement In West Java 1948-62 (1975) seperti dikutip Iim Imadudin mencatat, pada 17 April 1952 sekitar 3.000 pasukan Darul Islam melakukan serangan sebanyak tiga kali. Tembak-menembak pada serbuan tersebut berlangsung sampai pukul tiga pagi.
Menurut Solahudin, serangan Darul Islam terhadap Pesantren Cipari adalah contoh ideologi takfiri dari Kartosuwirjo. Takfiri adalah mengkafirkan orang lain yang di luar golongannya.
Sikap permusuhan yang dibangun Kartosuwirjo terhadap Kiai Yusuf Tauziri, menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1983), bermula sejak 1945, saat pimpinan Pesantren Cipari itu menolak permintaan Kartosuwirjo memproklamasikan Negara Islam. Permintaan kedua terjadi pada 1948, lagi-lagi ditolak oleh Kiai Yusuf Tauziri.
“Ide untuk mendirikan Negara Islam, melenyapkan republik kesatuan adalah di luar apa yang hendak diusahakan sebagian besar kelompok Islam di bawah pengaruh Yusuf (Tauziri). […] Pada waktu TII terbentuk hanya satu kelompok Hizbullah, kelompok Tasikmalaya yang dipimpin Oni (kemudian menjadi Perdana Menteri DI), tetap bersama Kartosuwirjo,” tulis van Dijk mengutip dari Hiroko Horikoshi dalam The Darul Islam Movement In West Java 1948-62 (1975).
Suherlan, Pimpinan Pesantren Cipari, dan Nasyrul Fu’adz menyebutkan, para orangtua yang mengalami peristiwa ini telah tiada. Yang terakhir meninggal pada 2017 lalu.
Namun, Iim Imadudin sempat mewawancara sejumlah sepuh yang mengalami peristiwa tersebut. H. Salaf Soleh yang ia wawancarai menyampaikan tentang perbedaan pandangan antara Kartosoewirjo dan Kiai Yusuf Tauziri. Jika Kartosoewirjo berusaha mengislamkan negara lewat pendirian Negara Islam Indonesia, maka Kiai Yusuf Tauziri berpandangan bahwa yang terpenting adalah mengislamkan masyarakat. Pandangannya ini ia analogikan sebagai berikut:
“…lamun imah ruksak di salah sahiji imah saperti panto, ulah diruksak sakabéh imah, tapi panto wéh nu kudu dibenerkeun…jeung ulah sakali-kali nyieun imah di jero imah (kalau rumah rusak di antara salah satu bagian rumah seperti pintu, jangan dirusak semuanya (rumah), tetapi pintunya saja diperbaiki…dan jangan pernah membuat rumah di dalam rumah).”
Majalah Tempo edisi 16 Agustus 2010 dalam liputan khususnya yang bertajuk “Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam” mencatat hubungan antara kedua orang ini yang sempat dekat.
Saat Kartosoewirjo menjauh dari pusaran politik di pusat kekuasaan, ia menetap di Malangbong, Garut. Di sinilah ia berguru mempelajari Islam kepada sejumlah kiai, salah satunya Kiai Yusuf Tauziri.
“Keakraban Kartosoewirjo dengan Yusuf Tauziri terjalin antara 1931 dan 1938, saat sang Kiai duduk dalam Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Kiai Yusuf kemudian menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo,” tulis Tempo.
Pada kongres PSII pada 1936, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua partai. Namun, pada Januari 1940, ia dipecat oleh partai karena dituduh menyalahgunakan dana partai. Ia bersama Kiai Yusuf Tauziri kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran PSII yang diklaim sebagai kelanjutan dari PSII yang sebenarnya.
Kedekatan itu akhirnya retak setelah Kiai Yusuf Tauziri berseberangan pandangan dengan Kartosoewirjo tentang konsep negara Islam.
Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1983) menyatakan ada gerombolan-gerombolan liar dalam gerakan Darul Islam. Menurutnya, yang paling menonjol dari kelompok-kelompok tersebut adalah Bambu Runcing dan Brigade Citarum.
Namun, ia menyebutkan kelompok Bambu Runcing yang pada awalnya dipimpin Chaerul Saleh tidak beroperasi di wilayah Priangan, melainkan di Jakarta, Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan Subang. Sementara itu, Brigade Citarum kerap beraksi di daerah Sukabumi, Cianjur, dan Bandung.
Pada hari-hari penuh kontak senjata itu, mereka kerap bertempur satu sama lain dan kadang juga bekerja sama. Jika tengah bermusuhan, kedua kelompok beda ideologi ini saling menculik para pemimpin kedua belah pihak. Bahkan, dalam catatan van Dijk, kelompok Bambu Runcing Sukabuki sempat mengancam akan menghabisi semua ulama pada bulan puasa.
Editor: Maulida Sri Handayani