tirto.id - Amien Rais menyerukan people power jika ada kecurangan di Pilpres 2019 mendatang. Padahal, mekanisme seharusnya adalah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika tidak puas dengan hasil pemilihan umum (pemilu). Sejatinya, Amien Rais punya peran yang cukup sentral dalam sejarah terbentuknya MK.
“Kalau sampai nanti terjadi kecurangan, sifatnya terukur, sistematis dan masif, ada bukti, itu kita enggak akan ke MK, enggak ada gunanya, tapi kita langsung people power!” lantang Amien Rais, Dewan Pembina Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/3/2019) lalu.
Namun, Amien Rais memastikan bahwa jika nantinya massa digerakkan, situasi tetap damai. “Bukan revolusi, kalau revolusi ada pertumpahan darah. Ini tanpa sedikit pun darah tercecer, people power akan digunakan,” tandas Ketua Dewan Pembina Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Statement Amien Rais sontak memicu sorotan, termasuk dari MK sendiri. “Pernyataan itu, selain dapat dikategorikan sebagai contempt of court [penghinaan] terhadap MK sebagai lembaga peradilan, juga telah menafikan kerja keras seluruh komponen MK selama ini untuk menguatkan public trust terhadap MK,” kata Juru Bicara MK, Fajar Laksono, di Jakarta, Senin (1/4/2019), kepada Tirto.id.
Fajar Laksono heran karena Amien Rais adalah orang yang ikut andil dalam sejarah terbentuknya MK. “Publik semua tahu, Pak Amien Rais merupakan pelaku sejarah, bahkan memimpin MPR tatkala melakukan perubahan UUD 1945,” ujarnya, dikutip dari Detik.com.
“[...] termasuk turut menggagas dan mengesahkan pembentukan MK dengan segenap kewenangannya yang salah satunya kewenangan memutus sengketa hasil pemilu. Ini yang membuat kita sulit mengerti logika berpikirnya dan tentu saja menyesalkan pernyataan tersebut," imbuh Fajar Laksono.
Riwayat Terbentuknya MK
Mahkamah Konstitusi di Indonesia baru terbentuk setelah tumbangnya rezim Soeharto atau pasca-Reformasi 1998. Namun, perdebatan mengenai hal ini sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum Indonesia merdeka.
Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 11 Juni 1945, Mohammad Yamin mencetuskan gagasan tentang perlu dibentuknya suatu majelis tertinggi yang disebutnya dengan istilah Balai Agung.
“Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding undang-undang, maka Balai Agung inilah akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syariah, dan Undang-Undang Dasar,” papar Yamin dikutip dari Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 22 Mei 1945-22 Agustus 1945 (1995) suntingan Saafroedin Bahar.
Namun, usulan Yamin ini mendapat penolakan dari beberapa anggota sidang lainnya, salah satunya adalah Soepomo. Menurutnya, pembentukan majelis tertinggi atau yang oleh Yamin dinamakan Badan Agung belum diperlukan untuk negara Indonesia yang bakal merdeka nanti.
Bahkan, kata Soepomo, masalah ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli tata negara di dunia, terlebih para ahli hukum di Indonesia yang sama sekali belum memiliki pengalaman terkait hal ini.
“Kita harus mengetahui bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda, saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu,” tutur Soepomo.
Maka, mahkamah tertinggi yang dikehendaki Yamin pun tidak pernah terbentuk, bahkan setelah Orde Lama gulung tikar, kemudian berlanjut ke Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun.
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pasca-reformasi membuka peluang dibentuknya Mahkamah Konstitusi karena kehidupan demokrasi di Indonesia, yang berbeda jauh dengan selama Orde Lama maupun Orde Baru, ternyata membutuhkan itu.
Setelah melalui perdebatan panjang, pembahasan mendalam, dan mengkaji lembaga pengujian konstitusional UU di berbagai negara, serta mendengarkan masukan dari berbagai pihak, rumusan pembentukan MK diakomodir oleh MPR dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 pada 9 November 2001.
Jimly Asshiddiqie dalam Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (2007) menyebutkan, momentum tersebut merupakan awal dari sejarah Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung (MA), yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, MK adalah lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, kewajiban MK adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
MK secara resmi dibentuk pada 16 Agustus 2003. Saat itu, Amien Rais menjabat Ketua MPR (1999-2004) yang tentu saja sangat mengerti proses, alasan, dan tujuan dibentuknya MK. Salah satunya sebagai majelis pemberi keputusan ketika terjadi ketidakpuasan dalam hasil pemilu, bukan justru menyerukan gerakan massa atau people power.
Editor: Mufti Sholih