tirto.id - Melalui logo, Piala Dunia Qatar 2022 langsung menunjukkan jati dirinya: ia akan berlangsung pada musim dingin, di tanah Arab, dan akan dimainkan di delapan stadion berbeda.
FIFA resmi meluncurkan logo Piala Dunia itu pada 3 September 2019, tepat 48 tahun setelah Qatar bebas dari cengkeraman Inggris. Logo tersebut muncul di beberapa situs bersejarah yang terdapat di Doha, Kuwait, hingga Beirut, serta papan iklan raksasa di Madrid, Milan, sampai Buenos Aires, Argentina. FIFA memamerkannya di 25 kota besar yang terdapat di pelbagai penjuru dunia.
Menurut Aljazeera, ribuan orang menjadi saksi penampakannya, dan sebelum mereka mempertanyakan arti dari logo tersebut, FIFA memberikan penjelasan.
“Desain ini menjadi pengejawantahan visi dari turnamen yang menghubungkan dan melibatkan seluruh dunia, juga menampilkan unsur-unsur mencolok dari budaya lokal dan regional Arab, juga kiasan untuk permainan yang indah,” tulis situs resmi FIFA.
Logo itu berupa selendang musim dingin khas Arab, lengkungan kurva tajam di bagian atas menggambarkan ombak gurun pasir, membentuk angka delapan sebagai jumlah stadion yang sekaligus membentuk tropi piala dunia. Sementara ornamen-ornanen lain berkaitan erat dengan budaya Asia.
Ornamen di bagian bawah logo adalah sejenis sulaman yang selalu menghiasi selendang khas Arab. Namun, detail dari sulaman itu sejatinya mengambil inspirasi dari budaya Asia sebagai penanda bahwa Piala Dunia akan berlangsung di Asia untuk kedua kalinya.
Secara visual, logo itu mampu memberi petunjuk bahwa pada November-Desember 2022 nanti akan ada pesta sepakbola dunia di Qatar. Namun, seperti logo-logo Piala Dunia beberapa tahun ke belakang, logo itu juga tak lepas dari kritik.
Salah satu kritik paling menarik datang dari Underconsideration, sebuah konsultan desain dari Bloomington, Amerika Serikat.
“Satu-satunya keluhan utama saya ialah ukuran tulisan 'FIFA WORLD CUP' yang terlalu besar. Sebuah ukuran yang justru mampu mengungkapkan betapa tak menariknya kata-kata itu,” ungkap Serge Born, kritikus desain di Underconsideration pada kanal “Brand New”.
Berawal dari Poster
Dalam setiap gelaran Piala Dunia, Anda barangkali mampu menangkap eksistensi Piala Dunia melalui grafis tunggal. Tim mana pun yang Anda dukung, siapa pun pemain kesayangan Anda, hingga bagaimana perasaan Anda, grafis tunggal itu akan selalu berusaha memastikan Anda tak akan pernah ketinggalan pesta.
Pada beberapa edisi awal Piala Dunia, grafis tunggal itu ternyata tidak diwakili oleh sebuah logo, melainkan lewat poster. Sewaktu Perang Dunia Pertama, poster merupakan sarana utama untuk menyebarkan informasi secara luas. Ia berguna untuk mengumpulkan dukungan, menjadi tanda dari sebuah tindakan, hingga menjadi penguat moral.
Pada empat edisi awal Piala Dunia, yakni tahun 1930 di Uruguay, 1934 di Italia, 1938 di Prancis, dan 1950 di Brasil, FIFA selalu menggunakan poster sebagai wujud dari eksistensi Piala Dunia.
Poster-poster Piala Dunia tersebut berbeda dari poster perang. Jika poster perang terkesan muram, maka poster Piala Dunia lebih meriah. Selain itu, poster Piala Dunia juga lebih artistik karena bergaya art deco yang dinilai anggun, fungsional, dan ultra modern.
Sebagai contoh, poster Piala Dunia 1930 di Uruguay yang menggambarkan seorang kiper yang sedang melakukan penyelamatan gawang dari kebobolan didominasi warna cerah seperti hijau muda, oranye, dan biru muda. Menurut Emily Esposito dalamInside Desing, poster tersebut “terinspirasi oleh karya seni Avant Garde.”
Avant Garde kala itu merupakan istilah yang merujuk kepada karya seni eksperimental dan inspiratif. Sebelumnya, di kalangan militer, istilah itu amat lekat dengan tentara yang biasa bertempur di garis depan. Sebelumnya lagi, istilah itu ialah kulminasi dari semangat bertarung yang berpendar pada pertengahan abad ke-19.
Seiring dengan berkembangnya sarana komunikasi lain seperti radio dan televisi, gelaran Piala Dunia lantas melakukan terobosan anyar sejak Piala Dunia 1954. Poster tetap dibikin, tetapi hampir setiap tuan rumah mulai mencoba untuk menonjolkan indentitas melalui sebuah logo.
Logo-logo itu dibikin semenarik mungkin dengan gaya yang berbeda-beda. Ada yang minimalis, sebagian tampak tradisional, dan beberapa tampak retro. Namun, logo-logo itu tak bisa lepas dari dua elemen penting yakni bola dan tuan rumah penyelenggara.
Logo Piala Dunia 1962 di Chile menggambarkan sebuah stadion yang terletak di tengah-tengah lingkaran, yang separuhnya menggambarkan bola dan separuhnya lagi menggambarkan dunia. Di atas lapangan stadion tersebut terdapat bendera Chile yang seolah sedang jadi pusat gravitasi dunia.
Sementara contoh lain pada logo Piala Dunia 1970 di Meksiko. Meskipun terkesan klasik dan sederhana, logo karya Lance Wyman ini sangat ikonik. Wayman menggambarkan bola dengan rangkaian heksagon dan pentagon yang tak teratur, sedangkan lambang negara dilukiskan lewat tulisan. The Pudding, salah satu agensi desain dari Inggris menyebutnya sebagai “standar baru untuk masa depan logo Piala Dunia serta acara besar olahraga lainnya.”
Sayangnya, kreativitas untuk menonjolkan identitas tuan rumah Piala Dunia hanya mentok sampai di Piala Dunia Prancis 1998. Setelah itu, FIFA mulai membatasi setiap desain logo. Penyebabnya, tulis Margaret Rhodes, editor di Google Design, “FIFA tidak mempunyai identitas yang jelas dalam logo-logo tersebut.”
Otoritas FIFA
Pada Desember 2016, Lance Wyman berbicara kepada Design Week--salah satu majalah desain asal Inggris--mengenai proses kreatifnya ketika menciptakan logo Olimpiade 1968 yang berlangsung di Meksiko. Sebelum membuat logo, ia banyak menghabiskan waktu di Meksiko untuk melakukan riset dengan mempelajari budaya Meksiko dan mengembangkan ide dalam kepalanya. Ia memberikan alasan mengapa logo itu akhirnya jadi sangat ikonik hingga sekarang.
“Saat itu aku tinggal di New York dan tidak tahu banyak soal Meksiko, jadi itu adalah sebuah penemuan,” kata Wyman.
“Aku selalu mengatakan kepada murid-muridku, ‘Jangan pernah mengabaikan yang ada di depan mata.’ Setiap bagian dari sebuah kota adalah bagian dari sejarah. Di Meksiko, aku tiba-tiba bisa menemukan apa yang benar-benar aku butuhkan,” imbuhnya.
Ketentuan rancangan logo Piala Dunia yang berlaku sekarang akan membuat kerja-kerja kreatif seperti yang dilakukan Wyman bisa jadi hanya akan menguap ke udara.
Sejak gelaran Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang, logo Piala Dunia mulai menjadi properti FIFA. Dalam setiap desainnya, selain tuan rumah, FIFA juga menghendaki mempunyai identitas yang jelas hingga mereka melakukan campur tangan yang lebih besar dalam setiap rancangan.
Para perancang logo tidak hanya dibendung idenya, tapi juga mulai diarahkan untuk membuat logo yang sesuai dengan standar FIFA. Dan mulai Piala Dunia 2014 batasan itu bahkan semakin terlihat terang benderang: selain mampu menunjukkan identitas tuan rumah, logo itu juga harus mampu menggambarkan bentuk tropi Piala Dunia. Batasan lain adalah para perancang tidak boleh membicarakan proses kreatifnya.
“Itu adalah bagian kontrak kami dengan FIFA,” kata Miguel Viana, desainer asal Lisbon yang ikut mengerjakan logo Piala Dunia Moskow 2018.
“Itu (proses kreatif) mustahil untuk dibicarakan,” imbuhnya.
Pelbagai batasan tersebut, terutama tiga edisi Piala Dunia terakhir, membuat rancangan logo Piala Dunia seringkali dinilai tak memuaskan. Komposisi tipografi dalam logo Piala Dunia 2022 di Qatar dianggap mengecewakan. Sementara logo Piala Dunia 2018 di Moskow mengandung terlalu banyak elemen, dan logo Piala Dunia 2014 di Brasil adalah salah satu logo Piala Dunia terburuk yang pernah ada.
“Setiap kali logo [Piala Dunia 2014] itu muncul di layar, logo itu membuat saya merasa ngeri,” kata Mauricio Fontinele dari Underconsideration.
“Itu lebih mengerikan daripada saat saya melihat Brasil kebobolan tujuh kali [oleh Jerman],” terangnya.
Mengapa demikian? Gambar tangan dalam logo itu mirip dengan tangan “alien”. Selain itu, warganet juga pernah menilai bahwa logo itu justru tampak seperti ekspresi seseorang yang baru saja melihat kejadian memalukan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi