Menuju konten utama

Sejarah Lahirnya Antropologi sebagai Ilmu Pengetahuan

Sejarah lahirnya Antropologi sebagai ilmu pengetahuan diyakini bermula pada abad ke-19. Simak penjelasan lengkapnya dalam artikel berikut ini.

Sejarah Lahirnya Antropologi sebagai Ilmu Pengetahuan
Ilustrasi Ilmu Antropologi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Antropologi adalah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, serta kepercayaannya pada masa lampau.

Tujuan antropologi ialah mempelajari kehidupan manusia, dari asal-usul hingga budayanya, secara jelas dan tidak bias. Untuk mencapai tujuan tersebut, para antropolog salah satunya melakukan pengamatan subjek secara langsung di lingkungan lokal penduduk tertentu.

Daniel Fernandez dalam Handout Antropologi (2018) menjelaskan, kacamata atau sudut pandangan yang digunakan antropologi dalam melihat melihat asal usul dan perkembangan masyarakat dan budaya manusia begitu luas.

Maka dari itu, dibutuhkan adanya ruang lingkup atau batasan pembahasan yang membedakan antropologi dengan disiplin ilmu lainnya. Ruang lingkup antropologi yang dipelajari dalam jenjang pendidikan di Indonesia meliputi:

  • Budaya sebagai acuan, pedoman pada sikap ataupun perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Proses pewarisan sistem nilai, dan perubahan budaya.
  • Peranan kemajuan kebudayaan dalam pembangunan masyarakat.
  • Posisi budaya Indonesia di tengah situasi perubahan masyarakat di dunia.
  • Hubungan budaya dengan lingkungan, baik lingkungan alam, maupun lingkungan sosial. Hal itulah yang membentuk sistem sosial budaya (social cultural system).

Sejak Kapan Antropologi Dikenal Sebagai Ilmu Pengetahuan?

Sejarah berdirinya ilmu antropologi diyakini bermula pada abad ke-19. Sejarah ilmu antropologi dimulai bersamaan dengan lahirnya teori Charles Darwin tentang evolusi manusia, melalui buku The Origin of Species (1859).

Dalam teorinya, Darwin menegaskan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nenek moyang yang sama. Hal ini dimulainya kaitan fosil-fosil dengan strata geologi tertentu, dan fósil-fosil nenek moyang ditemukan dengan yang paling terkenal spesies Neanderthal pada 1856.

Pada 1871, Darwin menerbitkan The Descent of Man, yang menyatakan bahwa manusia memiliki nenek moyang yang sama dengan kera besar Afrika. Darwin menyimpulkan penelitiannya tersebut, bahwa evolusi spesies manusia bermuara pada kecerdasan yang menghasilkan bahasa dan teknologi.

Edward Burnett Tylor, salah satu Antropolog perintis, menyimpulkan bahwa kecerdasan yang meningkat diimbangi peradaban yang maju. Perkembangan masyarakat dapat disusun berurutan secara periodik, sejak zaman batu, zaman besi, zaman perunggu, masa berburu, meramu, pertanian, hingga era industri.

Dikutip dari Education National Geographic, penelitian terkait kehidupan manusia sejatinya telah dilakukan sejak Zaman Pencerahan, gerakan intelektual filosofis di Eropa abad ke-18.

Penelitian yang dilakukan pada Zaman Pencerahan banyak dipengaruhi oleh karya sejarawan alam. Misalnya, Georges Buffon, yang mempelajari manusia sebagai spesies zoologi—komunitas homo sapiens hanyalah salah satu bagian dari flora dan fauna suatu daerah.

Bagaimana Sejarah Timbulnya Ilmu Antropologi?

Koentjaraningrat, dalam buku Antropologi (2021) karya Okta Hadi Nurcahyono, menjelaskan bahwa sejarah ilmu antropologi dimulai dari tulisan-tulisan filsuf, pesyarah Yunani, sejarah Arab dan Eropa kuno, serta abad pencerahan (renaisans), yang dianggap sebagai pendorong tradisi antropologi.

Sejarah berdirinya ilmu antropologi, menurut pandangan Koentjaraningrat, terdiri atas 4 fase, meliputi:

1. Fase Pertama (Sebelum Abad ke-18)

Fase pertama dalam fase penemuan dan pencatatan, kemudian muncul istilah etnografi adalah konsep pelukisan suku bangsa yang dilakukan orang Eropa terhadap negara-negara yang disinggahi.

2. Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)

Fase kedua adalah penyusunan dan analisis bahan etnografi berupa menyusun karangan etnografi berdasarkan cara pikir evolusi masyarakat. Di sisi lain, antropologi di fase kedua mulai menjadi ilmu yang bersifat akademik.

3. Fase Ketiga (Awal Abad ke-20)

Fase ketiga adalah kolonialisme dan imperialisme, ketika ilmu antropologi digunakan bangsa Eropa untuk mendukung pemerintahan kolonial.

4. Fase Keempat (Sesudah Tahun 1930)

Fase keempat adalah fase era pembaharuan dan penemuan ilmu antropologi. Faktor pendorong perkembangan antropologi yang cukup pesat pada periode ini, meliputi:

  • bertambahnya bahan pengetahuan
  • Ketajaman metode ilmiah
  • Hilangnya istilah primitif
  • Spirit antikolonialisme yang menyuburkan kajian pascakolonial

5. Fase Kelima (Setelah Tahun 1970)

Koentjaraningrat tidak menuliskan fase kelima. Namun menurut sumber lain, perkembangan antropologi fase kelima salah satunya penelitian Antropolog Uni Soviet tentang dasar dalam pengambilan kebijakan terkait upaya membangun pengertian di antara penduduk pribumi.

Baca juga artikel terkait ANTROPOLOGI atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin