tirto.id - Benny Tjokrosaputro, pemilik PT Hanson International Tbk (MYRX) di Solo, tengah menjadi pemberitaan. Pasalnya, ia menjadi sasaran kegeraman sejumlah nasabah investasi di perusahaan tersebut karena dana mereka belum dikembalikan. Total dana nasabah yang macet diperkirakan Rp 2,5 triliun.
Rekam jejak Benny di dunia usaha memang tidak mulus. Tahun 1997, ia terlibat transaksi semu saham Bank Pikko. Perkara ini membuat Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam) mewajibkan Benny mengembalikan keuntungan dari transaksi Bank Pikko senilai Rp1 miliar kepada negara.
Benny berasal dari keluarga pengusaha. Ayahnya, Handoko Tjokrosaputro alias Kwee Han Tion, dan dua orang pamannya yang bernama Handiman alias Kwee Han Lim dan Handianto adalah juga para pebisnis. Keluarga Tjokrosaputro adalah pedagang batik dengan jenama Batik Keris. Sejarah keluarga ini bermula dari Kwee Tiong Djing.
Pada 1920, Kwee Tiong Djing mulai berbisnis di Jalan Nonongan, Solo. Usahanya adalah pembuatan batik tulis kecil-kecilan. Sembilan tahun kemudian, ia mempunya anak yang diberi nama Kwee Som Tjok.
Menurut Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches 4th edition (2014:350), Kwee Som Tjok kemudian dikenal dengan nama Kasom Tjokrosaputro. Dari sinilah mulanya anak dan cucu Kasom memakai nama belakang Tjokrosaputro.
Meski usaha keluarga sudah dimulai sejak tahun 1920, akan tetapi tahun 1947 dianggap sebagai tonggak penting dari usaha Batik Keris yang digerakkan oleh Kasom Tjokrosaputro dan istrinya, Gaitini.
Pada 1960-an, seperti dicatat Tempo (15/01/1977), Kasom yang pernah ikut turnamen tenis nasional ini mendapat warisan pabrik batik dari orang tuanya. Tahun 1966, usaha batik keluarga ini sempat terancam, penyebabnya karena Kasom ikut berpolitik. Ia menjadi donatur dari organisasi keturunan Tionghoa, yaitu Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).
Sebelum 1965, pada masa kepemimpinan Siauw Giok Tjhan, Baperki dikenal dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lembaga pendidikan yang didirikan oleh Baperki, yakni Universitas Res Publica--kini menjadi Universitas Trisakti (Jakarta) dan Universitas Surabaya--sempat diserang massa yang mengamuk setelah peristiwa G30S.
“Sewaktu G30S pecah, saya tidak ditahan tapi ‘diamankan’ saja,” kata Kasom Tjokrosaputro seperti dicatat Rum Aly dalam Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (2004:237).
Selain itu, seperti dicatat Tempo, ia juga pernah diskors dari Koperasi Batik Batari karena menjadi donatur Baperki dan mengalami penahanan di Semarang. Di masa itu, rumah orang yang tidak disukai dengan dalih PKI, tidak jarang jadi sasaran pembakaran, termasuk rumah keluarga Tjokrosaputra. Rumah mereka menjadi sasaran amuk massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
“Memang sudah banyak orang-orang yang tidak suka melihat kemajuan-kemajuan yang saya capai sekarang ini dan berusaha mengungkapkan keanggotaan saya di Baperki,” lanjut Kasom yang baru tiga bulan jadi anggota Baperki sebelum G30S meletus.
Meski dirinya terancam, namun bisnis Kasom tetap jalan. Bahkan ia dan keluarganya akhirnya tidak lagi menjadi bulan-bulanan Orde Baru. Dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984:148) tercatat bahwa Handoko, anak Kasom, justru merasa bersyukur hidup di zaman Orde Baru karena dunia bisnis lebih berkembang dibandingkan masa sebelumnya.
Tahun 1974, pemegang saham Batik Keris mendirikan pabrik tekstil yang bernama PT Dan Liris di Solo. Konon, selain berjualan di pasar domestik, perusahaan ini telah mengekspor produknya ke lebih dari 20 negara. Batik Keris dan PT Dan Liris punya ribuan karyawan.
Menurut Tempo, Batik Keris punya gerai di Sarinah dan tempat itulah pernah dipamerkan batik karya istri dan ibu mertua daripada Soeharto. Saat perusahaan keluarganya mulai berjaya, Kasom tutup usia pada 29 Desember 1976 di Australia, setelah sebelum sempat dirawat di Rumah Sakit St Carolus, Salemba.
Setelah Kasom meninggal dunia, bisnis batiknya diteruskan oleh Handoko dan Handiman yang enam bulan sebelum orang tuanya meninggal telah mulai perusahaan tersebut. Batik Keris juga sempat dipimpin oleh Handianto yang meninggal dunia pada 2 Desember 2018.
Anak-anak Kasom bersekolah tinggi. Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008:142) menyebutkan bahwa salah seorang anak Kasom kuliah di Jurusan Teknik Mesin ITB. Semantara anak yang satu lagi belajar tentang tekstil di Philadelphia.
Seperti ayahnya, anak-anak Kasom pun bersikap sama terhadap pendidikan. Benny, cucu dari pelopor Batik Keris, kuliah di jurusan yang mendalami bidang keuangan dan kini ia terjerembab karena "bermain uang".
Editor: Irfan Teguh