Menuju konten utama

Sejarah Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan saat Menjadi Khalifah

Artikel di bawah ini akan menjelaskan secara singkat mengenai sejarah kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan saat menjadi khalifah.

Sejarah Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan saat Menjadi Khalifah
Sejarah Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan saat Menjadi Khalifah./Ilustrasi Khalifahi. tirto.id/Fuad

tirto.id - Kekhalifahan Umayyah merupakan dinasti pertama yang berdiri setelah era Khulafaur Rasyidin yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan.

Salah satu kebijakan Muawiyah ibn Abi Sufyan di antaranya adalah memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah.

Muawiyah I atau Muawiyah bin Abu Sufyan merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang sempat dijadikan juru tulis beliau. Muawiyah juga merupakan pendiri Dinasti Bani Umayyah.

Perang Shiffin menjadi awal mula berdirinya Dinasti Umayyah. Perang Shiffin merupakan perang saudara antara kubu Muawiyah 1 kontra Ali bin Abi Thalib, khalifah ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Setelah Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin setelah khalifah Utsman bin Affan dan wafat pada 29 Januari 661, kepemimpinan sempat dilanjutkan oleh Hasan, putra Ali dan cucu Nabi Muhammad, selama beberapa bulan.

Hasan kemudian melepaskan jabatannya. Usai Hasan bin Ali mundur, Muawiyah I kemudian menjabat sebagai pemimpin meskipun diwarnai dengan berbagai polemik di antara umat Islam sendiri. Dari sinilah sejarah Kekhalifahan Umayyah dimulai.

Salah satu kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan yang populer yakni politik dinasti dalam Islam. Beliau mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi monarchiheridetis (sistem pemerintahan turun temurun).

Muawiyah memulai kebijakan tersebut dengan mengangkat putranya yang Bernama Yazid bin Muawiyah menjadi putra mahkota.

Biografi Singkat Muawiyah bin Abu Sufyan

Muawiyah bin Abu Sufyan atau Abu Abdurrahman memiliki nama lengkap Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Syams bin Abdul Manaf.

Pendiri Dinasti Umayyah, Muawiyah bin Abu Sufyan lahir lima tahun sebelum pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi. Muawiyah masuk islam saat terjadi peristiwa Fathu Makkah.

Muawiyah bin Abu Sufyan senang mempelajari cara membaca, menulis, hingga matematika. Melihat hal tersebut, Rasulullah SAW tertarik untuk menjadikan pria tersebut sebagai juru tulis. Setidaknya, tercatat ada 163 hadits yang sudah diriwayatkan kepada Muawiyah dan ditulis olehnya.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Muawiyah diangkat menjadi salah satu panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Ketika Khalifah Utsman bin Affan menjabat, Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Syiria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus.

Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan saat Menjadi Khalifah

Muawiyah bin Abu Sufyan memangku jabatan Khalifah secara resmi pada tahun 661 M atau 41 H. Terdapat beberapa kebijakan Muawiyah yang dilakukannya selama menjadi Khalifah.

Pemindahan Pusat Pemerintahan dari Madinah ke Damaskus

Saat Umat Islam dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW, pusat pemerintahan ada di Madinah. Banyak kalangan yang menganggap kebijakan Rasulullah SAW tersebut harus dipertahankan, bahkan dianggap sebagai sunnah fi'liyah yang harus diikuti.

Karena hal tersebut, para Khulafaur Rasyidin tidak satupun yang memindahkan pusat pemerintahan tersebut. Berbeda halnya dengan keputusan Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menetapkan pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan tersebut merupakan Siyasah Syar'iyah.

Berdasarkan pendapat Ibnu Nujaim, siyasah syar'iyyah adalah: “Suatu tindakan atau kebijakan yang dilakukan seorang penguasa demi kemaslahatan yang dipandangnya baik, meskipun belum ada dalil/argumentasi yang terperinci yang mengaturnya.”

Dilansir Jurnal Ilmiah Keislaman Al-Fikra, beberapa hal berikut ini menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemindahan pusat pemerintahan.

  • Tidak adanya dalil yang mengharamkan
Berdasarkan pertimbangan ideologi keagamaan, tidak terdapat ketentuan hukum yang secara syar'i menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan.

Sebaliknya, tidak ada larangan syar'i yang mengharamkan pemindahan pusat pemerintahan. Oleh karena itu, dapat dikembalikan pada prinsip dasar bahwa segala sesuatu dianggap diizinkan (ibahah) kecuali ada dalil yang mengharamkannya (al-ash fi al-asya’ al-ibahah).

  • Faktor Politis dan Keamanan
Keadaan politik dan keamanan kala itu, menjadi salah satu pertimbangan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi Masyarakat.

Damaskus dipilih sebagai pusat pemerintahan karena jaraknya yang jauh dari Kufah, yang merupakan pusat pendukung Ali bin Abi Thalib di kalangan kaum Syi’ah.

Damaskus juga berjarak cukup jauh dari Hijaz, wilayah tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Dengan demikian, pemilihan Damaskus bertujuan untuk menghindari konflik yang lebih intens antara dua kelompok tersebut dalam persaingan untuk memperebutkan kekuasaan.

  • Pertimbangan strategi pemerintahan
Damaskus terletak di wilayah Syam (Suria) yang telah lama berada dalam kendali Muawiyah bin Abu Sufyan selama dua dekade sejak ia diangkat menjadi Gubernur distrik tersebut pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.

Oleh karena itu, pemilihan Damaskus sebagai pusat pemerintahan dapat diartikan sebagai strategi Muawiyah untuk membangun kekuatan politiknya guna mewujudkan ambisinya.

Hal ini dapat dimengerti karena secara psikologis, masyarakat Damaskus sudah akrab dengan kebijakan politik Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah memimpin mereka selama 20 tahun.

Mengubah Sistem Pemerintahan Khilafah menjadi Sistem Monarki

Perubahan ini terjadi ketika Yazid bin Muawiyah diangkat sebagai khalifah, yang merupakan anak dari Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan langkah ini, Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap sebagai tokoh pelopor dalam tradisi pengangkatan khalifah di kalangan umat muslim.

Sebelumnya, pada masa Khulafaur Rasyidin, pengangkatan khalifah dilakukan melalui musyawarah dan mufakat oleh umat muslim.

Beberapa pihak menilai bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap melanggar prinsip demokrasi yang ditegaskan dalam al-Qur'an, di mana segala urusan seharusnya diputuskan melalui musyawarah.

Keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat Islam golongan Syiah, pendukung Ali bin Abi Thalib, Abdul Rahman bin Abu bakar, Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair.

Tokoh kalangan Masyarakat Madinah bahkan mengadakan dialog dengan Muawiyyah untuk mengikuti jejak Rasulullah dalam urusan Khalifah, meski Muawiyyah tidak menggubris saran tersebut.

Muawiyyah beranggapan dikarenakan kekhawatiran akan munculnya ketidakstabilan dan ancaman terhadap keamanan, ia memutuskan untuk mengangkat putra mahkota sebagai penerusnya.

Baca juga artikel terkait MUAWIYAH atau tulisan lainnya dari Ruhma Syifwatul Jinan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ruhma Syifwatul Jinan
Penulis: Ruhma Syifwatul Jinan
Editor: Dhita Koesno