tirto.id - Keluarga Berencana yang didengungkan Presiden Soeharto di masa Orde Baru sebenarnya sudah ada dalam pikiran beberapa dokter Indonesia sejak 1950-an. Di masa lalu, punya anak banyak adalah hal biasa. “Banyak anak banyak rezeki,” begitu terngiang dalam kepala orang tua. Tentu saja kaum perempuan menjadi orang-orang yang paling sengsara. Tidak sedikit ibu yang meninggal dunia ketika melahirkan, bahkan anak yang dilahirkannya pun terkadang meninggal.
Kepada harian Kedaulatan Rakjat (16/08/1952), Kepala Jawatan Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Kementerian Kesehatan di Yogyakarta, Dokter Julie Sulianti Saroso, menyatakan sebaiknya para ibu berani dan mau melakukan pembatasan kelahiran. Kecaman pun datang padanya, tak terkecuali dari Gabungan Organisasi Wanita Yogyakarta (GOWY). Seperti dicatat Suara Karya (6/6/1989), yang terlampir dalam buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XI 1989 (2008: 840-43), GOWY berpendapat pembatasan kelahiran merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mengakibatkan pembunuhan terhadap bibit bayi, dan bahkan dapat memperluas pelacuran dan merusak moral masyarakat.
Menteri Kesehatan Johannes Leimena dan Presiden Sukarno menegur dan dr. Sulianti pun tidak menyinggungnya lagi. Meski dari sisi kesehatan membatasi kelahiran penting bagi ibu sebenarnya. Istilah pembatasan kelahiran pun tak dipakai.
Sekelompok perempuan yang peduli pada kesehatan ibu akhirnya mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) pada 12 November 1952, dengan diketuai Ny. Marsidah Soewito. YKK mendirikan klinik di Gondolayu. Beberapa dokter ahli di Jakarta seperti Sarwono Prawirohardjo, M. Judono, dan Koen S. Martiono kerap memeriksa kesehatan ibu yang telah melahirkan dalam program Post-Natal Care. Mereka memberi nasihat tentang mengatur kehamilan, terutama kepada mereka yang tergolong dalam kelompok berisiko tinggi bila melahirkan.
Dokter M. Judono kemudian mengirim Dokter Sarwono ke luar negeri untuk belajar soal pembatasan kelahiran. Dokter Hurustiati Subandrio, seorang dokter dan ahli antropologi yang berada di London dari tahun 1948 sampai 1953, juga menaruh perhatian soal pembatasan kelahiran. Setelah kembali ke Indonesia, dia mendirikan klinik bersama beberapa tokoh perempuan. Di beberapa daerah, tokoh-tokoh perempuan juga menggerakkannya. Begitu juga dokter Hanifa Wiknjosastro yang tahun 1953-1954 mengikuti kuliah pascasarjana bidang kebidanan di London.
Bicara pembatasan kelahiran adalah hal haram di tahun 1950-an. Para dokter itu hanya bisa bicara soal pembatasan kelahiran dengan sesama dokter.
“Barang siapa dengan terang-terangan mempertunjukkan ikhtiar untuk mencegah hamil, atau dengan terang-terangan dan tidak diminta menawarkan ikhtiar atau pertolongan untuk mencegah hamil, atau dengan menyiarkan tulisan menyatakan dengan tidak diminta bahwa ikhtiar atau pertolongan itu bisa didapat, dapat dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus rupiah,” begitu bunyi pasal 534 KUHP.
Pada akhir 1957 para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berkumpul Jalan Sam Ratulangi, Jakarta, di Gedung Ikatan Dokter. Ada Dokter Raden Suharto, dokter pribadi Sukarno, di sana. Pada pertemuan tanggal 23 Desember 1957 pukul 19.30 itu, seperti dicatat dalam Duapuluh Lima Tahun Gerakan KB di Indonesia (1982: 21), terbentuklah Perkumpulan Keluarga Berencana, yang kemudian berubah menjadi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Dokter R. Suharto adalah ketua pertamanya.
Program Keluarga Berencana itu diam-diam terkait dengan pembatasan kelahiran, sesuatu yang masih tabu dan haram. Di masa ini, setelah Dokter Suharto jadi Ketua Umum IDI, pendekatan soal keluarga berencana masih bersifat sosio-medis dan menerapkan asas kesukarelaan untuk menjarangkan kelahiran dan mengobati kemandulan. Semua masih diam-diam.
Di masa Demokrasi Terpimpin misi rahasia PKBI masih merayap. Menurut catatan Suara Karya (6/6/1989), “tahun 1963 itu ada 11 klinik yang memberikan pelayanan KB. Pemakaian alat kontrasepsi adalah 50 persen foaming tablet, 30 persen kondom, 10 persen diaphragms/jelly/paste, dan 4 persen intra uterine device.”
Ganti presiden, nasib KB agak membaik. Pada 1966, di provinsi dengan penduduk terpadat, DKI Jakarta, yang jadi sasaran urbanisasi, gubernurnya bersikap realistis. “Saya ingat betul, bulan Oktober 1966 Gubernur Ali Sadikin rnengatakan pakailah kota saya sebagai pilot project KB,” cerita dokter Hanifa, seperti dikutip Suara Karya.
Pada 17 Oktober 1968, setelah pengkajian di bawah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Idham Chalid dan atas restu Soeharto, Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang semi-pemerintah pun didirikan.
Pemerintah Orde Baru sangat mendukung. LKBN akhirnya menjadi Lembaga pemerintah non-departemen dengan nama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 1970, berdasarkan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 1970.
Keluarga Cendana Bukan Keluarga Ideal
Keluarga Berencana (KB) ideal ala Orde Baru adalah keluarga kecil dengan dua anak. Jargon utama KB adalah "Dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja". Beberapa patung peninggalan Orde Baru menggambarkan itu. Tak hanya patung sepasang laki-laki dan perempuan menggandeng dua anak, sering kali salah satu patung mengacungkan dua jari, seperti nomor urut Golkar dalam pemilu-pemilu Orde Baru.
Meski KB digalakkan di masa Orde Baru, keluarga Soeharto—yang kondang disebut Keluarga Cendana—jelas bukan keluarga ideal yang harus dicontoh rakyat Indonesia. Soeharto dan Tien punya 6 anak (3 laki-laki dan 3 perempuan). Jumlah ini tidak layak diikuti rakyatnya karena beban hidup modern semakin mencekik kantong orang Indonesia berpenghasilan rendah. Keluarga kecil bahagia-sejahtera tentu jadi hal realistis bagi sebagian orang. Bagi Soeharto, KB ada kaitannya dengan pengendalian jumlah penduduk Indonesia yang dengan mudah bertambah.
“Pelaksanaan keluarga berencana harus dirasakan sebagai kebutuhan masyarakat sendiri dan dilakukan secara sadar oleh istri maupun suami bersama-sama,” kata Soeharto dalam peresmian pabrik kondom pertama di Indonesia, di Banjaran, Bandung, pada 25 Februari 1987, seperti dirilis Antara (25/2/1987).
Tak lupa presiden mengatakan, “jadikanlah norma keluarga kecil yang sejahtera dan bahagia menjadi norma keluarga-keluarga kita.
Di hari peresmian pabrik kondom itu, Soeharto berharap agar “setahap demi setahap dalam melepaskan ketergantungan luar negeri, sehingga kita dapat berswasembada dalam segala bidang yang dapat kita hasilkan sendiri.”
Dalam hal ini, barangkali juga termasuk swasembada kondom.
Editor: Ivan Aulia Ahsan