tirto.id - Jadah tempe merupakan salah satu makanan khas Yogyakarta yang dapat dengan mudah ditemukan di kawasan Kaliurang, Kabupaten Sleman. Jenis kuliner Nusantara yang satu ini punya sejarah unik dan termasuk salah satu penganan kesukaan Sultan Hamengkubuwana IX.
Keunikan jadah tempe justru terletak pada kekontrasannya. Jadah yang lembut dan gurih berbanding terbalik dengan tempe bacem yang memiliki tekstur kasar dan mengandung rasa manis khas Yogyakarta.
Jika disantap satu-satu, jadah atau tempe bacemnya, barangkali biasa saja, rasa yang mungkin sudah dikenal banyak orang. Namun, apabila dimakan berbarengan, dengan menangkupkan tempe di atas jadah, maka yang bakal muncul adalah sensasi unik namun nikmat, apalagi jika disertai cabai rawit.
Antara Tempe Bacem & Jadah
Tempe adalah makanan asli Indonesia yang sudah diakui dunia. Makanan dari bahan dasar kacang kedelai ini bisa diolah dengan berbagai cara, termasuk dengan dibacem yang menghasilkan jenis tempe bercitarasa manis. Di Yogyakarta, tahu, ayam, dan daging juga biasa dimasak bacem.
Rasa manis dalam baceman berasal dari gula merah atau gula Jawa. Sejarah gula merah yang banyak terdapat di Jawa, terutama Yogyakarta, menurut pengamat kuliner, Odilia Wineke, terkait dengan tanam paksa atau cultuurstelsel yang diterapkan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19.
“Kisahnya tidak lepas dari sejarah culturstelsel yang dipaksakan penjajah Belanda. Untuk kawasan Jawa dipilih tanaman tebu,” tutur Odilia dikutip dari Mix.co.id.
Selain gula Jawa, bumbu yang mudah diperoleh kala itu adalah ketumbar. Maka, berbagai jenis bahan makanan seperti tempe, tahu, atau daging, diolah dengan memakai gula merah dan ketumbar dengan cara dibacem. Selain enak dan cocok di lidah orang Yogyakarta, teknik bacem juga membuat makanan lebih awet secara alami.
Sedangkan jadah dibuat dari beras ketan yang dimasak hingga sedikit gurih. Jadah atau ketan kerap disajikan dalam acara-acara tradisional Jawa, seperti pernikahan adat lama. Hal ini ada filosofinya, bahwa jadah yang lengket menjadi harapan bagi kedua mempelai, kerabat, dan masyarakat agar selalu rukun dan sulit dipisahkan.
Makanan Kesukaan Raja
Salah satu produk jadah tempe yang paling legendaris dan terkenal di Kaliurang adalah Jadah Tempe Mbah Carik. Syafaruddin Murbawono dalam buku Monggo Mampir: Mengudap Rasa Secara Jogja (2009), menceritakan kembali asal-usul Jadah Mbah Carik yang melegenda itu.
Sastrodinomo, seorang carik atau sekretaris desa di dekat Kaliurang, tulis Syafaruddin, biasa menyerahkan persembahan nasi jagung kepada keluarga Keraton Yogyakarta. Hal seperti ini dianggap sebagai bentuk pengabdian oleh abdi dalem seperti Sastrodinomo.
Suatu ketika pada 1927, ia diminta membuat jenis makanan lain yang unik dan berbeda untuk persembahan berikutnya. Setelah berpikir, Sastrodinomo beserta istri mengolah beras ketan menjadi jadah, dipadukan dengan tempe bacem. Ternyata, makanan ini disukai oleh orang-orang di istana.
Sejak saat itu, Sastrodinomo selalu mengirimkan persembahan berupa jadah tempe. Dibantu istri dan anak-anaknya, ia juga mulai berjualan makanan tersebut dan membuka warung kecil di kawasan Telaga Putri Kaliurang pada 1950.
Hingga suatu hari pada 1965, Sultan Hamengkubuwana IX (1940-1988) berkunjung ke Kaliurang dan mampir di warung milik Sastrodinomo. Rasa jadah tempe bikinan Mbah Sastro memang lain daripada yang lain meskipun saat itu sudah banyak orang yang berjualan kuliner serupa.
Untuk membedakannya dengan jadah tempe yang lain, atas saran istri Sultan HB IX, yakni Kanjeng Ratu Ayu Hastungkara, warung tersebut diberi nama Jadah Tempe Mbah Carik, mengingat Sastrodinomo dulunya adalah seorang carik.
Sultan HB IX memang sangat menyukai jadah tempe buatan Mbah Carik. Bahkan, tak jarang sang raja mengutus pegawai keraton ke Kaliurang untuk membeli Jadah Tempe Mbah Carik.
Dikutip dari Majalah Adiluhung: Pelestari Budaya Nusantara Edisi 01 (2013), Jadah Tempe Mbah Carik di Kaliurang bertahan secara turun-temurun dan sudah memasuki generasi keempat. Saat ini, produksi Jadah Tempe Mbah Carik dikelola oleh cicit Sastrodinomo.
Penulis: Rachma Dania
Editor: Iswara N Raditya